Senin, 19 April 2010

UPAYA PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENYELAMATKAN ASET /
KEKAYAAN NEGARA MELALUI PEMBERANTASAN PENYELUNDUPAN


I. PENDAHULUAN

Maraknya kasus penyelundupan barang-barang tertentu masuk atau keluar wilayah indonesia dapat mengancam perekonominan indonesia karena tidak membayar bea sehingga mengurangi devisa dan dapat menjatuhkan industri lokal karena pihak penyelundup dapat mensuplai barang dengan kwalitas sama atau lebih baik dengan harga lebih murah yang akan menjadi pilihan konsumen. Akibatnya barang lokal tidak dapat bersaing karena barang tidak laku terjual. apabila tidak segera ditanggulangi maka banyak industri yang akan tutup sehingga menyebabkan pihak dan meningkatkan angka pengangguran.
Kasus penyelundupan merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan kegiatan ekspor-impor, di mana pelaku tindak pidana “melakukan” atau “mencoba” melakukan pengeluaran / pemasukan barang dari atau ke dalam wilayah Kepabeanan Indonesia tanpa mengindahkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Karena berkaitan dengan kegiatan ekspor-impor, maka kasus penyelundupan pada umumnya merupakan bagian dari kegiatan perdagangan antar negara yang pelaksanaannya dengan melanggar prosedur/ketentuan tentang masuk dan keluar barang dari/ke wilayah Pabean Indonesia.
Terjadinya kasus penyelundupan menunjukkan tidak terkontrolnya barang yang masuk maupun keluar. Pelayanan dan pemeriksaan kepabeanan pada hakekatnya juga merupakan pelaksanaan fungsi kontrol. fungsi-fungsi yang diselenggarakan secara simultan, antara lain berupa : pelayanan fasilitas kegiatan perdagangan antar negara dengan memperlancar arus barang, mengurangi ekonomi biaya tinggi dan menciptakan suasana yang kondusif dan sehat dalam kegiatan perdagangan, sebagai pengumpul penerimaan negara yang harus mampu mencegah kebocoran, dan sebagai “community protector” yang harus mampu melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang yang membahayakan masyarakat dari berbagai aspek dan sekaligus terhadap Keamanan Negara.
Meningkatnya perdagangan internasional yang cenderung menciptakan pasar bebas dan global di bidang perdagangan, telah meningkatkan pula perdagangan antar negara di Indonesia, yang dengan demikian akan meningkat pula kegiatan arus barang masuk dan keluar wilayah Indonesia dari dan ke negara lain. Apabila pengawasan terhadap prosedur arus barang masuk-keluar barang tersebut kurang ketat, maka kasus penyelundupan tentunya akan meningkat pula di samping itu, faktor kondisi lingkungan yang ada akhir-akhir ini baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya terutama moralitas petugas dan kemajuan teknologi telah berpengaruh pula terhadap meningkatnya kasus penyelundupan. hal ini terbukti masih banyaknya barang-barang yang diduga hasil penyelundupan beredar di pasaran.
dengan melihat kompleksnya permasalahan penyelundupan maka upaya penegakan hukum dan penanggulangan harus dilaksanakan secara integral dan komprehensif melibatkan seluruh institusi terkait dan masyarakat. polri sebagai alat negara / pemerintah yang merupakan garda terdepan lembaga penegak hukum dituntut proaktif dalam penegakan hukum terhadap penyelundupan dengan menjalin keterpaduan dengan instansi terkait. Penegakan tersebut dilakukan di seluruh wilayah Indonesia terutama di pintu masuk / keluar wilayah Indonesia seperti pelabuhan, bandar udara, pulau terluar maupun daerah perairan (laut, sungai). perkembangan terakhir tidak hanya barang hasil industri yang diselundupkan tetapi juga barang berbahaya seperti senjata, handak dan narkoba.

II. KEBIJAKAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYELUNDUPAN.

Sistem penegakan hukum oleh polri (penyidikan) merupakan bagian dari suprasistem penegakan hukum nasional. Kemandirian penegakan hukum Polri secara konstitusional, ditegaskan dalam UUD ’45 pasal 30 bahwa Polri terpisah dengan TNI. dalam pasal tersbut dijelaskan Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. dalam UU RI No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RepublikI indonesia dijelaskan bahwa fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dan alat negara, dalam pasal 13 disebutkan bahwa Tugas Pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. hal tersebut menuntut perubahan fundamental pada paradigma (doktrin) mulai dari orientasi, nilai, sikap dan perilaku Polri yang lebih otonom dan berwatak sipil. Polri harus mengubah pendekatan dari reactive policing menjadi proactive policing.
Dalam kenyataannya di Indonesia masih tingginya kejahatan konvensional dan transnasional. meskipun terkendali, variasi kejahatan konvensional cenderung meningkat dengan kekerasan yang meresahkan masyarakat. selanjutnya, kejahatan transnasional seperti penyelundupan, narkotika, pencucian uang dan sebagainya terus meningkat. luasnya wilayah laut, keanekaragaman sumber daya hayati laut, dan kandungan sumber daya kelautan, banyaknya pintu masuk ke wilayah perairan nusantara serta masih lemahnya pengawasan, kemampuan, dan koordinasi keamanan laut menyebabkan meningkatnya gangguan keamanan, pertahanan dan pelanggaran hukum di laut. masih adanya potensi terorisme membutuhkan pendekatan dan penanganan yang lebih komprehensif; sementara itu efektivitas pendeteksian dini dan upaya preemtif, pengamanan sasaran vital, pengungkapan kasus, pengenalan faktor-faktor pemicu terorisme, dan perlindungan masyarakat umum dari terorisme dirasakan belum memadai.”

Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis serta sejahtera (peace, justice, democracy, prosperity), maka prioritas pembangunan nasional yang ditetapkan antara lain :
“Peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas dengan menegakkan hukum dengan tegas, adil, dan tidak diskriminatif; meningkatkan kemampuan lembaga keamanan negara; meningkatkan peran serta masyarakat untuk mencegah kriminalitas dan gangguan keamanan dan ketertiban di lingkungannya masing-masing, menanggulangi dan mencegah tumbuhnya permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan dan penyebaran narkoba, meningkatkan kesadaran akan hak-hak dan kewajiban hukum masyarakat, serta memperkuat kerjasama internasional untuk memerangi kriminalitas dan kejahatan lintas negara”.

Dengan adanya kondisi tersebut, maka Polri dituntut segera meningkatkan profesionalisme polri dan segera melakukan konsolidasi, pembenahan dan akselerasi dalam rangka penegakan hukum (penyidikan). guna memberi arah dalam pelaksanaan tugas, maka dalam rangka menindak lanjuti kebijakan strategis kapolri terdahulu dengan langkah yang berkesinambungan dan percepatan sasaran maka telah ditetapkan visi polri yaitu

” TerwujudnyaPpostur Polri yang profesional, bermoral dan modern sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang terpercaya dalam memelihara kamtibmas dan menegakkan hukum“

Visi dan misi tersebut selanjutnya dijabarkan dalam tujuan, strategi, kebijaksanaan dan program kapolri. salah satu program kapolri tersebut adalah program penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. kejahatan dapat berkembang dengan keragaman bentuk, mobilitas tinggi, modus operandi bervariatif, penggunaan high technology, wilayah operasi lintas negara, menimbulkan korban massal dan mengancam eksistensi dan keutuhan negara sehingga dilakukan klasifikasi menjadi 4 (empat), yatiu kejahatan konvensional, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara dan kejahatan berimplikasi kontinjensi.

Salah satu bentuk kejahatan transnasional dan kejahatan terhadap kekayaan negara adalah penyelundupan. sebagaimana ketentuan pidana pada pasal 102 uu no. 17 tahun 2006 tentang perubahan uu no. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan, maka tindak pidana ini dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Penyelundupan yang dilakukan dengan tanpa didukung dokumen impor/ ekspor sama sekali.

2. Penyelundupan yang dilakukan dengan cara memanipulasi dokumen.

Data jumlah kasus penyelundupan yang terdata oleh aparat yang merupakan hasil kegiatan penindakan, sebenarnya belum mencerminkan data yang sebenarnya, karena masih ada “dark number”.


III. ANATOMI KASUS PENYELUNDUPAN

1. Bentuk Kasus.

bentuk kasus sebagaimana dijelaskan pada pasal 102 uu no. 17 tahun 2006 tentang perubahan uu no. 10 tahun 1995 tentang kapabeanan, meliputi :

A. penyelundupan yang tanpa didukung dokumen impor/ekspor sama sekali yang sering dalam istilah sehari-hari disebut “penyelundupan fisik”.

b. penyelundupan yang dilakukan dengan manipulasi dokumen impor, di mana dalam kasus ini antara dokumen dengan fisik barang tidak sesuai atau dalam istilah sehari-hari sering disebut sebagai “penyelundupan administrasi”

dalam kenyataan yang terjadi diperkirakan, jumlah kasus penyelundupan dengan manipulasi dokumen jauh lebih tinggi dibandingkan penyelundupan yang tanpa didukung dokumen sama sekali.

2. Lokasi Rawan Penyelundupan.

A. pelabuhan laut
B. pelabuhan udara, terutama yang internasional
C. perairan (laut)
D. daerah perbatasan
E. daerah kepulauan

3. Jenis barang yang diselundupkan
a. produk elektronik
b. gula
c. terigu
D. tekstil
E. pakaian bekas
F. kendaraan : mobil, motor gede
G. obat (bahan kimia)
H. logam (mulia)
I. karya seni
J. satwa dan tanaman yang dilindungi

4. Modus operandi.

Modus operandi yang sering dilakukan adalah :

A. Penyelundupan fisik yaitu memasukkan / mengeluarkan barang tanpa dokumen sama sekali biasanya dilakukan dari kapal laut diangkat dengan perahu, motor boad ke atau dari darat / pantai yang terpencil/sepi (sering bekerja sama dengan abk kapal), lokasi penyelundupan fisik.

B. Penyelundupan administrasi yang dilakukan dengan modus operandi memanipulasi dokumen (impor/ekspor) dilakukan terang-terangan, bahkan sering bekerja sama dengan oknum petugas untuk dapat meloloskan barang-barangnya, dengan cara :

1) Memberitahukan salah tentang jenis, kuatitas, kualitas maupun harga barang.

2) Menyalahgunakan fasilitas barang bawaan, barang pejabat/ perwakilan negara asing, proyek penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri, barang kiriman atau barang pameran.

3) Memalsukan dokumen/formulir pabean.

4) Modus operandi yang paling sering digunakan adalah “under invoiced” yaitu mencantumkan hanya barang dibawah harga yang sebenarnya, sehingga negara dirugikan karena pemasukan pajak yang lebih kecil dari yang semestinya.

5) Pemeriksaan kepabeanan dengan sistim “borongan”.

IV. DAMPAK KASUS PENYELUNDUPAN TERHADAP STABILITAS EKONOMI, SOSIAL BUDAYA, DEVISA DAN KEAMANAN NEGARA.
Barang “gelap” hasil selundupan yang lolos dari pemeriksaan kepabeanan yang seharusnya dilakukan, dapat berdampak pada berbagai aspek, sebagai berikut :

1. Dampak terhadap stabilitas ekonomi.

Adanya penyelundupan berarti juga tidak ada kepastian hukum dan kepastian usaha. adanya barang illegal tersebut, akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat yang dapat mematikan industri lokal dan akhirnya dapat mengganggu stabilitas perekonomian terutama apabila dalam jumlah yang sangat besar. Selain itu, dengan tidak membayar bea masuk, maka mereka dapat menekan biaya modal, sehingga barang selundupan akan memiliki daya saing yang kuat dalam pemasaran dengan harga yang lebih murah. Dengan banyaknya industri lokal yang tidak mampu bersaing akan menimbulkan phk dan pengangguran. adanya iklim usaha yang tidak sehat juga merupakan penghambat masuknya investasi domestik maupun asing.

2. Dampak terhadap sosial budaya.

A. Apabila barang hasil selundupan berupa bahan yang dapat membahayakan kesehatan (makanan yang mengandung penyakit, busuk, dsb.), dapat menimbulkan wabah penyakit dan sejenisnya.

B. Apabila barang hasil selundupan berupa narkoba, film / bahan bacaan porno, dsb, dapat merusak moral masyarakat .

C. Menurunkan mental dan kreativitas karena tidak ada komitmen kemandirian dan “mencintai produksi dalam negeri” dari masyarakat.

3. Dampak terhadap devisa negara.

Barang hasil penyelundupan yang lolos dari pemeriksaan kepabeanan, tentunya tidak membayar bea ataupun membayar bea di bawah standar yang seharusnya dibayarkan, sehingga sangat merugikan devisa negara.

4. Dampak terhadap keamanan negara.

Apabila barang yang diselundupkan tersebut berupa senjata api atau bahan peledak dapat digunakan oleh pihak-pihak tertentu melakukan kegiatan terorisme,, separatisme atau memicu konflik sehingga berdampak terhadap keamanan negara.

V. KENDALA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYELUNDUPAN DAN UPAYA UNTUK MENGATASINYA.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap penyelundupan adalah : materi hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, budaya dan kerja sama. sehingga kendala maupun upaya untuk mengatasinya terkait dengan faktor-faktor dimaksud. Dengan penguatan penegakan hukum maka aset / kekayaan negara akan terselamatkan dengan pemasukan devisa dari kepabeaan maupun kekayaan alam tidak dibawa keluar secara illegal.

1. Materi hukum

Materi hukum peraturan per-UU-an yang ada masih kurang mendukung pelaksanaan penanggulangan penyelundupan.

a. UU no. 10 th. 1995 tentang kepabeanan, sangat membatasi kewenangan polri dalam penyidikan kasus penyelundupan. dalam pasal 112 ayat 1 dijelaskan bahwa penyidikan tindak pidana penyelundupan dilakukan oleh ppns ditjen bea dan cukai secara khusus (“lex specialis”).

b. Walaupun sudah ada pp. no. 55 th. 1996 yang memberikan kewenangan kepada polri secara terbatas, namun dalam kenyataan praktek pihak jaksa penuntut umum masih sering menolak berkas perkara penyelundupan yang ditangani oleh penyidik polri.
C. UU no. 17 th. 2006 tentang perubahan uu no. 10 th. 1995 tentang kepabeanan, tidak menegaskan keharusan adanya koordinasi dan keterpaduan antara polri dan ditjen bea cukai sehingga masih ada arogansi sektoral atau pengkotak-kotakan.

d. Pasal 113 ayat (2) uu no. 10 th. 1995 yang mengatur penghentian penyidikan (“denda damai” ).

Dengan adanya kendala tersebut, baik polri maupun ppns bea dan cukai tidak perlu berseberangan, tetapi tetap bekerja proaktif sesuai bidang dan keunggulan masing-masing untuk melakukan penegakan hukum terhadap penyelundupan. Penerapan “denda damai” agar digunakan secara hati-hati dengan mempertimbangkan berbagai dampak yang telah ditimbulkan. Untuk menanggulangi barang hasil penyelundupan yang sudah beredar di “pasaran”, perlu diatur tataniaga yang mampu mengkait kepada undang-undang yang memiliki “ketentuan pidana”. karena selama ini, pembuktian untuk barang hasil penyelundupan yang sudah beredar di pasaran, sangat sulit, bahkan kadang-kadang tidak memungkinkan lagi, karena tidak diketemukan pelaku penyelundupnya.

2. Aparat penegak hukum

Kewenangan aparat pabean, kurang memberikan dampak “efek jera“ bagi pelaku :

a. Dengan melihat lokasi daerah rawan penyelundupan yang dari waktu ke waktu tidak berubah, dapat diduga bahwa petugas penegak hukum yang ada dilokasi tersebut kurang “kemauan” maupun “kemampuan” untuk menanggulangi masalah penyelundupan tersebut.

b. Lemahnya koordinasi dan kerja sama antar petugas dan antar instansi terkait di lapangan memberikan peluang bagi penyelundup.

Dengan adanya kendala tersebut, baik Polri maupun PPNS Bea dan Cukai harus solid, berkomitmen, dan berkinerja tinggi serta menjalin koordinasi yang baik dalam lingkup Crime Justice System untuk melakukan penegakan hukum terhadap penyelundupan secara konsisten sebagai musuh bersama. Moralitas petugas di lapangan yang buruk harus segera dirubah dalam rangka mewujudkan prinsip good governance and clean goverment. Di lingkungan Polri, selain fungsi Reskrim juga ada Polair yang dapat melakukan penegakan hukum terutama di wilayah perairan. dan untuk menimbulkan efek jera maka dapat diterapkan sanksi pidana maksimal.

3. Sarana dan prasarana.

Sarana dan prasarana penyidikan saat ini, masih dirasakan kurang memadai seperti alat detektor, alat penginderaan jarak jauh, alat komunikasi dan sarana transportasi kapal karena indonesia merupakan negara kepulauan.

Upaya untuk mengatasinya adalah memelihara sarana dan prasarana yang ada agar tetap layak pakai dan tahan lama serta pengadaaan sarana prasarana sesuai dengan anggaran yang tersedia. Polri juga telah mengembangkan polair dan sarana kapal serta pangkalannya yang tersebar di wilayah tanah air, sehingga dapat diberdayakan untuk penguatan upaya penegakan hukum.

4. Budaya hukum masyarakat.

Kesadaran hukum masyarakat masih lemah dan krisis ekonomi sebagaian masyarakat tidak mempedulikan barang “gelap” yang dibeli, yang penting mebeli dengan harga murah. Penegakan hukum yang lemah juga berdampak pada ketidakpatuhan masyarakat.

Dengan penguatan penegakan hukum diharapkan akan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat sehingga mamahami perlunya kepastian hukum dan iklim usaha yang sehat untuk dapat bersaing di tingkat global dengan mematuhi rambu-rambu hukum.

Dalam rangka reformasi kultural, Polri mengembangkan budaya organisasi.
a. Keunggulan (excellence) orientasi pada prestasi (achievement), dedikasi kejujuran (honesty), dan kreativitas.
b. Integritas (integrity ) orientasi pada komitmen menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral (ethic values and morality).
c. Akuntabilitas (accountable) berorientasi pada sistem yang traceable (dapat ditelurusi jalurnya yang logis) dan auditable (dapat diaudit dan diperbaiki), mulai dari tingkat individu sarnpai institusi polri.
d. Transparansi orientasi pada keterbukaan (openness), kepercayaan (trust), menghargai keragaman dan perbedaan (diversity) serta tidak diskriminatif.
e. Keberlanjutan orientasi kepada perbaikan secara terus menerus dan masa depan.

5. Kerja sama

Terjadinya penyelundupan dapat terjadi karena lemahnya kerja sama (keterpaduan) antar komponen-komponen crime justice system yaitu penyidik Polri/PPNS, Jaksa dan Hakim maupun kerja sama dengan negara lain.

Kedepan perlu dilakukan kerja sama lintas instansi maupun lintas negara dalam bentuk pertukaran informasi, bantuan teknis (alat - teknologi, tenaga ahli), pelatihan dan kegiatan (operasi) bersama.

VI. PENUTUP

Demikian kebijakan Polri di bidang penegakan hukum untuk mengamankan / menyelamatkan aset / kekayaan negara melalui pemberantasan penyelundupan serta kendalanya, semoga bermanfaat untuk pelaksanaan tugas.(EBS)

Minggu, 18 April 2010

PERAN POLRI DALAM MENANGGULANGI
PENCURIAN KAYU


BAB I
PENDAHULUAN

1.LATAR BELAKANG

Hutan sebagai salah satu sumber daya alam yang kita miliki merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan umat manusia. Manfaat dari sumber daya hutan telah menempatkan hutan dan kehutanan dalam peranan yang cukup besar untuk perolehan devisa negara, perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan.
Di era reformasi saat ini pengelolaan hutan menghadapi tantangan yang semakin berat. Krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat masyarakat semakin menghalalkan berbagai macam cara untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Kesadaran terhadap hukum semakin rendah yang mengakibatkan tindak kriminalitas meningkat.
Gangguan hutan terbesar yang mengakibatkan kerusakan hutan saat ini adalah perbuatan manusia. Kegiatan manusia tersebut antara lain pencurian kayu, penebangan pohon secara liar dan kebakaran hutan. Gangguan pencurian hasil hutan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan baik kwantitas maupun kwalitas (modus) pencurian. Semua itu akan bermuara pada kerugian yang ditanggung oleh negara dan masyarakat. Praktek pencurian kayu erat kaitannya dengan pertambahan penduduk yang pesat yang berdampak pada laju kerusakan hutan, karena pertanian tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, akhirnya mendorong masyarakat untuk berusaha mencari pendapatan dari sumber di luar pertanian. Hutan sebagai kawasan yang terdekat dengan pemukiman menjadi salah satu tempat yang memungkinkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan akan kayu untuk membuat rumah tempat tinggal.
Dalam upaya pencegahan, penanggulangan dan pengendalian pencurian kayu, Polri khususnya bekerjasama dengan instansi terkait, LSM dan masyarakat melaksanakan kegiatan pengamanan hutan. Polri menentukan langkah-langkah strategi yang menitik beratkan pada tugas dan fungsi Polri sebagai aparat penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat dengan melalui pendekatan-pendekatan Kepolisian.
Pengamanan hutan selama ini baru terbatas memperkecil kesempatan dan mengurangi frekwensi pencurian, karena masalahnya sangat komplek dan penanganannya harus secara terpadu. Oleh karena itu, diharapkan dengan strategi yang dilaksanakan oleh Polri khususnya di tingkat wilayah/ Polres akan mampu mencegah dan mengatasi tindak kriminalitas pencurian kayu dan membuka cakrawala berpikir masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan akan pentingnya hutan dan manfaatnya, sehingga perlu dijaga dan di lestarikan.

2.PERMASALAHAN KEAMANAN HUTAN, MOTIVASI DAN PERKEM BANGANNYA

Gangguan keamanan hutan, menurut UUPK No. 5/1967 Pasal 15 ayat 2 adalah segala peristiwa yang menyebabkan terganggunya keamanan hutan. Gangguan keamanan hutan dapat berupa kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, hama dan penyakit serta gangguan alam lainnya. Gangguan keamanan hutan sampai saat ini masih di dominasi oleh pencurian kayu dan umumnya dengan menebang pohon secara liar yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Pada awalnya penebangan kayu hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan untuk membuat perumahan bukan untuk dijual. Kemudian terjadi peningkatan dimana penebangan kayu untuk memperoleh tambahan pendapatan. Akan tetapi dengan berjalannya waktu terjadi pergeseran motivasi pencurian kayu, yang semula untuk tambahan penghasilan menjadi mata pencaharian utama.

Terjadinya pencurian kayu disebabkan karena tersedianya sarana dan prasarana. Sarana pencurian kayu adalah hutan dan tenaga-tenaga pencuri, sedangkan prasarana berupa penjual dan pembeli (konsumen) pemakai kayu hasil curian. Faktor lain yang kadang ikut mendukung aktivitas pencurian hutan adalah tersediannya jaringan jalan yang mempermudah angkutan, meskipun sering juga hasil pencurian terutama kayu langsung dipikul dan dibawa secara manual dengan tenaga manusia.
Keterlibatan lainnya dalam kegiatan pencurian kayu adalah : oknum orang sipil (pencuri kambuhan/residivis, pencuri muka baru dan sebagian masyarakat sekitar hutan), penadah kayu, oknum aparat keamanan (Polri dan TNI), Perusahaan kayu yang illegal, oknum petugas Kehutanan dan oknum petugas pengadilan.


BAB II

PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
TERHADAP PROGRAM PENGAMANAN HUTAN

1. PANDANGAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP HUTAN DAN PEMANFAATANNYA

Masyarakat sekitar hutan masih memandang hutan dan pemanfaatan hasil hutan secara tradisional. Masyarakat memandang hutan sebagai penghasil kayu bakar dan kayu pertukangan, tanpa melihat pentingnya hutan untuk menjaga kepentingan tata air mencegah erosi dan banjir dan sebagai penghasil oksigen.
Pandangan tradisional terhadap hutan dan pemanfaatannya dipengaruhi beberapa faktor antara lain :
a. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat.
b. Kondisi ekonomi yang belum memadai (masih rendah)
c. Kepercayaan atau mitos yang masih kuat, bahwa hutan jati adalah peninggalan nenek moyangnya, yang tumbuh secara alami tanpa ada yang menanam sehingga mereka merasa berhak untuk ikut menikmati hasil hutan.

2. INTERAKSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN MOTIVASINYA

Bentuk-bentuk interaksi dan motivasi masyarakat sekitar hutan jati antara lain :
a. Keterlibatan sebagai perambah (petani penggarap di lingkungan hutan) bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pangan, seperti jagung, perkebunan sawit dan lain sebagainya.
b. Mengambil kayu bakar. Untuk keperluan sendiri dimusim hujan, mata pencaharian, dijual ke tetangga atau pengusaha genteng dan sebagai kamuflase untuk mengangkut kayu curian dengan cara diselipkan diantara tumpukan kayu bakar.
c. Mencuri kayu pertukangan.
Ada dua (2) motivasi yaitu :
1) Pencuri amatir : mencuri kayu karena terdesak oleh kebutuhan hidup atau mencuri kayu untuk memperbaiki rumah.
2) Mencuri sebagai pekerjaan pokok : sebagai buruh pencuri dan hasil kayu curiannya dijual ke pengusaha kayu.

3. KARAKTERISTIK PENCURIAN KAYU

Ada beberapa karakteristik pencurian kayu antara lain :
a. Pencurian kayu umumnya dilakukan secara berombongan atau bergotong-royong/bergantian. Satu rombongan beranggotakan 3-5 orang, bahkan kadang-kadang mencapai puluhan orang.
b. Pencurian kayu dengan modus operandi dengan menggunakan rakit yang dibawanya sedikit demi sedikit dikumpulkan di suatu tempat, setelah terkumpul baru diangkut dengan menggunakan kapal laut.
c. Pencuri kayu tidak takut terhadap petugas keamanan hutan karena apabila tertangkap petugas, mereka cukup memberikan uang tebusan kemudian bebas membawa kayu hasil curiannya. Merasa ketakutan jika berhadapan langsung dengan petugas gabungan Kehutanan dan Polri baik dari Polres maupun Polda pada saat operasi wanalaga.

4. PARTISIPASI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM PENGAMANAN HUTAN

Sampai saat ini partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengamanan hutan masih sangat kecil, bahkan dikatakan belum ada. Pada saat dilakukan operasi penggeledahan kayu illegal, masyarakat jarang terlibat aktif dan membantu petugas, tetapi biasanya masyarakat bersikap diam atau lari bersembunyi.


BAB III

PERAN POLRI DALAM MENANGGULANGI
PENCURIAN KAYU

1. VISI DAN MISI POLRI DALAM PENANGANAN HUTAN

a. Visi. Adalah pernyataan permanen tentang tujuan sentral organisasi, kebijakan-kebijakan mendasar dan nilai-nilai yang terkandung dalam organisasi.
Berdasarkan doktrin tata tentrem kerta raharja yang menjiwai sikap dan perilaku organisasi, visi Polri mendorong dan menjamin terciptanya tatanan masyarakat madani yang menjunjung tinggi supremasi hukum, hak azasi manusia untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan sejahtera.
Polri sebagai alat negara penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama dengan masyarakat bertanggung jawab dan mempunyai komitmen terhadap masyarakat.

b. Misi. Kepolisian bekerjasama dengan Instansi terkait terutama Dinas kehutanan dan LSM maupun masyarakat secara bersama-sama berusaha menjaga keamanan dan kelestarian hutan dari orang-orang (oknum) yang berusaha menjarah hutan untuk memperkaya diri sendiri, dengan misi yaitu :
1) Memberikan perlidungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psikis.
2) Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preemtif dan preventif yang dapat meningkatkan kesadaran serta kepatuhan hukum masyarakat (law abiding citizenship).
3) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.
4) Mendorong meningkatkan kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat.
Peran Polri dalam penanggulangan kejahatan terhadap hutan, bersama-sama dengan Polisi khusus kehutanan, berperan langsung mulai dari kegiatan yang bersifat pre-emtif, preventif maupun penegakan hukum.

2. PENGELOLAAN HUTAN, TANTANGAN DAN PEMECAHANNYA

Pada waktu lahan Perkebunan masih cukup luas bagi masyarakat, pengelolaan hutan belum menghadapi campur tangan dari masyarakat. Penebangan pohon oleh rakyat belum menimbulkan akibat yang serius karena investasinya masih kecil, dilain pihak pemungutan hasil hutan oleh pemerintah belum dilaksanakan secara intensif.
Sejalan dengan bertambahnya permintaan kayu oleh masyarakat menunjukkan grafik peningkatan penebangan pohon oleh rakyat. Perkembangan itu akhirnya sampai di suatu titik dimana penebangan pohon jati oleh rakyat harus dihentikan karena dianggap sebagai tindakan yang merugikan kehutanan.
Tantangan mengelolaan hutan saat ini semakin bertambah berat. Banyak kerusakan hutan akibat besarnya tekanan masyarakat terhadap hutan, seperti kegagalan pembuatan tanaman, penggembalaan ternak, kebakaran hutan, seperti tanah hutan (pembibitan) dan penyalahgunaan, perambahan serta penebangan secara illegal terhadap kawasan hutan tersebut.
Disamping tantangan pengelolaan hutan dari masyarakat sekitar hutan, pemanfaatan hutan alam yang telah berlangsung sejak awal tahun 1970-an ternyata memberikan gambaran yang kurang menggembirakan untuk masa mendatang. Fenomena itu disebabkan karena tujuan pengelolaan hutan selama ini didasarkan pada instruksi 1938 sudah tidak mampu dan tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan saat ini.
Sistem pengelolaan hutan yang berdasarkan instruksi 1938, belum memasukkan masalah-masalah sosial ekonomi masyarakat saat itu belum dipengaruhi oleh perusahaan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat saat itu belum merupakan satu komponen (variabel) yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan dibidang kehutanan, khususnya untuk merumuskan tujuan pengelolaan hutan.
Terlepas dari keberhasilan sebagai pengahasil devisa, meningkatkan pendapatan, menyerap tenaga kerja serta mendorong pembangunan wilayah, pembangunan hutan melalui pemanfaatan hutan alam telah menyisakan dan meninggalkan sisi buram, sebagai akibat maraknya perambahan dan penebangan liar diperkirakan mencapai 16 ha pertahun, atau hampir 37 juta M³ pertahun dan jumlah ini diperkirakan 52 % dari total produksi kayu bulat yang bersumber dari hutan alam. Dengan kata lain hutan telah memberikan keuntungan yang sangat besar pula pada para buruh, pemodal maupun pengusaha bahkan oleh beberapa oknum aparat dan pejabat pemerintah yang terlibat dan melibatkan diri dalam pengrusakan hasil hutan.

3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA PERAMBAHAN DAN PENEBANGAN LIAR

a. Faktor Korelatif Kriminogen (FKK)

Faktor Korelatif Kriminogen penyebab terjadinya perambahan hutan dan penebangan liar adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat yang miskin dan sangat tergantung pada keberadaan hutan.
Hal ini sangat rentan dimanfaatkan oleh para cukong maupun pemodal untuk menggerakkan masyarakat disekitar hutan agar melakukan penebangan liar. Disamping situasi dan kondisi negara saat ini yang sedang mengalami krisis multi dimensi yang dirasakan sangat berat dampaknya dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam golongan ekonomi lemah.

Pemberian ijin pemanfaatan kayu (IPK) yang berskala kecil oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II telah menimbulkan fragmentasi hukum dan kerancuan. Karena Pemerintah Daerah dengan HPH yang dikeluarkan Bupati atas dasar UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan HPH yang dikeluarkan Menteri Kehutanan sering terjadi over lopping dan menimbulkan persengketaan.
Disamping itu lemahnya sistem pengamanan hutan yang disebabkan karena terbatasnya aparat keamanan serta sarana dan prasarana yang sangat minim.

b. Police Hazard (PH)

Police Hazard adalah keadaan ancaman faktual dapat terjadi apabila tidak segera dilakukan tindak pencegahan. Kehadiran petugas sangat dperlukan untuk mengantisipasi agat tidak terjadi tindak pidana, dengan melalui tindakan preventif/pencegahan melalui patroli, penjagaan di lokasi-lokasi rawan terhadap hutan yang bersifat tetap maupun berpindah-pindah yang dilakukan oleh anggota Polri dan Polisi Kehutanan.

c. Ancaman Faktual

Dari adanya Faktor-Faktor Korelatif Kriminogen dan Police Hazard yang tidak cepat ditangani akan menyebabkan terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan hutan sebagai obyek antara lain berupa penebangan liar, perambahan/pencurian kayu, pembakaran hutan, penadahan hasil hutan, serta penerbitan surat-surat Aspal (Asli tapi palsu).

1) Penebangan/perambahan/pencurian kayu hasil hutan.
Penebangan, perambahan dan pencurian kayu hasil hutan yang terjadi dilakukan dengan menggunakan pola kerja terorganisir serta modern.
Pelaku telah menggunakan sistem manajemen yang rapi dan baik, dengan tingkat kejahatan yang terorganisir dan memiliki jaringan kerja, serta pemasaran yang luas baik dalam negeri maupun luar negeri. Dilengkapi sarana dan peralatan yang modern, sehingga mobilitas kerja pelaku semakin cepat.
2) Pembakaran Hutan.
Salah satu modus yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan untuk mendapatkan lahan pertanian, dengan harapan bahwa setelah melakukan pembakaran, mereka dapat menggarap ataupun mengerjakan tanah hutan tersebut untuk dijadikan lahan pertanian bercocok tanam, perkebunan sawit dan lain-lain.
3) Penadahan hasil hutan.
Pencurian dan penebangan kayu secara illegal yang dilakukan masyarakat sekitar hutan jati disebabkan adanya penadah kayu illegal yang memudahkan bagi mereka untuk menjual hasil jarahan atau hasil curiannya.
4) Penerbitan surat-surat kayu aspal (asli palsu)
Adanya indikasi persekongkolan antara petugas dengan pengusaha maupun masyarakat terhadap kelengkapan surat-surat kayu illegal yang seolah-olah kayu tersebut adalah kayu legal. Sehingga penerbitan surat asli tapi palsu tersebut menjadikan suatu modus yang bisa mengelabui petugas di lapangan.

4. KEBIJAKAN BIDANG OPERASIONAL

Kebijakan bidang operasional yang berkaitan dengan pelaksanaan pengamanan hutan terpadu yaitu :

a. Pelaksanaan Operasi.
1) Pelaksanaan operasional fungsional dilaksanakan sesuai tindakan secara berjenjang.

2) Pelaksanaan tugas operasional fungsional dilaksanakan dalam bentuk :
a) Kegiatan deteksi yaitu membuat perkiraan keadaan atas kemungkinan terjadinya gangguan terhadap hutan dan hasil hutan dengan kegiatan :
(1) Pendataan pelaku perbuatan melanggar hukum, individu/kelompok.
(2) Pendataan tokoh-tokoh masyarakat disekitar hutan
(3) Ploting peta kerawanan
(4) Penggalangan yang berencana dan terus menerus.
b) Kegiatan kesamaptaan yaitu pelaksanaan tugas yang bersifat rutin dan selektif, dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan atas hutan dan hasil hutan.
Kegiatan kesamaptaan terdiri dari :
(1) Patroli berlanjut, rutin dan selektif
(2) Penjagan tempat-tempat yang telah ditentukan
(3) Pengawalan hal-hal tertentu
(4) Pemeriksaan surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkatan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah sekitar hutan.
c) Kegiatan Binamitra dilaksanakan dalam bentuk :
(1) Penyuluhan kepada masyarakat.
(2) Program bina desa, seperti perbaikan pengairan, bantuan ternak, sarana ibadah, tumpang sari dan sebagainya.
d) Kegiatan Penegakan hukum.
Kegiatan penegakan hukum dilaksanakan dimana, dimana sudah terjadi pelanggaran atau kejahatan, walaupun jagawana tidak memiliki wewenang penyidikan, satuan tugas jagawana wajib melakukan tindakan :
(1) Membuat dan menandatangani laporan kejadian.
(2) Mengamankan/menyerahkan masalah kepada PPNS kehutanan atau penyidik Polri.
(3) Segera melaporkan/menyerahkan masalah kepada PPNS kehutanan atau penyidik Polri.

b. Bentuk Kegiatan Operasional Kepolisian

1) Kegiatan rutin Polri.
Kegiatan rutin Polri adalah upaya kegiatan pengarahan dan pendayagunaan unsur-unsur kekuatan satuan tugas kewilayahan atau satuan resort yang terus menerus dilaksanakan sepanjang tahun dengan tujuan :
a) Mencegah timbulnya gangguan terhadap hutan dan hasil hutan.
b) Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat tentang perlunya menjaga kelestarian hutan.
c) Membuat peta kerawanan sosial.

2) Operasi Polri.
a) Operasi Polri dengan pola khusus
Operasi Polri dengan Pola khusus digelar untuk menghadapi gangguan Kamtibmas yang berkembang cepat dan dapat meledak menajdi gangguan yang bersifat massal dan destruktif.
b) Operasi Polri pola kontijensi
Operasi Polri dengan pola kontijensi digelar untuk menghadapi bentuk-bentuk kontijensi terpilih secara insidentil.

5. IMPLEMENTASI STRATEGI PENANGGULANGAN PENCURIAN KAYU

Dari gambaran tersebut diatas maka implementasi strategi yang ada dalam upaya penanggulangan pencurian kayu disesuaikan dengan tahapan sebagai berikut:


a. Tahap I
1) Preemtif
Strategi ini dimaksudkan untuk menangkal ancaman gangguan kamtibmas yang disebabkan oleh faktor korelatif kriminogen yang bentuknya berasal dari aspek-aspek astagatra yang tersembunyi dengan menggerakkan potensi masyarakat. Agar memiliki daya tangkal dan daya lawan terhadap ancaman yang mengganggu stabilitas Kamtibnas. Dalam kegiatan ini lebih dikedepankan fungsi Binamitra dari Polres yang bekerja sama dengan kehutanan dengan melakukan kegiatan sebagai berikut:
a) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat disekitar hutan tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan tidak mudah terprovokasi oleh oknum masyarakat untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
b) Melakukan pembinaan secara internal organisasi agar setiap anggota yang melaksanakan tugas dalam rangka penanggulangan pencurian kayu jati bertindak tegas dengan tidak tergiur oleh pemberian suap dalam bentuk apapun. yang dilakukan oleh oknum masyarakat dan Kehutanan berusaha mensejahterakan masyarakat sekitar hutan.
c) Melakukan penggalangan terhadap tokoh-tokoh masyarakat agar mau membantu Polri dalam memberikan penerangan kepada warganya akan dampak negatif yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan pencurian kayu jati serta menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam memberantas tindak kejahatan hasil hutan.
d) Memperluas jaringan informasi sebagai upaya deteksi dini untuk menentukan tindakan lebih lanjut.



e) Memberikan saran kepada Pemda agar lebih memperhatikan kehidupan masyarakat disekitar hutan dengan menyediakan lapangan kerja baru yang meliputi berbagai bidang usaha sesuai dengan kondisi alam dimana warga masyarakat tersebut bertempat tinggal. Dalam hal ini pemerintah melalui dinas kehutanan atau Perum Perhutani menyiapkan lahan sawah/ladang, perikanan dan peternakan baru yang mempunyai nilai ekonomis sebagai mata pencaharian hidup untuk mensejahterakan masyarakat.
f) Memberikan masukan kepada dinas perhutani agar lebih selektif dalam memberikan ijin penebangan dan melakukan pengecekan langsung kelokasi serta melakukan koordinasi dengan aparat keamanan dan instansi terkait.

b. Tahap II
2) Preventif
Sebelum melaksanakan kegiatan preventif yang sifatnya pencegahan didaerah lokasi pencurian kayu jati maka perlu melakukan pendekatan dengan aparat desa setempat guna memperoleh dukungan yang kuat sehingga kegiatan yang dilaksanakan Polri dapat diterima oleh masyarakat. Dalam kegiatan ini dilaksanakan oleh fungsi Sabhara Polres maupun Polsek setempat, Polisi Kehutanan dengan kegiatan sebagai berikut :
a) Melaksanakan kegiatan patroli dengan sistem dialogis guna menampung keluhan-keluhan dan informasi dari masyarakat tentang adanya kegiatan pencurian kayu jati untuk ditindak lanjuti sehingga akan muncul simpati masyarakat terhadap tugas Polri.
b) Mendirikan pos penjagaan dengan jumlah kekuatan yang memadai ditempat-tempat strategis yang digunakan untuk lalulintas kayu hasil hutan guna dilakukan pemeriksaan atas keabsahan surat ijin yang dibawanya.
Untuk mencegah terjadinya penyelewengan tugas seperti pemungutan liar, kolusi dan penyalahgunaan kewenangan maka perlu dilaksanakan pengawasan oleh para perwira secara bergiliran serta wajib membuat laporan secara tertulis tentang pelaksanaan tugasnya sebagai bahan masukan dan kontrol bagi pimpinan.
c) Meningkatkan kegiatan intelijen dengan melakukan penyusupan maupun penyamaran kedalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh para pelaku pencurian kayu jati sebagai bahan informasi dan masukan kepada pimpinan dalam pengambilan keputusan lebih lanjut.

c. Tahap III
3) Penegakan Hukum
Upaya penegakan hukum adalah kegiatan Kepolisian berupa tindakan hukum terhadap ancaman faktual yang muncul dan terbentuk melalui situasi dan kondisi yang menjadi sebab terjadinya gangguan Kamtibmas berupa kejahatan dan pelanggaran yang dirumuskan dalam undang-undang maupun peraturan lainnya. Melihat dampak dan akibat yang ditimbulkan adanya kegiatan pencurian kayu upaya preemtif dan preventif hasilnya tidak efektif maka perlu dilakukan upaya lain yaitu penegakan hukum dalam bentuk Operasi Kepolisian Pola khusus ditingkat KOD dengan menentukan Posko operasi dengan memperhatikan segi keamanan, jarak ke lokasi pencurian, sarana dan prasarana yang memadahi dalam menunjang kegiatan, serta mengambil langkah-langkah :
a) Terhadap Tersangka
(1) Melaksanakan penindakan atau penyidikan hukum terhadap pelaku/tersangka yang bersifat perorangan. dilaksanakan oleh Polsek /Pabin Jagawana atau PPNS Kehutanan dengan dikoordinasikan dari petugas Reskrim Polres.
(2) Didalam melakukan penyidikan terhadap pelaku kejahatan terhadap hutan dilaksanakan secara prosedural dan diupayakan tidak ada penangguhan penahanan walaupun menurut kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 31 UU No.18 tahun 1981 tentang penangguhan/penahanan luar dibenarkan. Hal ini dimaksudkan untuk membuat jera terhadap masyarakat pelaku pencurian/penebangan hutan.
(3) Didalam melakukan proses penyidikan diusahan secara cepat dan tidak membedakan status sesama tersangka dan diperlakukan secara manusiawi dengan menjunjung hak asasi manusia.

b) Terhadap oknum aparat yang melindungi
Para tersangka yang berprofesi sebagai anggota Polri, TNI maupun anggota kehutanan dalam penanganannya untuk TNI diserahkan kepada kesatuannya sedangkan untuk tersangka POLRI diserahkan ke Polres dan anggota kehutanan disidik oleh tim yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk membuat jera terhadap setiap anggota yang membantu ataupun melindungi didalam tindak pidana pencurian kayu.
c) Barang Bukti
(1) Barang bukti kayu
Dalam menangani barang bukti yang berupa kayu maka dalam penagannaya diserahkan kepada dinas kehutanan,didalam penjagaanya segera dikeluarkan Surat Ketetapan Lelang dan Barang Bukti Uang dititipkan di Bank oleh petugas dari dinas kehutanan.




(2) Barang bukti peralatan yang digunakan
Penanganan barang bukti peralatan yang digunakan dalam pencurian kayu seperti alat tebang/alat potong maupun alat angkutan yang digunakan untuk pencurian dan penebangan dilakukan penyitaan dan disegel sesuai dengan kasus dalam penyidikan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tertukarnya barang bukti dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memudahkan penyidikan maupun saat penyerahan berkas perkara yang sudah dilengkapi dengan barang buktinya.

4) Koordinasi
Aparat penegak hukum yang tergabung didalam Criminal Justice System (CJS) dalam melaksanakan tugasnya dengan maksud untuk mempermudah dalam proses penyidikan terutama dalam penyerahan berkas perkara jangan sampai berulang-ulang berkas perkara mengingat pencurian kayu jati mendapat perhatian terhadap negara, sedangkan bentuk kegiatannya berupa gelar perkara dan rapat bulanan.

5) Rehabilitasi
a) Mengembalikan hubungan harmonis antara Polres, Kehutanan dan instansi terkait, masyarakat disekitar hutan pasca penanggulangan kayu yang dilaksanakan dalam bentuk pembinaan / penyuluhan.
b) Membangun kembali sarana dan prasarana fisik yang rusak akibat pencurian kayu yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
c) Memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar hutan dalam bentuk pemberian sembako.
d) Peremajaan kembali terhadap lokasi yang rusak akibat tindak pidana pencurian kayu jati serta penebangan liar bersama-sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat sekitar hutan.
e) Mengembalikan hubungan yang harmonis antara masyarakat dengan instansi terkait sehingga tercipta kamtibmas yang kondusif.


BAB IV
PENUTUP

1. KESIMPULAN

a. Persepsi dan partisipasi masyarakat sekitar hutan terhadap pengamanan hutan masih negatif dan sangat kecil. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan pengamanan hutan dianggap mengurangi kesempatan masyarakat untuk ikut memanfaatkan hasil hutan (sebagai kayu bakar dan kayu pertukangan) dan mereka sering dijadikan “kambing hitam” dan “musuh” bagi petugas dalam program pengamanan hutan.
c. Dikaitkan dengan visi dan misi serta kebijaksanaan Polri tentang pengamanan hutan, maka pemerintah melalui wadah penegak hukum Polri diperlukan penanggulangan dalam pengungkapan dan penyelesaian kasus yang berhubungan dengan keberadaan hutan. Oleh karena itu sangatlah diperlukan kemampuan profesionalisme Polri khususnya di tingkat Polres sebagai Kesatuan Operasional untuk melakukan suatu strategi khusus dengan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1) Melakukan kegiatan deteksi dini, mulai dari modus operandi yang igunakan dalam tindak kejahatan maupun penindakan mulai dari para pelaku penadah, pelindung (beking) maupun daerah rawan yang sering dijadikan sasaran perambahan hutan dan penebangan liar oleh masyarakat sekitar hutan dan pemegang HPH.
2) Melakukan kegiatan preemtif Kepolisian ditingkat Polres bersama-sama dengan instansi terkait dan masyarakat melalui penyuluhan dan pembinaan tentang kesadaran hukum.
3) Melakukan kegiatan preventif Kepolisian dengan instansi terkait dan masyarakat, melalui kegiatan patroli gabungan dengan kendaraan roda dua maupun roda empat serta penjagaan di daerah-daerah rawan perambahan dan penebangan kayu secara illegal.
4) Melakukan kegiatan penegakan hukum Kepolisian dengan instansi terkait dan masyarakat melalui tindakan mulai dari penangkapan sampai dengan pelimpahan berkas perkara kepada penuntut umum dan selama penahanan terhadap pelaku tindak kejahatan, dihindari adanya penangguhan penahanan dan pinjam pakai barang bukti alat angkut (truk, Pick up, bis dan lain-lain).
5) Melakukan koordinasi dengan CJS dan instansi terkait lainnya, sehingga tugas yang diembankan kepada Polres mendapat dukungan.
d. Pengamanan hutan bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak kehutanan, perhutani ataupun Polri tetapi juga melibatkan semua instansi terkait lainnya dan masyarakat di sekitar wilayah hutan.
e. Pengamanan hutan secara terpadu harus dilaksanakan secara terus menerus dengan langkah-langkah/tahapan mulai dari pre-emtyp, preventif, penegakan hukum, koordinasi dan rehabilitasi.

2. Rekomendasi

a. Untuk menekan tingkat kerawanan gangguan keamanan hutan, Kepolisian sebagai lini terdepan bekerjasama dengan instansi terkait dan masyarakat sekitar hutan secara berkesinambungan melaksanakan kegiatan pengamanan hutan mulai dari deteksi dini, pencegahan maupun sampai dengan penindakan.
b. Dalam pengamanan hutan lebih difokuskan pada pemutusan jaringan pencurian kayu terorganisir dengan cara menindak tegas para penadah (pimpinan/otak pencuri kayu) dan penadah kayu illegal, tanpa adanya penangguhan perkara.
c. Kepolisian bersama-sama dengan Dinas kehutanan mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) agar biaya pengamanan terhadap hutan dimasukan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahunan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah daerah dan pusat.
d. Penindakan terhadap pelaku kejahatan oleh oknum aparat harus lebih transparan, agar masyarakat tidak merasa curiga terhadap kinerja Polri maupun aparat Kehutanan seperti opini selama ini.
Dalam pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan sebagai koordinator adalah Kepolisian di tingkat Polres dibantu unsur dari instansi terkait dengan dana APBD Dinas Kehutanan pada Instansi pemerintah setempat.
Rekomendasi ini sebagai saran /masukan dalam rangka mengoptimalkan perlaksanaan tugas pengamanan hutan di tingkat Polres, dengan harapan kinerja Polri ke depan lebih baik, lebih profesional dan lebih dicintai masyarakat.(ekobudi)