Sabtu, 14 Januari 2012

IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA

1. Penegakan HAM di Indonesia

Sejak Negara Indonesia diproklamirkan menjadi Negara yang merdeka, para pendiri Republik ini sepakat bahwa negara ini berlandaskan pada hukum (yang diartikan sebagai konstitusi dan hukum tertulis) yang mencerminkan penghormatan kepada hak asasi manusia (HAM). Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia 1945 ditegaskan bahwa sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (maachstaat).

Rasionya bahwa dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut :

a. Azas pengakuan dan perlindungan terhadap HAM

b. Azas legalitas

c. Azas pembagian kekuasaan

d. Azas peradilan yang bebas dan tidak memihak

e. Azas kedaulatan rakyat

Namun penghargaan terhadap HAM yang sudah di cetuskan oleh “pendiri negara” Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya seiring dengan perkembangan perjalanan bangsa Indonesia dalam 3 periode.

a. Penegakan HAM pada Orde Lama

Orde lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca kemerdekaan, yang lebih menitikberatkan pada perjuangan revolusi. Sehingga banyak UU yang dibuat atas nama revolusi yang telah dimanfaatkan oleh kekuasaan pemerintah, seperti contoh UU No. 11/PNPS/1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi yang tidak sesuai dengan HAM.

b. Penegakan HAM pada Orde Baru

Berdirinya orde baru adalah respon dari kegagalan orde lama telah membuat berbagai perubahan secara tegas dengan perkembangan demokratisasi dan perlindungan HAM. Namun dalam perjalanannya era demokratisasi dan perlindungan HAM yang selama ini dilakukan orde baru mulai kabur, dengan maraknya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta banyak lagi rekayasa untuk kepentingan penguasa. Seringkali pemerintahan masa orde baru melakukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada crimes by government, seperti penculikan aktivis pro demokrasiyang bertentangan dengan HAM. Sebagai puncaknya pada tahun 1998, orde baru jatuh dengan adanya multi krisis di Indonesia serta tuntutan reformasi di segala bidang.

c. Penegakan HAM pada Orde Reformasi

Jika pada Orde Baru, yang sering melakukan pelanggaran hak asasi manusia adalah aparat pemerintah, dalam hal ini TNI, maka pada era sekarang, hak asasi manusia dilanggar secara “bersama-sama”. Dalam konteks ini, pelanggaran hak asasi manusia merupakan hal yang biasa terjadi di tengah masyarakat atau oleh masyarakat sendiri. Pada masa orde reformasi ini pemerintah dalam rangka penegakan HAM telah membuat peraturan-peraturan yang terkait dengan HAM, antara lain UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, ratifikasi terhadap instrumen internasional tentang HAM. UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM yang memungkinkan dibukanya lagi kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu serta pemberantasan KKN.

2. Peluang membuka kembali kasus pelanggaran HAM

Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era reformasi misalnya ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya KOMNAS HAM berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 yang bertugas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 antara lain : 1) menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai HAM baik kepada masyarakat Indonesia maupun internasional 2) mengkaji berbagai instrument PBB tentang HAM dengan tujuan memberikan saran-saran untuk diratifikasi, 3) memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta menberikan pendapat, pertimbangan dan saran kepada badan pemerintahan negara mengenai pelaksanaan HAM, 4) mengadakan kerjasama regional dan internasional dalam memajukan dan perlindungan HAM.

Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan Orde Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status quo) masih sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di Indonesia bukan mengganti orang orang lama (kelompok status quo) secara total tetapi memunculkan orang-orang baru (kelompok reformis) dan bergabung dengan orang orang lama dalam menjalankan pemerintahan. Pada orde Reformasi lebih menitikberatkan pada perlindungan hukum dan penegakan HAM melalui MPR telah melakukan Amandemen UUD 45 dengan memasukkan pasal khusus mengatur tentang HAM. Pemerintah juga mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam UU HAM tersebut tugas Komnas HAM berubah meliputi : 1) fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM, 2) tugas penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat.

Pada ketentuan UU Pengadilan HAM terdapat peluang untuk dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum di undangkan UU Pengadilan HAM yang diatur dalam pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc dan pasal 46 tentang tidak berlakunya ketentuan kadaluarsa dalam pelanggaran HAM berat. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM dapat diadili.

Ketentuan tersebut diatas diadopsi dari Statua Roma 1998 yakni ketentuan dalam artikel 28 tentang “ Tidak dapat diterapkannya ketentuan pembatasan.” Ada dua alasan dimasukkannya asas Retroactive ke dalam UU Pengadilan HAM, antara lain : 1) jauh sebelum diundangkannya UU No 29 tahun 2000 belum dikenal jenis kejahatan genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan, 2) asas Retroactive dalam UU Pengadilan HAM merupakan political wisdom (kebijaksanaan politik) dari DPR untuk merekomendasikan kepada presiden dengan pertimbangan bahwa kedua jenis kejahatan tersebut merupakan extraordinary crimes (kejahatan luar biasa)

Menurut Barda Nawawi Arief pemberlakuan asas retroactive sangat bertentangan dengan ide perlindungan HAM yang diatur dalam DUHAM pasal 15 ayat (1) dan pasal 24 ayat (1) Statuta Roma. Dengan demikian asas Retroactive yang memungkinkan dibukakannya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas dari sisi hukum positif Indonesia (KUHP). Akan tetapi, dari sisi lain menurut Hukum Pidana Internasional, pemberlakuan asas Retroactive sangat dimungkinkan untuk mencapai keadilan yang diwujudkan dengan pembentukan pengadilan. Walaupun telah terjadi perbedaan pendapat tentang keberadaan asas retroactive sebagai celah dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat, akan tetapi tetap diperlakukan adanya penyaring yang dapat memfilter kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau melalui political wisdom dari DPR. Dalam kata lain dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau, yang memerlukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc tersebut terdapat subjektivitas dan relativitas serta tergantung pada kepentingan yang ada serta lebih tertumpu pada nilai politis yang tersembunyi.

Selain beberapa hal yang telah dijelaskan sebelumnya, gejala mandulnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan gaungnya pada era reformasi tidak memberikan implikasi yang signifikan terhadap perjalanan HAM di Indonesia. Di era Orde Baru, mereka dipandang sebagai tempat terakhir mengadu setiap ada pelanggaran HAM. Namun sampai saat ini setiap ada temuan, Komnas HAM ini kurang efektif dalam penanganannya.

3. Upaya penyelesaian pelanggaran HAM

Sampai sejauh ini, terdapat dua mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu yaitu Pengadilan HAM ad-hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pengadilan HAM ad-hoc merupakan satu mekanisme penyelesaian kasus yang menggunakan logika sistem yudisial sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menggunakan logika sistem non-yudisial.

a. Pengadilan HAM Ad-hoc

Seperti yang telah dijelaskan diatas, mekanisme ini berdasarkan pada pasal 43 UU No. 26/2000. Sementara itu, untuk sistem acara pidana tetap mengikuti Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang digunakan dalam sistem peradilan di Indonesia. Selanjutnya, penuntutan perkara dapat dilakukan oleh penuntut umum dari Kejaksaan Agung atau ad-hoc yang berasal dari unur masyarakat. Kemudian, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari hakim karier dan non-karier.

Munurut UU No. 26/2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan berdasarkan pengaduan dari kelompok korban atau kelompok masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian membentuk satu tim untuk melakukan penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Kedua, DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan kemudian membuat rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan presiden untuk pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc. Pada tahap kedua dan ketiga tampak jelas bagaimana political will dari pemerintahan yang berkuasa memegang peranan penting.

Beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yang telah ditangani oleh mekanisme ini adalah kasus Timor Timur dan Tg. Priok. Peradilan pertama dilakukan pada tahun 2003 atau sekitar terlambat dua tahun dari yang direncanakan. Pemerintah mengatakan bahwa keterlambatan tersebut hanya masalah teknis seperti pembangunan infrastruktur peradilan dan rekrutmen jaksa dan hakim ad-hoc.

b. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Komisi ini dibentuk berdasarkan UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah disahkan pada tanggal 7 September 2004. Sebelumnya, UU ini telah diusulkan oleh TAP MPR No. VI/MPR/200 yang kemudian juga tertuang dalam pasal 47 (ayat 1) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.”

Dalam UU-nya, Komisi ini bertugas untuk untuk mengungkapkan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu dan melaksanakan proses rekonsiliasi nasional demi keutuhan bangsa. Selain itu, komisi mendefinisikan lebih detil tentang siapa yang menjadi korban dan apa saja yang menjadi hak dari mereka seperti untuk mendapatkan kebenaran, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Komisi ini juga mengatur bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc. Menurut beberapa narasumber, komisi ini merupakan komplementer dari UU No. 26/2000. Komisi ini terdiri dari tiga sub-komisi yang terdiri dari subkomisi penyelidikan dan klarifikasi, subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi serta subkomisi pertimbangn amnesti.

4. Penegakan Hak Asasi Manusia di era globalisasi

Perkembangan upaya penegakkan hak asasi manusia di Indonesia selama ini dicatat lebih menekankan kepada penegakan hak sipil dan hak politik. Sedangkan advokasi terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya ( Economic, Social and Cultural Rights ) kurang mendapat tempat yang semestinya. Demikain pula penegakan terahadap Hak atas Pembangunan (Rights to Development ). Oleh karena itu upaya penegakan HAM di era globalisasi harus dilakukan dalam perspektif indivisibility, yaitu prinsip ketidak terpisahan atau prinsip saling ketergantungan antara satu hak asasi dengan hak asasi manusia lainnya. Hal tersebut misalnya telah pula ditegaskan di dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina, 1993.

Penegakan HAM harus dilakukan dalam seluruh proses demokratisasi dan penegakan hukum. Oleh karena itu persoalan penegakan HAM harus dilakukan sesuai dengan jalur hukum, dan terpenuhinya rasa keadilan. Termasuk di dalamnya upaya penegakan HAM lewat proses “transitional Justice”, serta pembentukan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran ( Truth and Reconciliation Commission ). Dan di dalam upaya rekonsiliasi dan kebenaran ini perlu pula dipertimbangkan proses pemaafan (forgiveness), terutama terhadap pelanggaran HAM di masa lalu.

Termasuk di dalam prinsisp-prinsip Transitional Justice, antara lain : 1. Penindakan terhadap pelaku pelanggaran HAM masa lalu, 2. Pemulihan Hak korban, 3. Pengakuan adanya korban, 4. Prinsip non-recurrement, atau jaminan akan tidak terulangnya pelanggaran HAM. Sebenarnya telah ada berbagai instrumen yang dapat difungsikan dan dijadikan referensi sebagai mekanisme untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. Bahan-bahan yang bersifat nasional misalnya, UU mengenai pengadilan HAM, Tap MPR No. XVII/98, Tap MPR N0. V/ 2000, UU HAM dll. Adapun bahan-bahan yang bersifat internasional misalnya Statuta Roma, untuk kejahatan terhadap kemanusiaan, hukum kebiasaan internasional yang berlaku bagi semua orang tanpa batas-batas negara.

Hubungan antara HAM dengan globalisasi dapat dilihat secara linier dan saling berbenturan. Sabagai sebuah konsep yang universal, HAM merupakan kesepakatan internasional yang telah diterima, disisi lain globalisasi juga telah mendorong lahirnya nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama. Akan tetapi tak dapat di pungkiri bahwa globalisasi juga telah memberikan dampak pahit bagi masyarakat khususnya di Negara-negara dunia ke tiga seperti Indonesia yang mengintregasikan system ekonomi dan politiknya pada system global.

Universal Declaration of Human Rights Dokumen ini sangat penting karena merupakan kelanjutan dari rumusan berbagai Negara yang telah ada pada beberapa abad sebelumnya. Globalisasi dapat dilihat sebagai system yang ingin membawa satu dunia ke dalam satu system ekonomi dunia yang berhasil, menginisiasi politik Internasional dan kebudayaan yang dapat diterima semua pihak. Lebih jauh, era pasca globalisasi yang diinginkan adalah harmonisasi politik dan kebudayaan serta bangunan system ekonomi yang terintegrasi dalam pasar bebas yang Universal. Sebagaimana konsep HAM, banyak pendapat menyatakan bahwa globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Tetapi sudah ada yang berlangsung ratusan tahun yang lalu.
Saat ini yang terjadi hanyalah proses pengulangan. Indonesia sebagai warga dunia sudah mengambil posisi yang tepat, penghormatan pada prinsip-prinsip dasar manusia yang asasi dengan diberlakukan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan di dalamnya menegaskan bahwa KOMNAS HAM adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenagan untuk melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat.

Disamping melakukan tugas dan fungsi Pengkajian dan Penelitian, Penyuluhan dan Meditasi, Motivasi utama keberadaan Komnas HAM adalah untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi terpenuhinya perlindungan dan penegakan HAM bagi martabat pribadi manusia, komunitas dan masyarakat Indonesia secara utuh menyeluruh (holistic), nondiskriminatif demi terwujudnya karakter manusia, masyarakat dan bangsa yang selalu sadar, bertanggung jawab, dan menjujung nilai-nilai HAM dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam era globalisassi, penegakan HAM dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan faktor perkembangan teknologi, terutama dalam hal yang menyangkut proses dan alat pembuktian dalam pengadilan HAM. Beberapa norma Internasional dalam proses pengadilan HAM telah diikuti dalam proses pengadilan HAM antara lain tentang adanya Disenting Opinion dalam putusan pengadilan. Keberadaan lembaga Pre-Trial akan dapat mendukung proses peradilan yang tidak menyita waktu, tenaga, pikiran dan biaya. Lebih dari itu, perlu dihindari adanya proses peradilan yang dapat menimbulkan kecurigaan publik nasional maupun internasional tentang adanya kesan proses peradilan yang melindungi pelaku kejahatan HAM.

Tingkah laku hukum (legal behavior) maupun tingkah laku di ruang pengadilan (courtroom behavior) para penegak hukum akan selalu mengundang respon baik secara sosial, moral, maupun yuridis. Menjaga integritas Pengadilan HAM merupakan prasyarat untuk adanya respon positif terhadap penegakan HAM di masa mendatang. Eksistensi peran dan yurisdiksi pengadilan berkorelasi dengan perubahan dan perkembangan ideologi hukum yang hidup dalam masyarakat. Misalnya Pasal 49 UU No. 26 Tahun 2000 menentukan bahwa ketentuan mengenai kewenangan atasan yang berhak menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 23 UU No. 31 Tahun 1977 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran HAM yang berat menurut undang-undang.


5. Hambatan dan Tantangan dalam Penegakan HAM di Indonesia

Sejak tahun 1998, desakan yang begitu besar dari kelompok korban terus mengalir ke lembaga-lembaga terkait. Bahkan kelompok korban bersama elemen masyarakat lainnya terus melakukan berbagai kegiatan, mulai dari audiensi, lobby politik hingga demonstrasi. Dua kasus yang telah ditangani oleh pengadilan HAM ad-hoc telah menjadi pertanyaan besar bagi banyak pihak tentang efektifitas dari mekanisme ini untuk mendapatkan rasa kebenaran dan keadilan bagi korban.

Dalam pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Timor Timur telah menunjukkan hasil yang mengecewakan banyak kalangan, khususnya kelompok korban. Beberapa orang yang berada dalam tingkatan komando pada saat kejadian tersebut dan diduga kuat bertanggung jawab lepas dari tuntutan hukum. Hasil yang serupa dialami oleh pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Tg. Priok. Belajar dari pengalaman beberapa negara lain yang mengalami masalah yang serupa serta melihat peluang mendapatkan keadilan melalui mekanisme peradilan, wacana tentang KKR kemudian muncul. Namun, kehadiran KKR sendiri dalam bentuk UU mendapat sambutan yang dingin dari para kelompok korban. Walaupun belum berjalan sampai saat ini, sinyalemen ketidakpercayaan sudah terlihat dari berbagai kelompok masyarakat. UU KKR sekarang memang dinilai oleh banyak pihak menyimpang dari konsep dasarnya.

Terdapat beberapa masalah yang selama ini mewarnai proses tersebut antara lain;

Pertama, tidak adanya political will dari pemerintahan yang berkuasa. Banyak pihak yang menilai bahwa pemerintah selama ini tidak memiliki niatan yang serius untuk melakukan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam proses penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, DPR mempunyai peranan dalam memberikan rekomendasi terhadap satu kasus tertentu untuk dibawa ke pengadilan HAM ad-hoc. Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) dalam kesimpulan akhirnya menyatakan bahwa tidak terjadi suatu pelanggaran HAM yang berat dalam kasus TSS. Yang menjadi pertanyaan banyak pihak, DPR mengambil satu keputusan tanpa melakukan satu proses penyelidikan melainkan hanya melalui Rapat Dengar Pendapat dengan berbagai pihak. Komnas HAM mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh DPR.

Kedua, kebijakan yang memperpanjang rantai impunitas. Masih senada dengan masalah pertama, kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintahan yang berkuasa sejak kejatuhan orde baru hingga saat ini masih tetap menunjukkan kecenderungan untuk melakukan praktek-praktek impunitas (bebas dari hukuman). Kritik yang keras tentang UU No. 26/2000 mulai berkembang sejak melihat kenyataan bahwa banyak pasal yang disalahartikan sehingga memungkinkan para pelaku untuk bebas. Kemudian, UU KKR yang belum berjalan juga sudah mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Kelompok korban merasa bahwa UU ini telah memasung hak mereka untuk mendapatkan keadilan.

Ketiga, kendala di sistem peradilan diantara insititusi yang berwenang. Kondisi ini ditunjukkan oleh kinerja dari Kejaksaan Agung dalam menangani kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Komisi Penyelidikan terhadap Pelanggaran (KPP) HAM kasus Timor-Timur mengeluarkan beberapa hasil penyelidikannya yang kemudian jauh berbeda dengan tuntutan yang dihasilkan oleh Kejaksaan Agung. Alih-alih dari Kejaksaan Agung adalah alasan politik. Terlebih lagi dalam proses pengadilan, dangkalnya penuntutan serta meragukannya kapasitas dari para penuntut umum telah memberikan hasil yang sangat jelas. Sebagian besar dari para terdakwa dikemudian diputus bebas oleh pengadilan atau pengadilan banding. Kondisi ini memperlihatkan secara jelas bahwa masing-masing institusi melakukan interpertasi masing-masing terhadap satu proses penyelesaian kasus, baik itu karena pertimbangan politik maupun tidak.

Keempat, usaha pembungkaman oleh para pelaku. Mereka yang diduga terlibat atau menjadi pelaku tentunya tidak tinggal diam saat mereka akan diajukan dalam sebuah proses hukum. Mereka kemudian mencari berbagai cara untuk menghambat terjadinya proses peradilan tersebut. Selain melalui teror atau intimidasi, mereka juga melakukan pendekatan kepada kelompok korban dengan iming-iming materi. Apalagi, mayoritas kelompok korban berasal dari kelompok masyarakat menegah ke bawah. Sebagai salah satu contoh kasus adalah proses ishlah antara beberapa orang yang diduga seperti Try Sutrisno dengan sejumlah korban dalam peristiwa Tg. Priok. Proses ini kemudian berimbas pada proses peradilan dimana banyak diantara korban yang kemudian menarik tuntutan mereka serta menolak mengakui BAP (Berita Acara pemeriksaan) yang pernah dibuat.

Tentang berbagai hambatan dalam pelaksanaan dan penegakan HAM di Indonesia, secara umum dapat kita identifikasi sebagai berikut :

a. Faktor Kondisi Sosial-Budaya

1) Stratifikasi dan status sosial; yaitu tingkat pendidikan, usia,pekerjaan, keturunan dan ekonomi masyarakat Indonesia yangmultikompleks (heterogen).

2) Norma adat atau budaya lokal kadang bertentangan dengan HAM,terutama jika sudahbersinggung dengan kedudukan seseorang,upacara-upacara sakral, pergaulan dansebagainya.

3) Masih adanya konflik horizontal di kalangan masyarakatyang hanya disebabkan oleh hal-hal sepele.

b. Faktor Komunikasi dan Informasi

1) Letak geografis Indonesia yang luas dengan laut, sungai, hutan,dan gunung yang membatasi komunikasi antardaerah.

2) Sarana dan prasarana komunikasi dan informasi yang belumterbangun secara baik yangmencakup seluruh wilayah Indonesia.

3) Sistem informasi untuk kepentingan sosialisasi yang masihsangat terbatas baik sumber daya manusia-nya maupun perangkat (software dan hardware) yang diperlukan.

c. Faktor Kebijakan Pemerintah

1) Tidak semua penguasa memiliki kebijakan yang samatentang pentingnya jaminanhak asasi manusia.

2) Ada kalanya demi kepentingan stabilitas nasional,persoalan hak asasi manusiasering diabaikan

3) Peran pengawasan legislatif dan kontrol sosial olehmasyarakat terhadap pemerintahsering diartikan oleh penguasasebagai tindakan ‘pembangkangan’.

d. Faktor Perangkat Perundangan

1) Pemerintah tidak segera meratifikasikan hasil-hasil konvensiinternasional tentang hakasasi manusia.

2) Kalaupun ada, peraturan perundang-undangan masih sulituntuk diimplementasikan.

e. Faktor Aparat dan Penindakannya (Law Enforcement).

1) Masih adanya oknum aparat yang secara institusi atau pribadimengabaikan prosedur kerja yang sesuai dengan hak asasi manusia.

2) Tingkat pendidikan dan kesejahteraan sebagian aparat yang dinilai masih belum layaksering membuka peluang ‘jalan pintas’untuk memperkaya diri.

3) Pelaksanaan tindakan pelanggaran oleh oknum aparat masihdiskriminatif, tidak konsekuen,dan tindakan penyimpangan berupa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).Dari faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam penegakan hakasasi manusia tersebutdiatas, mari kita upayakan untuk sedikit demisedikit dikurangi (Eliminasi.) Demi terwujudnya perlindungan hak asasimanusia yang baik, mulailah dari diri kita sendiri untuk belajar menghormati hak-hak orang lain. Kita harus terus berupaya untukmenyuarakan tetap tegaknya hak asasi manusia, agar harkat dan martabat yang ada pada setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya (ekobudi CG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar