PENEGAKAN HUKUM DI LAUT
OLEH KEPOLISIAN PERAIRAN
(ekobudi1999@yahoo.co.id)
PENDAHULUAN
Trend perkembangan lingkungan strategis baik
global, regional maupun nasional diperairan, dengan berbagai bentuk gangguan
kamtibmas menimbulkan dampak yang berspektrum luas di berbagai bidang
kehidupan. Polri telah membagi golongan kejahatan kedalam 4 golongan/jenis. Pertama, kejahatan konvensional seperti
kejahatan jalanan, premanisme, banditisme, perjudian, pencurian dan lain-lain;
Kedua, kejahatan transnational yaitu
: terroris, trafficking in persons, money
laundering, sea piracy and armed robbery at sea, arms smuggling, cyber crime
and international economic crime;
Ketiga, kejahatan terhadap kekayaan
negara seperti korupsi, illegal logging,
illegal fishing, illegal minning, penyelundupan, penggelapan pajak,
penyalahgunaan BBM, dan lain-lain serta Keempat,
kejahatan yang berimplikasi kontijensi seperti SARA, separatisme, konflik
horizontal dan vertikal serta unjuk rasa anarkis.
Berdasarkan
teori efektivitas hukum (Soerjono
Soekanto, 2011:8), efektif atau tidaknya suatu penegakan hukum ditentukan
oleh 5 faktor yaitu : 1) Faktor hukumnya/UU, 2) aparat penegak
hukum, 3) sarana prasarana, 4) masyarakat dan 5) kebudayaan. Dalam
berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan
peranan penting. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
petugas kurang baik, akan menjadi masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu
salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas/kepribadian
penegak hukum itu sendiri. Dalam Teori Kriminologi (J.E Sahetapy, 1992:78), dalam rangka implementasi penegakan hukum
“Bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan, penegakan
kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kesalahan”. Relevan dengan hal tersebut
B. M. Taverne mengatakan, “geef me goede
rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitieen, goede
politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het
goede beruken” bahwasannya beliau mengatakan “berikan aku hakim, jaksa,
polisi dan advokat yang baik, maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa
secarik undang-undang pun”. Dengan kata lain, “berikan padaku hakim dan jaksa
yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun saya bisa mendatangkan keadilan. Artinya,
bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung oleh
aparatur penegak hukum yang baik, memiliki moralitas dan integritas yang
tinggi, maka hasilnya akan buruk.
Sementara
itu di Indonesia, saat ini memiliki + 13 lembaga penegak hukum di laut. Dari jumlah
tersebut terdiri dari 6 lembaga yang mempunyai satgas patroli dilaut dan 7
lembaga penegak hukum lainnya tidak memiliki satuan tugas patroli di laut.
Lembaga penegak hukum yang memiliki satgas patroli di laut adalah: TNI-AL;
POLRI/Direktorat Kepolisian Perairan; Kementerian Perhubungan/DIRJEN HUBLA;
Kementerian Kelautan dan Perikanan/DIRJEN PSDKP; Kementerian Keuangan/DIRJEN
BEA CUKAI; dan Bakamla. Lembaga penegak
hukum tersebut, melaksanakan patroli terkait dengan keamanan dan keselamatan
dilaut secara sektoral sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bedasarkan
Peraturan Perundang-undangan masing-masing.
PENEGAKAN HUKUM DI LAUT
Dalam
buku Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Ishak,
2012:244). Penegakan hukum mempunyai arti menegakkan, melaksanakan
ketentuan dalam masyarakat, sehingga secara luas penegakan hukum merupakan
proses berlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan.
Proses penegakkan hukum dalam kenyataanya memuncak pada pelaksanaannya oleh
para pejabat penegak hukum itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
pengertian penegakan hukum, dalam bentuk konkritnya di bidang perairan adalah
segala kegiatan operasional yang diselenggarakan di seluruh perairan dalam
rangka menjamin tegaknya hukum nasional.
Penegakan
hukum di laut merupakan segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah
dalam menjamin keselamatan dan keamanan di laut YURISDIKSI NASIONAL INDONESIA,
baik keselamatan dan keamanan manusia, lingkungan alam, maupun keselamatan dan
keamanan pelayaran. Penegakan hukum di perairan berbeda dengan penegakan hukum
di darat, terutama karena di perairan/laut bertemu dua kepentingan hukum, yaitu
kepentingan hukum nasional dan hukum internasional, sedangkan di darat hanya
mewadahi kepentingan hukum nasional. Dengan kata lain, penegakan hukum di
perairan berarti juga menegakkan hukum, konvensi atau semua aturan yang telah disepakati
dunia Internasional. Dimana pemerintah Indonesia ikut
menandatangani konvensi/aturan-aturan tersebut, atau telah meratifikasinya dengan
menerbitkan undang-undang terkait dengan hal tersebut.
Perbedaan
lainnya dengan penegakan hukum di darat adalah, pemberlakuan hukum di laut
dilakukan berdasarkan rezim hukum yang berbeda, sedangkan di darat tidak
dikenal adanya perbedaan rezim hukum. Selain itu, subyek hukum di laut adalah manusia - WNI
atau WNA dan negara, negara dalam hal ini berupa bendera kapal, sedangkan di
darat subyek hukumnya adalah manusia dan badan hukum.
Berawal dari
pengertian tersebut maka timbullah akibatnya yaitu bahwa tindak pidana di laut
menjadi suatu tindak pidana KHUSUS (lex specialis) yang mengandung arti bahwa
tindak pidana di laut mempunyai kekkhususan tersendiri. Kekhususan itu bisa
terjadi meliputi seluruh unsur-unsur tindak pidana (Subyek, schuld/kesalahann, bersifat melawan
hukum, bertentangan dengan undang-undang, maupun unsur-unsur lainnya, misalnya: tempat,
waktu dan keadaan lainnya). Karena merupakan tindak pidana khusus disebut juga
delik khusus, delik tersebar, delik diluar KUHP, maka penyelesaiannyapun
mempunyai kekhususan yang menyimpang dari tindak pidana umum (KUHP) sedangkan
hukum acara juga ada penyimpangan dengan KUHAP, bahkan aparat penegak hukum,
hukum yang ditegakkan juga ada penyimpangan dan medianya juga lain, yaitu berupa
laut yang mempunyai sifat Internasional sedangkan tata cara melakukan
tindak pidana di lautpun berbeda karena menggunakan KAPAL, namun baik KUHP
maupun KUHAP masih tetap melingkupi tindak pidana di laut.
HUKUM YANG DIGUNAKAN
Asas-asas
hukum pidana dari buku 1 KUHP berlaku terhadap tindak pidana di laut
berdasarkan pasal 103 KUHP yang isinya bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab VIII
KUHP diperlakukan terhadap ketentuan perundang-undangan di luar KUHP yang
diancam dengan pidana, kecuali diatur khusus oleh undang-undang tersebut.
Misalnya UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan yang telah dubah dengan
UU No. 45 tahun 2009, UU No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) dan seterusnya. Sedangkan KUHAP demikian juga masih tetap melingkupi hukum
acara di laut via pasal 284 KUHAP yang isinya bahwa semua perkara
diberlakukan hukum acara pidana (KUHAP) dengan pengecualian ketentuan
khusus acara pidana yang dibawa oleh undang-undang tertentu dengan demikian
pada tindak pidana di laut ini, hal yang diatur adalah acaranya, misalnya penghentian
kapal, pemeriksaan diatas kapal, tatacara membawa kapal ke pelabuhan terdekat
dan sebagainya menyimpang dari pada KUHAP karena KUHAP tidak mengatur hal
tersebut.
KUHAP tidak
seluruhnya dapat diterapkan pada hukum acara di laut karena beberapa alasan antara
lain :
1. Status kapal/pesawat udara belum diatur sebagai subyek.
2. KUHAP memberlakukan hukum acara pidana khusus via pasal 284 KUHAP.
3. KUHAP belum mengatur kewenangan penyidik diluar Polisi dan PPNS.
4. KUHAP tidak mengatur wilayah di luar Indonesia padahal ada tindak pidana di
laut yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
5. Tembusan surat penangkapan seharusnya diberikan kepada keluarga, tetapi
bila yang ditangkap merupakan KAPAL maka tidak mempunyai keluarga.
6. Penahanan untuk KAPAL tidak bisa dilaksanakan di RUMAH TAHANAN NEGARA.
7. SEMA No. 8 Th 1983 ttg Permintaan Penetapan
Wewenang Mengadili Pengadilan Negeri Terhadap Kasus-Kasus Perkara Pelanggaran
Wilayah Perairan (Keamanan Laut) Pengadilan di laut tidak mengenal YURISDIKSI
pengadilan, pengadilan yang berwenang mengadili adalah pengadilan yang
mempunyai Yurisdiksi terdekat (UU No. 3 tahun 1985) dimana KAPAL
diserahkan ke PELABUHAN terdekat.
Penegakkan hukum dilaut mempunyai aspek yang berbeda
dengan di darat yaitu penegakkan hukum di laut bisa merupakan
penegakkan KEDAULATAN di laut yaitu manakala penegakkan tersebut dilakukan
terhadap KAPAL-KAPAL asing yang berarti kapal tersebut berstatus NEGARA ASING
di wilayah Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di laut, sedangkan
bila penegakkan tersebut dilakukan terhadap kapal-kapal berbendera Indonesia
berarti hal tersebut merupakan penegakan hukum, kedua
penegakkan tersebut juga mempunyai aspek yang berbeda bila penegakkan terhadap
kedaulatan mempunyai aspek keutuhan wilayah,
Integritas Internasional dan hukum yang ditegakkan adalah Hukum
Internasional, Konvensi-konvensi Internasional, Perjanjian antar Negara maupun
kebiasaan dilaut, termasuk juga hukum Naional dan itu semua untuk kepentingan
Negara. Tetapi apabila penegakkan hukum terhadap Kapal Indonesia mempunyai
aspek penegakkan hukum pribadi, pelayanan masyarakat, ketertiban masyaralat,
kepentingan masyarakat maupun kepentingannya dari hukum yang ditegakkanpun
hanyalah Negara (UU Nasional) serta mempunyai aspek YURIDIS keamanan dan
ketertiban di laut.
Didalam penegakkan hukum di laut ada suatu
keterbatasan keberlakuan Hukum Nasional terhadap Hukum Internasional yaitu yang
tertera pada pasal 9 KUHP yang isinya keberlakuan pasal 2, 3, 4, 5, 7, 8 KUHP
dibatasi atas pengecualian-pengecualian yang diakui dalam Hukum Internasional
(UNCLOS 1982) pasal 73 ayat (3) mengatur terhadap pelaku tindak pidana di Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) didalam menegakkan hukum Negara Pantai, tidak boleh
dijatuhkan oleh Negara yang mencakup pengurungan sehingga hal ini UU ZEE
Indonesia tidak boleh melampaui ketentuan tersebut. Sedangkan hukum acaranya
yang berlaku pada tindak pidana di laut adalah Hukum Acara Khusus yang dibawa
oleh UU Khusus tersebut, dan Hukum Acara Khusus di laut maupun Hukum Acara
Pidana yang belum mengatur hal khusus itu. Dan itu semua hanyalah ditingkat
awal sampai penyidikan bila sudah berlanjut ke penuntutan dan persidangan
seluruhnya tunduk pada KUHAP.
Dasar penegakan hukum di laut oleh
antara lain:
1.
Stbl.1939 No. 442 tentang Ordonansi Laut
Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan.
2.
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP.
3.
Undang-Undang Rl Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan UNCLOS 1982.
4.
Undang-Undang Rl Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.
5.
Undang Undang Rl Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian.
6.
Undang Undang RI Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan.
7.
Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia.
8.
Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak Dan Gas Bumi.
9.
Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara RI.
10. Undang-Undang
RI Nomor
27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
11. Undang-Undang
Rl Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
12. Undang-Undang
Rl Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
13. Undang-Undang
Rl Nomor 04 Tahun 2009 tentang MINERBA.
14. Undang-Undang
RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOBA.
15. Undang-Undang
RI Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
16. Undang-Undang
Rl Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU Rl No. 31 tentang Perikanan.
17. Undang-Undang
Rl Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
18. Skep Kapolri
No Pol : Skep/ 79 / II / 2001 tanggal 5 Februari 2001 tentang penunjukan Pol
Airud sebagai Penyidik di wilayah perairan dan bidang penerbangan Yurisdiksi
Nasional Indonesia dan pelimpahan wewenang kepada Dit Pol Airud.
19. DLL
KEWENANGAN POLAIR SEBAGAI PENYIDIK
Bahwa
fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, hal ini sebagaimana di tegaskan
dalam pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, bahwa tugas pokok Kepolisian Negara RI adalah:
1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, 2) Menegakkan hukum, 3)
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selain
itu, dalam pasal 14 huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara RI, dikatakan bahwa “Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya”.
Wewenang
kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik tersebut sesuai pengaturan yang
terdapat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana
di dalam pasal 4 KUHAP dikatakan, bahwa Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia. Sedangkan dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP, dikatakan
bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Selain berdasarkan Undang-undang Kepolisian dan
KUHAP wewenang Kepolisian diwilayah perairan laut juga
dinyatakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainya yang mengatur
tentang tindak pidana tertentu diwilayah perairan laut.
Sebagai
contoh, wewenang Polri (Polair) dalam tindak pidana tertentu seperti dimaksud
pasal 282 ayat (1) Undang-undang No. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran juga
memberikan kewenangan kepada pejabat Kepolisian Negara RI
untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang pelayaran.
PROSEDUR PENANGANAN
TINDAK PIDANA DI LAUT/PERAIRAN
1. Pendeteksian
Kapal
a. Melaksanakan
kegiatan pengawasan di wilayah perairan yang rawan terjadi tindak pidana
berdasarkan informasi yang diperoleh.
b. Pengenalan
sasaran dengan menggunakan sarana yang ada (Radar, sonar, teropong, komunikasi
radio, atau isyarat).
c.
Penilaian sasaran dimaksudkan untuk menilai
dan menentukan target/sasaran benda yang dicurigai.
2.
Penyelidikan Kapal
a. Penghentian
Kapal
Apabila
kapal dicurigai melakukan pelanggaran/tindak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup, diadakan penghentian dengan alasan kapal tersebut melakukan
pelanggaran/tindak pidana yang diatur dalam UU.
b. Pemeriksaan
kapal
Setelah
kapal dihentikan maka selanjutnya dilaksanakan tindakan : pemeriksaan atas
perintah Komandan, kapal merapat ke kapal patroli atau sebaliknya. Hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam proses pemeriksaan dilaut :
1) Pemeriksaan
dilaut harus menggunakan sarana yang sah/resmi dengan identitas/ciri-ciri yang
jelas dan dapat dikenali sebagai kapal patroli/pemerintah yang diberi
kewenangan untuk melakukan tindakan tersebut.
2) Tim pemeriksa
harus menggunakan seragam lengkap dan dilengkapi surat perintah.
3) Pemeriksaan
harus disaksikan oleh Nakhoda atau ABK kapal yang diperiksa.
4) Pemeriksaan
harus dilakukan secara tertib, tegas, teliti, cepat, tidak terjadi kehilangan,
kerusakan dan tidak menyalahi prosedur pemeriksaan.
5) Selama peran
pemeriksaan tim pemeriksa harus selalu berkomunikasi dengan kapal yang
diperiksa.
Setelah selesai pemeriksaan, hal-hal yang harus
diperhatikan :
1)
Membuat surat pernyataan tertulis dan di
tandatangani oleh Nakhoda kapal, yang menerangkan tentang hasil pemeriksaan
berjalan dengan tertib, tidak terjadi kekerasan, kerusakan dan kehilangan.
2)
Membuat surat pernyataan tertulis dan ditanda
tangani oleh Nakhoda kapal, yang menerangkan tentang hasil pemeriksan
surat-surat/ dokumen kapal dengan menyebutkan
tempat dan waktu.
3)
Mencatat dalam buku jurnal kapal yang
diperiksa yang berisi : waktu dan posisi pemeriksaan, pendapat tentang hasil
pemeriksaan, Perwira pemeriksa menandatangani hasil pemeriksaan pada buku
jurnal kapal dibubuhi stempel kapal pemeriksa, dalam hal buku jurnal kapal
tidak ada nakhoda membuat surat pernyatan tentang tidak adanya buku jurnal
kapal, terhadap Nakhoda kapal asing yang tidak dapat berbahasa Indonesia,
sesampai dipangkalan/pelabuhan terdekat diberikan penjelasan lengkap dan rinci
terkait perkaranya dengan dibantu oleh penterjemah sebelum di lakukan
penyidikan lanjutan.
3. Tindak lanjut hasil penyelidikan
a. Apabila tidak
terdapat bukti yang cukup atau petunjuk yang kuat tentang adanya tindak pidana
maka : Kapal diijinkan melanjutkan pelayaran, dalam buku Jurnal pelayaran
dicatat bahwa telah diadakan pemeriksaan dengan menyebutkan posisi dan waktu,
meminta surat secara tertulis kepada nahkoda kapal tentang tidak terjadinya
kekerasan, kerusakan dan kehilangan selama pemeriksaan serta pernyataan tidak
melakukan gugatan.
b. Apabila
terdapat bukti yang cukup atau petunjuk yang kuat tentang telah terjadi
suatu pelanggaran/tindak pidana :
Perwira pemeriksa memberitahu kepada Nakhoda bahwa telah terjadi tindak pidana
dan untuk itu kapal akan dibawa kepangkalan/ pelabuhan yang ditentukan, meminta
kepada nakhoda kapal untuk memberikan tandatangan pada peta posisi Gambar
Situasi Pengejaran dan Penghentian. Kemudian Komandan kapal patroli
mengeluarkan surat perintah untuk membawa kapal dan orang ke
pangkalan/pelabuhan yang terdekat dan telah ditentukan.
Alternatif
cara membawa kapal :
a. Di Ad hoc
(Perintah membawa)
1)
Komandan kapal patroli menerbitkan surat
perinah ad hoc/membawa kepada nakhoda/tersangka
supaya membawa sendiri kapalnya kepelabuhan sesuai yang diperintahkan.
2)
Surat-surat/dokumen, muatan dan benda-benda
dipindahkan diamankan di kapal patroli.
3)
Perintah Ad hoc/membawa hanya
diberlakukan terhadap kapal berbendera Indonesia (ABK bukan asing) yang
diyakini tidak akan melarikan diri.
4)
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Komandan
kapal /nakhoda kapal patroli: Waspadai Kapal tersebut tidak mematuhi perintah
ad hoc dan melarikan diri, Waspadai pertukaran Nakhoda kapal yang tidak sesuai
sijil.
b. Dikawal.
1) Kapal tetap
dibawa Nakhoda dan ABK-nya menuju pelabuhan yang dituju.
2) Ditempatkan
Tim kawal diatas kapal secara proporsional.
3) Kapal patroli
dapat mengawal pada jarak aman.
4) Surat-surat/dokumen
kapal/muatan dan benda-benda yang mudah dipindahkan termasuk alat komunikasi
diamankan di kapal patroli.
5) Sebagian ABK
dari kapal yang dikawal dapat dipindahkan kekapal patroli.
c.
Digandeng/ditunda/ditarik.
1) Dalam hal
kapal mengalami kerusakan dapat dibawa oleh kapal patroli dengan cara
digandeng/ditunda/ditarik dengan tetap memperhatikan kesiapan tekhnis dan
material kapal patrol.
2) Sebagian ABK
dapat dipindahkan kekapal patroli dan menempatkan petugas diatas kapal yang
dikawal.
3) Apabila kapal
mengalami kerusakan berat dan kemungkinan akan tenggelam serta upaya penyelamatan
kapal tidak memungkinkan , maka nachoda dan ABK dipindahkan ke kapal Patroli
sebagai upaya pertolongan.
4) Apabila kapal
yang digandeng/ditunda/ditarik karena kerusakan berat mengakibatkan tenggelam ,
harus dibuat berita acara yang berisi tentang posisi dan sebab-sebab
tenggelamnya kapal tersebut.
d. Penyerahan
kepada Pangkalan/Kantor.
Pada
prinsipnya Komandan Kapal Patroli adalah Penyidik/penyidik pembantu, namun
dengan pertimbangan efisiensi waktu penyidikan lanjut diserahkan kepada
pangkalan/kantor berwenang tempat dimana kapal akan diperiksa lebih lanjut
(penyelidikan lanjutan penyidikan). Setelah kapal sampai dipangkalan/pelabuhan,
komandan kapal patroli segera menyerahkan kapal dan muatan, nakhoda dan ABK
serta surat-surat/Dokumen kapal/muatan kepada pangkalan dengan dilengkapi :
1)
Laporan kejadian
2)
GSPP kapal
3)
Pernyataan posisi kapal
4)
Surat perintah dan BA riksa kapal
5)
Pernyataan hasil pemeriksaan kapal
6)
Pernyataan hasil pemeriksaan surat-surat
kapal
7)
Pernyataan keadaan muatan kapal
8)
Pernyataan tidak tersedianya buku jurnal
kapal (kalau tidak ada)
9)
Surat perintah dan BA membawa kapal dan orang
10)
BAP saksi dari Kapal patroli (min 2 orang
yang bertugas pada saat itu)
11)
BA pengambilan sumpah/janji saksi dari kapal
patroli ( min 2 orang yang bertugas pada waktu kejadian dan telah memenuhi
syarat untuk diambil sumpah.
12)
BA serah terima kapal dan perlengkapannya,
Nakhoda dan ABK, Dokumen kapal serta Berkas Perkara.
e. Penyidikan
1) Pemeriksaan oleh Penyidik di Pangkalan/Kantor
Pangkalan/
kantor melakukan pemeriksaan terhadap kapal dan muatan, nakhoda dan ABK serta
surat-surat/dokumen kapal/muatan yang diserahkan oleh kapal patroli/instansi
lain untuk proses hukum lebih lanjut.
2) Proses Penyidikan.
Penyidik
segera menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan surat pemberitahuan dimulainya
Penyidikan (SPDP) kepada pihak kejaksaan, untuk keperluan penyidikan, setelah
dilakukan tindakan : Penggeledahan, pemeriksaan saksi, tersangka, penyitaan dan
penahanan.
3) Penanganan ABK non Yustisial
ABK
yang bukan tersangka setelah selesai dilakukan pemeriksaan sebagai saksi tidak
dilaksanakan penahanan.
Prosedur penyelesaian perkara
setelah di darat menggunakan hukum acara pidana umum (KUHAP).Tindak pidana di
laut tidak mengenal YURIDIKSI peradilan dan pengadilan yang berwenang mengadili
ialah pengadilan yang membawahi pelabuhan dimana kapal tangkapan
tersebut diserahkan. Tidak ada keharusan kapal penangkap
menyerahkan ke pelabuhan tertentu mengingat di laut tidak mengenal LOCUS DELITI dan Locus Delitinya adalah seluruh perairan Indonesia. Ketentuan
yang ada adalah kapal tangkapan diserahkan ke pangkalan yang terdekat sehingga
tidak mengganggu tugas-tugas operasional lainnya kapal patroli Polisi, dan
seluruh pengadilan di Indonesia berwenang sehingga diserahkan kemana saja.
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Efektifitas penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain: faktor hukumnya, aparatnya, sarananya dan masyarakat serta kebudayaannya.
b. Tindak pidana di laut merupakan tindak pidana khusus, dalam penanganan
perkaranya menggunakan hukum acara tersendiri.
c. Tindak pidana di laut dapat bersifat Internasional maupun Nasional dan subyek
tindak pidana di laut bersumber dari hukum Internasional.
2.
Saran
Dalam rangka
penegakan hukum di laut agar efektif dan tidak terjadi tumpang tindih serta ego
sektoral oleh dinas/instansi pemerintah harus ditingkatkan kerjasama dan
profesionalitas penegakan hukum, guna menjamin keamanan dan keselamatan di laut
dalam rangka mendukung Indonesia sebagai poros maritim.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menjadi
pencerahan bagi kita semua.