Senin, 04 Juli 2011

EFEKTIFITAS HUKUMAN MATI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru), pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan.

Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Namun demikian, instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali mela­rang pidana mati melainkan membatasi penerapannya.

Hal itu dalam konteks di Indonesia dikukuhkan dalam Pu­tusan MK No 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, mau­pun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi me­rupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 ta­hun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sem­buh.

Sosiologi hukum adalah analisa sosiologis terhadap hukum. Dalam disiplin sosiologi, hukum dijadikan obyek penelitiannya dan diasumsikan sebagai gejala sosial. Sebaliknya, sosiologi dijadikan perspektif di dalam menjelaskan gejala hukum. Keduanya memiliki ciri utama : yang pertama bersifat teoritis sedangkan yang kedua bersifat aplikatif. Makalah ini mengambil tema efektivitas hukuman mati di Indonesia. Dalam hal ini, penulis berusaha mengkaji perspektif sosiologis dalam hukum. Aplikasinya akan memperlihatkan hukuman mati sebagai suatu gejala hukum dikaitkan dengan efektivitas hukum sebagai obyek kajian sosiologi hukum.

Jika dihubungkan dengan hukuman mati, maka akan diketahui apakah hukum yang mengatur mengenai hukuman mati memiliki konsekuensi sosial, apakah perundang-undangan yang masih menerapkan hukuman mati sudah tepat, apakah tujuan diadakannya hukuman mati dan proses sosial seperti apa yang hendak dicapai dari adanya hukuman mati tersebut. Salah satu fungsi hukum, adalah membimbing perilaku manusia. Sebagai pedoman hukum bertugas untuk mengendalikan tingkah laku atau sikap tindak, dan untuk itu ia didukung dengan sanksi negatif yang berupa hukuman agar dapat dipatuhi. Oleh karena itu, hukum juga merupakan salah satu sarana pengendalian sosial. Dalam hal ini, maka hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri sendiri serta harta bendanya. Jadi, barang siapa yang melanggar hukum, dia akan memperoleh hukuman (pidana). Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana dan dimana aturan pidana itu menjelma disebut hukum pidana. Oleh karena itu, hukum pidana disebut sebagai Hukum Sanksi Istimewa. Penjatuhan pidana sebagai penderitaan kepada pelanggar hanya merupakan obat terakhir (Ultimum Remedium) yang hanya dijalankan jika usaha-usaha lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu bentuk pidana yang paling berat adalah Pidana Mati. Pidana mati merupakan satu jenis pidana dalam usianya, setua usia kehidupan manusia dan paling kontroversial dari semua sistem pidana, baik di negara-negara yang menganut sistem Common Law, maupun di negara-negara yang menganut sistem Civil Law. Terdapat dua arus pemikiran utama mengenai pidana mati ini, yaitu: pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan penghapusan secara keseluruhan. Kecenderungan masa kini adalah penghapusan pidana mati, seperti yang dilakukan dibeberapa Negara Amerika serikat dan Negara-negara Uni Eropa. Indonesia, termasuk Negara yang masih mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum positifnya. Hal ini terlihat baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau diluar KUHP (undang-undang pidana khusus). Pidana mati sebagai mana tercantum dalam KUHP belaku di Indonesia diatur dalam pasal 10 dalam pasal ini dimuat dua macam bentuk pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati adalah bagian dari pidana pokok adapun ketentuan diluar KUHP adalah antara lain dalam undang-undang (UU) No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika, UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia.

Di Indonesia perdebatan tentang penerapan pidana mati telah dimulai setidaknya sejak penjahat kelas kakap Kusni Kasdut dieksekusi pada tanggal 6 februari 1980. Ia dijatuhi hukuman mati karena kejahatan melakukan perampokan dan pembunuhan. Pelaksanaan eksekusi setelah permintaan grasinya ditolak. Terhadap terpidana Kusni Kasdut perhatian masyarakat pada waktu itu sangat besar. Kepergiannya meninggalkan keharuan, sekalipun ia adalah bekas perampok dan pembunuh. Secara kebetulan dalam masyarakat Indonesia sedang ada gerakan yang mempertanyakan, apakah pidana mati masih sesuai dengan kebudayaan masyarakat Pancasila. Pada tahun 2003 ihwal pidana mati ini kembali diperdebatkan. Hal ini bermula dari adanya penolakan grasi bagi enam terpidana mati oleh presiden Mengawati Soekarnoputri. Tanggal 3 februari 2003, presiden mengeluarkan empat keputusan presiden (keppres) No. 20/G; No. 21/G; No. 22/G; dan No. 24/G; Tahun 2003. Keempat keppres ini menolak semua permohonan grasi dari enam terpidana, masing-masing Suryadi Swabhuana (37), Sumiarsih (55), Djais andi Prayitno (69). Jurit bin Abdullah (38), dan Ayodhya Prasad Chaubey (64).5 beragam argumentasi, mengemuka, mulai dari nilai kemanusiaan dan HAM sampai pelanggaran konstitusi.

Perdebatan pidana mati kembali lagi mencuat terkait dengan uji materi pasal-pasal dalam undang-undang tentang Narkotika, pada bulan Juli 2007. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu memeriksaa dua perkara No. 2/PUU-V/2007 yang diajukan oleh empat orang, yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, keduanya sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan khusus wanita, Tangerang, serta Myuran sukmaran dan Andrew Chan, keduanya warganegara Australia yang sedang menjalani hukuman dilembaga pemasyarakatan krobokan, Kuta Bali, yang diwakili Kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis. Para pemohon merupakan terpidana mati yang telah menjalani proses persidangan mulai dari tingkat pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana yang diatur dalam UU Nakotika. Sejumlah ahli baik dari kalangan akademisi maupun praktisi dan aparat penegak hukum dihadirkan dalam sidang pengujian UU Narkotika tersebut. Berbagai pendapat dilontarkan yang semuanya hampir sama-sama kuat dan logis.

Terdapat dua arus pemikiran, yaitu; pertama, mereka yang kontra pidana mati menganggap bahwa dalam hal tindak pidana narkotika pidana penjara atau pidana mati lebih banyak tidak efesien daripada tujuan yang ingin dicapai, yakni timbulnya efek jera. Hal ini terlihat bahwa walaupun sudah banyak yang dijatuhkan pidana mati, tetap saja jumlah kasus narkoba tidak berkurang, bahkan bertambah. Sementara, yang pro pidana mati, menganggap masih perlu dan harus dipertahankan. Ancaman hukuman mati masih diperlukan untuk memberikan efek jera. Kepada para pelaku kejahatan dan mencegah pelanggaran yang lebih parah, terutama dalam hal kasus narkotika. Satu-satunya cara untuk memutus mata rantai narkotika adalah dengan menjatuhkan pidana mati kepada pelaku narkoba. Hal ini untuk melindungi kepentingan negara dan masyarakat dari bahaya narkotika. Setelah mendengar berbagai pendapat tersebut, MK perlu juga mendengar tim perumus RUU KUHP yang diwakili oleh Mardjono Reksodiputro. Menurutnya RUU masih masih mengadopsi pidana mati, hukuman mati masih diperlukan tapi bukan pada pidana pokoknya. “Ia harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif dikhusus pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan bulat oleh majelis hakim” Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa Indonesia termasuk Negara yang masih menganut pidana mati dalam hukum positifnya. Terkait dengan penerapan pidana mati, tulisan ini bertitik tolak pidana mati sebagai sanksi pidana dengan melihat bahwa yang dituju adalah suatu proyeksi mengenai efektivitasnya sebagai sarana prevensi maupun represi. Hal ini perlu disoroti, karena menurut penulis perihal pidana mati mengenai perlu atau tidaknya diterapkan sebaiknya juga dilihat apakah ia dapat memberikan pengaruh agar tujuan pemidanaan untuk menganggulangi kejahatan tercapai.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan penjelasan yang bersifat teoritis mengenai peranan sanksi yang dalam hal ini adalah hukuman mati di dalam proses efektivikasi hukum.

B. Perumusan Masalah

Di Indonesia hukum mati sedang marak-maraknya diberitakan di media massa. Pro dan Kontra pun mulai bermunculan, sebagian orang menyetujui tentang hukuman mati ini tapi di lain pihak ada juga yang tidak menyetujuinya. Berbagai sudut pandang digunakan untuk memperkuat argumen mereka tentang sah atau tidaknya hukuman mati ini, mulai dari sisi agama, hak asasi manusia, hukum, sosial budaya sampai pada paham yang dianut suatu negara. Pada saat ini, hukuman mati ini sudah mulai di terapkan dengan tegas. Di bandingkan dengan tiga Presiden terdahulu, selepas Orde Baru, yakni Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyelenggarakan 13 kali eksekusi mati.. tercatat sudah 13 kali hukuman mati ini dilaksanakan, Contohnya kasus Tibo cs yang menjadi tersangka kerusuhan di poso, Amrozi cs yang menjadi tersangka kasus bom Bali I dan kasus-kasus kriminal lainnya. Jika bentuk hukuman ini lebih dikembangkan lagi dan akan dipertegas mungkin akan banyak lagi tersangka-tersangka yang akan di hukum mati seperti kasus-kasus korupsi di instansi pemerintahan. Dalam hal ini yang menjadi perrmasalahan dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana hukuman mati menurut sudut pandang sosiologi hukum ?

2. Apakah efektifitas hukuman mati di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui hukuman mati menurut sudut pandang sosiologi hukum.

2. Untuk mengetahui efektifitas hukuman mati di Indonesia.

D. Kerangka Teori

Di dalam tulisan ini akan dibatasi hukuman pidana siksaan riil atau materil khususnya pidana mati. Mengenai hukuman bagi pelaku, maka terdapat beberapa teori-teori mengenai pembebanan penjatuhan hukuman tersebut. Ada tiga teori, yakni; teori absolut, teori relatif dan teori gabungan dan relatif.

Dari segi teori absolut, dengan aspek pembalasannya dan unsur membinasakan dalam pengertian khusus teori absolut, bahwa pidana mati bukanlah pembalasan, melainkan refleksi dari sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, maka nestapa yuridis berupa hukuman mati harus didayagunakan demi menjaga keseimbangan dalam tertib hukum. Teori relatif dengana aspek menakutkan (menjerakan) bertujuan melindungi masyarakat umum dan menakuti niat jahat calon penjahat yang secara potensial berbuat jahat. Teori relatif mengandung aspek menakutkan, tetapi lebih cenderung ke segi proses paksaan psikologis, dengan maksud si penjahat menjadi jera, atau upaya menakuti bagi mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat. Teori gabungan absolut dan relatif, melihat bahwa tujuan penjatuhan pidana adalah tidak sekedar bertujuan semata-mata hanya pembalasan tetapi juga untuk menakutkan.

Sehubungan dengan ketiga teori tersebut diatas, menarik untuk dikemukakan pendapat J.E. Sahetapy, yang menyatakan bahwa sebaiknya teori-teori tersebut jika ingin dipakai hanya sebagai referensi saja. Sebab teori-teori tersebut yang didasarkan atas pemikiran secara transcendental atau secara “Conceptual Abstraction” belum dapat memberi jawaban yang memuaskan. Lebih lanjut dikemukakannya, bahwa tujuan pidana bukanlah untuk membalas perbuatan jahat dari si pelaku. Sebab bagaimanapun perbuatannya itu sudah terjadi dan tidak perlu lagi disesali. Pernyataan ini ditunjang dengan asumsi bahwa si pelaku menganggap pidana baginya bukan suatu penderitaan, karena bagimanapun juga si pelaku merasa puas dan senang bahwa lawannya (si korban) telah memperoleh suatu imbalan penderitaan. Ini berarti, bahwa kejahatan sebagai tingkah laku bersifat simptomatik, tidak hanya si pelaku, melainkan juga dalam hubungan antara si pelaku dan si korban, oleh karena seringkali si korban juga memiliki sifat-sifat yang menimbulkan kecenderungan untuk dijadikan mangsa dan dengan demikian ikut bertanggung jawab juga. Oleh karena itu, pembalasan dalam bentuk apapun tidak akan membawa suatu keseimbangan kembali, kecuali memuaskan nafsu bahwa sipelaku telah memperoleh imbalan penderitaan. Demikian juga, pidana jangan hanya untuk menakut-nakuti semata-mata. Tidak ada jaminan bahwa si pelaku akan menjadi takut dan si pelaku tidak akan berbuat lagi.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukuman Mati menurut Sudut Pandang Sosiologi Hukum

Dalam prespektif sosiologis, hukuman mempunyai arti sosial yang tertentu oleh karena kekuatan suatu sanksi tergantung pada persepsi manusia mengenai sanksi/hukuman tersebut. Durkheim, mengkaitkan jenis sanksi dengan jenis solidaritas sosial masyarakat. Pada solidaritas mekanis yang didasarkan pada kesamaan dan loyalitas yang total dari individu, maka sanksi yang diterapkan bersifat represif. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk menghukum kejahatan atau menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial yang dianut. Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk memuaskan kesadaran bersama. Pada masyarakat dengan solidaritas organis yang didasarkan pada deferensiasi antara individu, maka sanksi/hukumannya bersifat restitutif. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah hukuman yang bersifat akomodatif, sifatnya adalah menjaga perbedaan-perbedaan itu agar tidak menjadi disintegratif. Selain dari persepsi orang terhadap sanksi, manusia juga mempunyai taraf toleransi yang berbeda-beda terhadap penderitaan sebagai akibat pelanggaran. Kedudukan sosio – ekonomi juga berpengaruh pada penjatuhan hukuman mati bagi seseorang. Seperti yang diungkapkan dalam kajian di Amerika, disebutkan bahwa hukuman mati akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap warga masyarakat yang miskin dan minoritas, apabila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari golongan kulit putih. Hal ini terkait dengan bantuan hukum bagi terdakwa. Mereka juga lebih banyak dihukum mati jika dibantu oleh pengacara yang diitunjuk pengadilan dibandingkan dengan jika didampingi oleh pengacara pribadi.

Faktor terpenting dari hukuman mati adalah faktor kematian itu sendiri. Dari aspek medis, kematian diindikasikan dengan kematian fisik, namun kematian yang mungkin terjadi sesungguhnya tidak hanya kematian fisik, tetapi juga kematian sosial. Dari sudut pandang sosiologis, seseorang bisa disebut masih hidup secara fisik, tetapi sekaligus mengalami kematian sosial. Hal tersebut terjadi di saat sesorang berada dalam kondisi sosial sedemikian rupa, sehingga kebebasannya untuk melakukan aktifitas social dirampas habis. Kematian sosial bisa menjadi suatu alternatif penting dalam bentuk sanksi pidana untuk menggantikan pidana mati. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang yang dijatuhi hukuman dua kali seumur hidup tanpa kemungkinan keringanan, secara fisik ia hidup tetapi mungkin penderitaan yang dialaminya adalah lebih berat dan panjang, terutama dari segi penderitaan sosial. Terpidana ini terisolasi dari rutinitas kehidupan sosialnya dan hal ini merupakan pukulan yang sangat berat, terlebih harus dipisahkan dari keluarga dekatnya selama ini.

Menurut Satjipto, dalam hukum sesungguhnya telah dikenal istilah “kematian perdata”. Konon kematian seperti ini pernah menimpa sejumlah orang pada masa pemerintahan orde baru lalu. Karena dianggap membahayakan penguasa, maka tanpa melalui proses peradilan, mereka dimatikan secara perdata. Orang yang terkena kematian perdata itu masih hidup segar bugar, tetapi jaringan kehidupan sosialnya banyak dimatikan, misalnya ia tidak dapat lagi melakukan usaha bisnisnya seperti biasa dan demikian juga dengan pembatasan terhadap berbagai aktifitas sosialnya. Pidana kematian sosial ini pada dasarnya dapat memberikan efek jera yang luar biasa sekaligus menjadi suatu evaluasi tepat terhadap suatu vonis hukuman, apakah vonis hukuman yang dijatuhkan pengadilan itu memang benar atau justru keliru dan berbanding terbalik dengan fakta kebenaran yang ada. Bagi orang yang telah dijatuhi pidana mati dan eksekusi sudah dilaksanakan, maka tidak ada sesuatu apapun yang dapat diperbaiki.

Apabila ternyata dibelakang hari terjadi kekeliruan terpidana tetap akan mati, sekalipun ternyata bukan dia yang melakukan perbuatan yang didakwakan. Ia tidak dapat lagi dihidupkan, meskipun nama baiknya dapat dipulihkan. Pada solidaritas mekanis yang didasarkan pada kesamaan dan loyalitas yang total dari individu, maka sanksi yang diterapkan bersifat represif. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk menghukum kejahatan atau menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial yang dianut. Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk memuaskan kesadaran bersama.

B. Efektifitas hukuman mati di Indonesia

Suatu ancaman hukuman jika hanya tercantum diatas kertas saja, maka hal itu tidak ada artinya. Efek dari hukuman yang hanya bersifat formal saja hampir-hampir tak ada. Efek tersebut akan datang dari kekuatan suatu ancaman yang benar-benar diterapkan, apabila suatu ketentuan dilanggar. Sudah tentu kemungkinan bahwa warga masyarkat takut suatu ancaman hukuman, karena tidak tahu bahwa ancaman hukuman tersebut hanya bersifat formal. Di dalam buku di bidang kriminologi sering kali ditemukan pernyataan bahwa yang penting pada sanksi adalah kepastian. Dengan kata lain, yang terpenting adalah apakah suatu sanksi sungguh-sungguh ataukah tidak. Pentingnya kepastian tersebut antara lain mengakibatkan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan tertentu dilakukan secara ketat. Terkait dengan masalah kepastian penerapan sanksi dihubungkan dengan masalah pidana mati, berdasarkan data yang dikumpulkan dari Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, menunjukkan bahwa pidana mati yang dijatuhi oleh hakim di Indonesia sampai dengan Maret 2007 berjumlah 95 kasus, dimana sebagian besar jenis perkara tersebut adalah kejahatan narkotika dan psikotropika, serta kejahatan pembunuhan berencana. Dari mereka ada yang telah dieksekusi, dalam proses dan juga menunggu eksekusi. Beberapa orang telah menunggu eksekusi lebih dari lima tahun bahkan ada yang lebih dari 10 tahun.

Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana dampaknya bagi si terpidana sendiri? Jelas, bahwa dengan teggang waktu yang lama menunggu waktu pelaksanaan eksekusi ditetapkan, bagi terpidana sendiri sesungguhnya dia telah menjalani dua bentuk hukuman, yaitu penjara dan hukuman mati. Dengan demikian apakah keadilan sudah ditegakkan? jawabannya tentu tidak. Keadilan ada, jika terdapat keserasian antara nilai kepastian dan kesebandingan. Kepastian, ditunjukan pada masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan pada aparat/penguasa, dalam hal ini bagi siapa yang melakukan pelanggaran pasti akan memperoleh sanksi/hukuman. Kepastian jika dilihat dari sudut masyarakat, perlu bahwa masyarakat harus dilindungi jika mengingat misalkan dalam hal kasus narkoba yang berkilo-kilo dijual oleh pengedar, berapa korban khsusna generasi muda yang akan jatuh dan meninggal dunia akibat over dosis, apakah kesebandingan lebih ditunjukan pada kepentingan si terpidana, apakah yang bersangkutan telah memperoleh hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Untuk itu, ketidakpastian dalam pelaksanaan eksekusi, merupakan tambahan penderitaan bagi terpidana. Bagi masyarakat kepastian akan pelaksanaan hukuman, juga dapat berdampak pada proses pencegahan timbulnya kejahatan. Perlu dicacat, bahwa yang mempunyai dorongan untuk melakukan pelanggaran atau tidak bukan terletak pada resiko itu sendiri, namun pada anggapan-anggapan yang berasal dari diri sendiri mengenai resiko tersebut. Dengan demikian yang menjadi titik sentral adalah apakah suatu sanksi bersifat sungguh-sungguh atau tidak.

Kecepatan pelaksanan hukuman sama pentingnya dengan kepastian dan kesebandingan (berat hukuman). Suatu hukuman yang dijatuhkan mempunyai efek yang lebih besar daripada apabila hal itu ditunda. Mengapa? Karena, jika ditunda begitu lama masyarakat akan lupa dengan kejahatan yang dilakukan oleh terpidana, sehingga efek yang diharapkan agar masyarakat dapat dicegah untuk melakukan pelanggaran tidak terwujud. Adapun penyebab lamanya pelaksanaan pidana mati adalah sebagai berikut: secara substansi, bedasarkan pasal 24, 25, 26, 27, 28, 29 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, menyatakan bahwa masa penahanan untuk terdakwa dengan pidana diatas 9 tahun dari mulai proses penyidikan sampai dengan keluarnya putusan kasasi dari Mahkamah Agung adalah 700 hari. Belum ditambah dengan masa pemeriksaan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung yang tidak dibatasi jangka waktunya, serta lamanya waktu yang dibutuhkan presiden untuk mempertimbangkan keputusan grasi. Berbeda dengan peninjauan kembali yang tidak mempunyai jangka waktu, maka grasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pasal 8, 9, 10, 11, 12, waktu maksimal yang dibutuhkan adalah 7 bulan 11 hari, jika grasi diajukan melalui Kepala LP. Jika diajukan langsung sendiri, maka jangka waktu yang ditempuh adalah 7 bulan 4 hari. Berdasarkan pasal 2 ayat (3) UU ini, terpidana dapat mengajukan grasi kedua setelah permohonan grasi pertama ditolak, dan telah lewat waktu 2 tahun.

Dalam praktek, biasanya setelah terpidana kasasinya ditolak dia mengajukan grasi. Kemudian, setelah grasi ditolak, ia mengajukan peninjauan kembali. Seperti disebutkan diatas jangka waktu peninjauan kembali tidak diatur, sehingga diharapkan peninjauan kembali akan memakan waktu lama, yaitu dua tahun atau lebih. Pada saat itu, sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (3), maka ia sudah dapat mengajukan lagi grasi kedua. Jika kemudian grasi ditolak, ia mengajukan kembali peninjauan kembali. Sehingga ada beberapa terpidana yang telah mengajukan grasi dan peninjauan kembali (PK) berulang-ulang. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika hukuman mati yang dijatuhkan kepada terpidana memakan waktu yang relatif lama untuk sampai pada waktu pelaksanaan eksekusi. Perlu disampaikan disini pernyataan L.M. Friedman, bahwa hukuman dengan ancaman hukuman mati dapat bekerja secara efisien di beberapa masyarakat “yang menggunakan hukuman tersebut secara cepat, tanpa ampun dan frekuensinya baik. Hukuman mati tidak dapat bekerja dengan baik di Amerika Serikat dimana pelaksanaannya berlangsung lamban dan bersifat kontoversi”.

Dari uraian diatas, maka dengan adanya ketidak pastian dan lamanya pelaksanaan eksekusi, tentunya hukuan mati sebagai sarana untuk menimbulkan efek jera dan usaha pencegahan timbulnya kejahatan tidak terwujud. Sebab, masyarakat sudah lupa dengan kejahatan yang dilakukan oleh terpidana itu sendiri. Jikapun masih ingat, mungkin mereka menjadi berfikir belum tentu hukuman akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, dapat saja mereka mencoba-coba melakukan pelanggaran, dengan harapan apabila tertangkap hukuman tidak dilaksanakan. Namun demikian, pernyataan diatas perlu dibuktikan bahwa apakah pidana mati membawa pengaruh pada efektivitas hukum. Hal ini harus dilakukan dengan mempelajari secara empiris dan faktual. Seperti yang dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa hubungan ancaman hukuman mati dengan mengurangi kejahatan atau tindak kejahatan sangat hipotetical. Kurang bisa dibuktikan, tetapi bukan berarti bahwa tidak dapat mengurangi. Orang yang mengatakan hapuskan hukuman matipun tidak dapat membuktikan bahwa pidana mati itu tidak efektif.

BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum positif kita masih mengadopsi pidana mati. Kontroversi tentang penerapan sistem hukum mati ini sudah lama muncul di Indonesia dan menimbulkan pertentangan antara kubu yang pro dan kontra terhadap penerapan system hukuman ini, dan perdebatan panjang antara yang pro dan kontra pidana mati sampai saat ini terus berlangsung. Perdebatan berkisar perlu atau tidaknya pidana mati diterapkan di Indonesia. Mereka yang menganggap perlu, menyakinkan bahwa pidana mati dapat memberikan efek jera, sehingga satu-satunya cara khusus untuk narkoba dengan penjatuhan pidana mati bagi pelaku. Mereka yang kontra pidana mati, berargumen bahwa pidana mati tidak menimbulkan efek jera terlihat dari banyaknya kasus narkoba saat ini, walaupun sudah ada ancaman pidana mati. Mereka berpendapat bahwa untuk melihat antara hukuman mati dengan mengurangi kejahatan itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Hal ini bersifat hipotetical. Secara sosiologis, pidana mati dapat menimbulkan efek jera atau dapat mengurangi timbulnya kejahatan dipengaruhi sifat oleh hakekat sanksi, kepastian dan persepsi terhadap sanksi, maupun kecepatan-kecepatan penindakan/penerapan sanksi. Sanksi dapat bersifat positif dan negatif. Sanksi positif berwujud imbalan dan negative berwujud hukuman. Hukuman mempunyai arti sosial tertentu oleh karenanya kekuatan sanksi tergantung pada persepsi manusia terhadap sanksi itu sendiri, kepastian penerapannya dan juga kecepatan penindakan/penerapannya. Dalam praktek, terdapat kendala dalam substansi peraturan terkait masalah permohonan peninjauan kembali dan grasi, sehingga tenggang waktu antara penjatuhan vonis sampai dengan eksekusi memakan waktu relatif lama. Hal ini akan berpengaruh pada efektivitas pidana mati dalam mengurangi atau memberantas kejahatan.

Namun demikian, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ulasan ini bersifat teoritis, sehingga perlu kajian secara empiris. Sosiologi selalu melihat sesuatu tampil secara alami, tanpa intervensi pendapat. Cara seperti ini lazim disebut sebagai empirik. Sumbangan yang diberikan oleh sosiologi adalah dengan memberikan penjelasan terhadap subyek yang diamati. Demikian pula pada waktu dihadapkan kepada masalah pidana mati. Sosiologi ingin melihat dulu bagaimana pidana mati itu muncul, mencari latar belakang dan sebab-sebabnya, sehingga diperoleh pemahaman sebaik-baiknya. Dikarenakan Indonesia masih mencantumkan ancaman hukuman mati sebagai salah satu bentuk ancaman hukuman dalam hukum positifnya, maka hukuman mati merupakan satu bentuk hukuman yang secara perundang-undangan masih sah dilakukan di negeri ini. Apabila menggunakan sosiologi, maka akan tergoda untuk mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan adanya kematian yang tidak hanya fisik, melainkan juga sosial. Seseorang dapat disebut masih hidup secara fisik, tetapi sekaligus mengalami kematian sosial. Hal itu terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi sosial sedemikian rupa, sehingga kebebasannya untuk melakukan aktivitas sosial dirampas habis. Apakah penjatuhan hukuman mati melalui peradilan menjamin kebersihan dalam menjatuhkan pidana itu? Jawaban dari sosiologi adalah, tidak juga. Jika dikatakan bahwa melalui perundang-undangan segalanya sudah diselesaikan dan dikendalikan, maka itu adalah baru sebagian dari potret sesungguhnya. Potret penerapan perundang-undangan dimasyarakat tidak hitam-putih, melainkan berwarna-warni, tergantung dari politik penegakan hukum dan ideologi di belakangnya. Tidak hanya itu, melainkan juga ditentukan oleh sosiologi penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Statistik pidana mati di Amerika Serikat memberi tahu bahwa penggunaan pidana mati itu tidak berjalan secara linier dan matematis, melainkan penuh dengan intervensi ideologis. Penelitian hukum Donald Black (1989) ingin mengatakan bahwa penegakan hukum di Amerika Serikat didasari oleh ideologi keunggulan ras kulit putih. Sebagai contoh, apabila terjadi pembunuhan oleh warga kulit putih terhadap kulit hitam, maka resiko dijatuhkannya pidana mati mendekati nol. Sosiologi hukum bukan suatu ilmu yang menghukumi sesuatu. Berdasarkan hal-hal yang dapat diamati, sosiologi hukum berusaha untuk mencari dan membuat penjelasannya. Dengan situasi yang demikian itu, maka sosiologi hukum menyediakan bahan bagi pembuat hukum pada waktu akan memutuskan tentang pidana mati tersebut. Para pengambil keputusan boleh mengambilnya atau tidak sebagai bahan untukmenentukan apakah yang akan dilakukan oleh hukum Indonesia mengenai pidana mati.

B. Saran

Sebagai saran, ada baiknya melihat alternatif pemidanaan di masa depan dalam

penanggulangan kejahatan seperti terorisme dan narkoba misalnya pidana ganti rugi. Bahwa kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktivitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi, dapat menjadi kausa kejahatan. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Sanksi ganti kerugian merupakan suatu sanksi yang mengharuskan seseorang yang telah bertindak merugikan orang lain untuk membayar sejumlah uang ataupun barang pada orang yang dirugikan, sehingga kerugian yang telah terjadi dianggap tidak pernah terjadi. Saat ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana. Indonesia, sebagai bagian dari negara-negara di dunia yang tengah mempersiapkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (baru) untuk menggantikan KUHP yang diambil oper dari wetboek van strafrecht Belanda, sudah sepantasnya mempertimbangkan keberadaan sanksi ganti kerugian dalam hukum pidana mendatang. Apalagi jika terbukti bahwa hukuman mati sudah tidak efektif lagi untuk menekan angka kejahatan.(eb)

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika menutup rapat kabinet terbatas bidang politik, hukum, dan keamanan di Kantor Presiden, Jakarta, pada hari Senin tanggal 17 Januari 2011 yang lalu mengeluarkan 12 Instruksi Presiden terkait dengan kasus mafia hukum dan mafia pajak oleh Gayus HP Tambunan. Adapun 2 Instruksi Presiden tersebut yang menarik untuk dikaji dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum saat ini adalah : Pertama, Guna meningkatkan efektivitas, penanganan kasus Gayus HP Tambunan agar metode pembuktian terbalik dapat dilakukan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, untuk mengamankan dan mengembalikan aset negara, termasuk dilakukan perampasan terhadap uang yang diduga didapat dari hasil korupsi.

Dikatakan Presiden, tekad pemerintah dan aparat penegak hukum adalah menuntaskan penindakan hukum terhadap mereka yang bersalah dalam kasus Gayus Tambunan dengan tiga sasaran. Pertama, hukum benar-benar ditegakkan, dan mereka yang bersalah diberikan sanksi yang sesuai. Kedua, dilakukan penataan organisasi, posisi, dan jabatan di sejumlah lembaga yang diduga terdapat penyimpangan. Ketiga, menutup atau memperbaiki titik lemah atau lubang hukum agar kasus serupa pada masa mendatang tak terulang.

Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian uang, yang sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi ini. Yang menjadi masalah adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan ada gejala dalam pengalaman yang memperlihatkan, semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan korupsi.

Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Namun di dalam KUHP kewajiban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHP Bab XVI bagian ke empat (Pasal 183 – Pasal 232 KUHAP), sehingga asas pembuktian terbalik di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia tidak di atur. Pada hakikatnya asas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Sistem Hukum pidana Indonesia dikenal dalam Tindak Pidana Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003) dan Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999).

Jika menginginkan pembuktian terbalik bisa diandalkan menjerat, mempertanggungjawabkan, dan mengalahkan koruptor atau mampu menjadi penggerak bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system), sistem pembuktian terbalik wajib diberlakukan lebih dahulu pada elemen penegak hukum seperti jaksa, hakim, polisi, KPK, dan lembaga-lembaga strategis yang menjadi pilar bekerjanya law enforcement.

Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian beyond reasonable doubt, yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), tetapi di sisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, 'pembuktian negatif' tidak mudah diterapkan.

2. Permasalahan

Adapun permasalahan dari penggunaan metode pembalikan beban pembuktian dalam perkara korupsi Dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi yang akan diuraikan oleh Penulis dalam makalah ini adalah :

a. Bagaimana pengaturan asas pembuktian terbalik dalam KUHAP ?

b. Bagaimana pengaturan pembuktian terbalik dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

c. Apakah Problematik Beban Pembuktian Terbalik ?

3. Maksud Dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan asas pembuktian terbalik dalam KUHAP.

b. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pembuktian terbalik dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

c. Untuk mengetahui apakah Problematik Beban Pembuktian Terbalik.

4. Kegunaan Penelitian

Semoga dalam penulisan makalah ini dapat berguna bagi semua pihak. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dan dapat berguna untuk menambah khazanah keilmuan terutama di bidang hukum dan semoga keberadaan makalah ini dapat memberi masukan bagi semua pihak.

5. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada makalah ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu berpedoman pada tinjauan kepustakaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Melalui penelitian normatif melalui study kepustakaan (library research) yaitu bahan-bahan yang diperoleh melalui undang-undang, literature, buku-buku dan lainnya yang berhubungan dengan Tindak Pidana Korupsi.

6. Sistematika Penulisan

Dalam memudahkan memahami isi makalah ini penulis menyusun makalah ini dalam beberapa bab, lebih jelasnya sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

2. Permasalahan

3. Maksud Dan Tujuan

4. Kegunaan Penelitian

5. Metode Penelitian

6. Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

1. Asas Pembuktian Terbalik dalam KUHAP.

2. Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3. Problematik Beban Pembuktian Terbalik.

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

PEMBAHASAN

1. Asas Pembuktian Terbalik dalam KUHAP

Pembuktian adalah suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa. Pasal 183 KUHAP menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Sedangkan mengenai ketentuan alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yang berbunyi :

a. alat bukti yang sah ialah : Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa.

b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Alat bukti petunjuk sangat diperlukan dalam pembuktian suatu perkara terutama dalam kasus korupsi. Alat bukti petunjuk tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi bergantung pada alat-alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh jaksa penuntut umum dan penasehat hukum. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membangun alat bukti petunjuk ialah keterangan saksi, surat-surat dan keterangan tersangka (pasal 188 ayat 2 KUHAP).

Alat bukti petunjuk dalam hukum pidana formil korupsi tidak saja dibangun melalui tiga alat bukti dalam pasal 188 ayat 2 KUHAP, melainkan dapat diperluas di luar tiga alat bukti yang sah tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam pasal 26 A Undang-undang No. 20 Tahun 2001 yaitu :

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu dan

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi yang dirumuskan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang No. 29 Tahun 2001 merupakan perkecualian dari hukum pembuktian yang ada dalam KUHAP. Di dalam KUHAP kewajiban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP Bab XVI bagian ke empat (Pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP), sehingga status hukum atau kedudukan asas pembuktian terbalik di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia (KUHAP) tidak diatur.

Sesuai dengan pasal 183 KUHAP, maka jelaslah bahwa kedudukan asas pembuktian terbalik tidak dianut dalam sistem hukum acara pidana pada umumnya, melainkan yang sering diterapkan dalam proses pembuktian dalam peradilan pidana yaitu teori jalan tengah yakni gabungan dari teori berdasarkan undang-undang dan teori berdasarkan keyakinan hakim.

Istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian”. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik.

Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalis terletak pada penuntut umum. Namun, mengingat adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan tidak lagi kepada penuntut umum tetapi kepada terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “pembuktian terbalik”

Kalimat tersebut sungguh tepat karena tanpa meletakan kata “beban” maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian terbalik tanpa kata beban dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa sehingga secara harfiah hanya melihat tata urutan alat bukti saja.

Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian, yaitu:

a. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum

Penuntut umum tiada mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan undang-undang kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam requisitornya.

Apabila terdakwa dapat membuktikan hak tersebut, bahwa ia tidak melakukan delik korupsi, tidak berarti bahwa ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik terbatas, karena penuntut umum masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri. Teori beban pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti ini dapat dikategorisasikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”.

b. Beban Pembuktian pada Terdakwa

Terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan teori” Pembalikan Beban Pembuktian” (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof/ Onus of Proof”). Ada dua hal yang harus diperhatikan oleh terdakwa dalam menggunakan haknya, yaitu:

1) Untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan delik korupsi sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum.

Syarat ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHP, yang menentukan bahwa Penuntut Umum wajib membuktikan dilakukan tindak pidana, bukan terdakwa. Terdakwa dapat membuktikan dalilnya, bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2) Ia berkewajiban untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya sendiri, harta benda isterinya, atau suami (jika terdakwa adalah perempuan), harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga ada kaitannya dengan perkara yang bersangkutan. Ia berkewajiban memberi keterangan tentang asal usul perolehan hak atau asal usul pelepasan hak. Perolehan/ pelepasan hak itu mengenai kapan; bagaimana; dan siapa-siapa saja, yang terlibat dalam perolehan/ pelepasan hak itu serta mengapa dan sebab-sebab apa perolehan atau peralihan itu terjadi.

Dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana korupsi.

c. Beban Pembuktian Berimbang

Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/ atau Penasihat Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa beserta penasehat hukum akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang”.

Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji dari tolak ukur Penuntut Umum dan Terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategorisasi yaitu:

a. Sistem beban pembuktian “biasa” atau konvensional”, Penuntut Umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan undang-undang. Kemudian terdakwa dapat menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari Penuntut Umum sesuai ketentuan Pasal 66 KUHAP.

b. Teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau “murni” bahwa terdakwa dan/ atau Penasihat Hukumnya membuktikan ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian terdakwa dan Penuntut saling membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa.

2. Pengaturan Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pada tahun 1971 telah dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun 1999 diundangkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menganut sistem pembuktian terbalik terbatas yang terdapat dalam Pasal 37 yang memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik yang terbatas terhadap harta benda tertentu dan mengenai perampasan harta hasil korupsi. UU No. 3 Tahun 1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap mempergunakan teori pembuktian negative, kemudian di UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni berupa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dan Berimbang. Yang mengatur pembuktian terbalik secara lebih jelas yaitu pada Pasal 12 B, 12 C, 37, 37A, 38 A, dan 38 B.

Dasar hukum munculnya peraturan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah Pasal 103 KUHP. Didalam pasal tersebut dinyatakan : ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada undang-undang (wet) tindakan umum pemerintahan (algemene maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain. Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengatur lain daripada yang telah diatur di dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex specialis derogate Legi Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.

Pada KUHP Tindak Pidana jabatan yang berkorelasi dengan perbuatan korupsi terdapat di dalam Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya terhadap perbuatan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP), membuat palsu atau memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau janji (Pasal 418, 419, dan 420 KUHP) serta menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum (Pasal 423, 425 dan 435 KUHP).

Pada hakikatnya, ketentuan-ketentuan Tindak Pidana Korupsi itu ternyata kurang efektif dalam menanggulangi korupsi. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan yang dapat lebih memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap pelaku-pelakunya. Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum Pidana (Formal), baik sistem Eropa Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, dalam “certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof” (Omkering van Bewijslast). Itu pun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/ Terdakwa.

Penjelasan umum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dikatakan pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni : “terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya”. Kata-kata “bersifat terbatas” didalam memori atas pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi” hal itu tidak berarti bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab Penuntut Umum, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Kata-kata “berimbang” dilukiskan sebagai penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai output. Antara income sebagai input yang tidak seimbang dengan output atau dengan kata lain input lebih kecil dari output. Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai output tersebut (misalnya rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham, simpanan dolar dalam rekening bank, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan dari tidak pidana korupsi yang didakwakan.

Jadi, dalam pembuktian delik korupsi dianut dua teori pembuktian, yakni :

1) Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa

Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta berwujud dalam, hal-hal sebagai tercantum dalam pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999, sebagai berikut:

a) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

b) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

c) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

d) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber panambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

e) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya.

2) Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum.

Sedangkan teori negatif menurut undang-undang tersirat dalam pasal 183 KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian terbalik adalah sistem dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus jika dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum didakwakan. Bahkan jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya.

3. Problematik Beban Pembuktian Terbalik

Ada dilema bersifat krusial dalam perundang-undangan Indonesia tentang beban pembuktian terbalik. Pada ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37, Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur tentang beban pembuktian terbalik. Benarkah demikian dikaji dari aspek teoritis dan praktik. Menurut penulis, tidak secara tegas ada kesalahan dan ketidakjelasan perumusan norma tentang beban pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 12B UU 31/1999 yo UU 20/2001. Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) berbunyi :

“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut : (a) yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; (b) yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.”

Ada beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di atas. Pertama, dikaji dari perumusan tindak pidana (materiele feit) ketentuan tersebut menimbulkan kesalahan dan ketidakjelasan norma asas beban pembuktian terbalik. Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan diterapkan kepada penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a yang berbunyi, “yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi”, akan tetapi di sisi lainnya tidak mungkin diterapkan kepada penerima gratifikasi oleh karena ketentuan pasal tersebut secara tegas mencantumkan redaksional, “setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”, maka adanya perumusan semua unsur inti delik dicantumkan secara lengkap dan jelas dalam suatu pasal membawa implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang bersangkutan.

Tegasnya, asas beban pembuktian terbalik ada dalam tataran ketentuan UU dan tiada dalam kebijakan aplikasinya akibat kebijakan legislasi merumusan delik salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada. Kedua, terdapat pula kesalahan dan kekeliruan perumusan norma ketentuan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang redaksional “….dianggap pemberian suap”. Apabila suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara gratifikasi tersebut bukan dikategorisasikan “…dianggap pemberian suap” akan tetapi sudah termasuk tindakan “penyuapan”. Eksistensi asas beban pembuktian terbalik sesuai norma hukum pidana ada bukan ditujukan kepada gratifikasi dengan redaksional “...dianggap suap” akan tetapi harus kepada dua unsur rumusan sebagai bagian inti delik berupa rumusan yang berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediening) dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban (in stijd met zijn plicht). Ketiga, Hakikatnya, dari dimensi beban pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) atau asas praduga korupsi (presumption of corruption). Selain itu berlawanan dengan ketentuan hukum acara pidana yang mensyaratkan terdakwa tidak dibebankan kewajiban pembuktian sebagaimana ketentuan Pasal 66 KUHAP, Pasal 66 ayat (1), (2). Dari apa yang telah diuraikan di atas maka sebenarnya beban pembuktian terbalik dalam perundang-undangan Indonesia “ada” ditataran kebijakan legislasi akan tetapi “tiada” dan “tidak bisa” dilaksanakan dalam kebijakan aplikasinya.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Istilah pembuktian terbalik sebenarnya kurang tepat, dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian”. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik.

b. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber panambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya.

c. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian terbalik adalah sistem dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus jika dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum didakwakan. Bahkan jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya.

d. Terdapat problematik bersifat krusial dalam UU Tindak pidana Korupsi yang menjadikan kesalahan fundamental. Pertama, dikaji dari perumusan tindak pidana (materiele feit) ketentuan tersebut menimbulkan kesalahan dan ketidakjelasan norma asas beban pembuktian terbalik. Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan diterapkan kepada penerima gratifikasi. Kedua, terdapat pula kesalahan dan kekeliruan perumusan norma tentang suatu gratifikasi yang telah diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara Negara. Ketiga, dari dimensi beban pembuktian terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) atau asas praduga korupsi (presumption of corruption).

e. Di dalam sistem UU Tipikor, yang dinamakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap (gratifikasi). Jadi di UU No.31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.20 Tahun 2001(Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,15), pembalikan beban pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk Pasal 12 b dan 38 b yaitu yang berkaitan dengan delik suap.

f. Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku hanya terhadap perampasan harta kekayaan dari seorang terdakwa yang dikenakan tuduhan dan diputus berdasarkan Pasal 2, 3, yang bersangkutan berhak membuktikan sebaliknya bahwa hartanya diperoleh bukan diperoleh dari tindak pidana korupsi.

2. Saran

a. Pembuktian terbalik diharapkan dapat diandalkan menjerat, mempertanggungjawabkan, dan mengalahkan koruptor atau mampu menjadi penggerak bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system), jika diberlakukan lebih dahulu pada elemen penegak hukum seperti jaksa, hakim, polisi, KPK, dan lembaga-lembaga strategis yang menjadi pilar bekerjanya law enforcement.

b. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dapat diterapkan pada tindak pidana memperkaya diri sendiri dengan merugikan keuangan Negara dengan kata lain pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi dapat digunakan untuk mengetahui apakah harta benda yang dimiliki berasal dari sumber yang halal atau tidak.