Senin, 19 April 2010

UPAYA PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENYELAMATKAN ASET /
KEKAYAAN NEGARA MELALUI PEMBERANTASAN PENYELUNDUPAN


I. PENDAHULUAN

Maraknya kasus penyelundupan barang-barang tertentu masuk atau keluar wilayah indonesia dapat mengancam perekonominan indonesia karena tidak membayar bea sehingga mengurangi devisa dan dapat menjatuhkan industri lokal karena pihak penyelundup dapat mensuplai barang dengan kwalitas sama atau lebih baik dengan harga lebih murah yang akan menjadi pilihan konsumen. Akibatnya barang lokal tidak dapat bersaing karena barang tidak laku terjual. apabila tidak segera ditanggulangi maka banyak industri yang akan tutup sehingga menyebabkan pihak dan meningkatkan angka pengangguran.
Kasus penyelundupan merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan kegiatan ekspor-impor, di mana pelaku tindak pidana “melakukan” atau “mencoba” melakukan pengeluaran / pemasukan barang dari atau ke dalam wilayah Kepabeanan Indonesia tanpa mengindahkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Karena berkaitan dengan kegiatan ekspor-impor, maka kasus penyelundupan pada umumnya merupakan bagian dari kegiatan perdagangan antar negara yang pelaksanaannya dengan melanggar prosedur/ketentuan tentang masuk dan keluar barang dari/ke wilayah Pabean Indonesia.
Terjadinya kasus penyelundupan menunjukkan tidak terkontrolnya barang yang masuk maupun keluar. Pelayanan dan pemeriksaan kepabeanan pada hakekatnya juga merupakan pelaksanaan fungsi kontrol. fungsi-fungsi yang diselenggarakan secara simultan, antara lain berupa : pelayanan fasilitas kegiatan perdagangan antar negara dengan memperlancar arus barang, mengurangi ekonomi biaya tinggi dan menciptakan suasana yang kondusif dan sehat dalam kegiatan perdagangan, sebagai pengumpul penerimaan negara yang harus mampu mencegah kebocoran, dan sebagai “community protector” yang harus mampu melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang yang membahayakan masyarakat dari berbagai aspek dan sekaligus terhadap Keamanan Negara.
Meningkatnya perdagangan internasional yang cenderung menciptakan pasar bebas dan global di bidang perdagangan, telah meningkatkan pula perdagangan antar negara di Indonesia, yang dengan demikian akan meningkat pula kegiatan arus barang masuk dan keluar wilayah Indonesia dari dan ke negara lain. Apabila pengawasan terhadap prosedur arus barang masuk-keluar barang tersebut kurang ketat, maka kasus penyelundupan tentunya akan meningkat pula di samping itu, faktor kondisi lingkungan yang ada akhir-akhir ini baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya terutama moralitas petugas dan kemajuan teknologi telah berpengaruh pula terhadap meningkatnya kasus penyelundupan. hal ini terbukti masih banyaknya barang-barang yang diduga hasil penyelundupan beredar di pasaran.
dengan melihat kompleksnya permasalahan penyelundupan maka upaya penegakan hukum dan penanggulangan harus dilaksanakan secara integral dan komprehensif melibatkan seluruh institusi terkait dan masyarakat. polri sebagai alat negara / pemerintah yang merupakan garda terdepan lembaga penegak hukum dituntut proaktif dalam penegakan hukum terhadap penyelundupan dengan menjalin keterpaduan dengan instansi terkait. Penegakan tersebut dilakukan di seluruh wilayah Indonesia terutama di pintu masuk / keluar wilayah Indonesia seperti pelabuhan, bandar udara, pulau terluar maupun daerah perairan (laut, sungai). perkembangan terakhir tidak hanya barang hasil industri yang diselundupkan tetapi juga barang berbahaya seperti senjata, handak dan narkoba.

II. KEBIJAKAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYELUNDUPAN.

Sistem penegakan hukum oleh polri (penyidikan) merupakan bagian dari suprasistem penegakan hukum nasional. Kemandirian penegakan hukum Polri secara konstitusional, ditegaskan dalam UUD ’45 pasal 30 bahwa Polri terpisah dengan TNI. dalam pasal tersbut dijelaskan Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. dalam UU RI No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RepublikI indonesia dijelaskan bahwa fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dan alat negara, dalam pasal 13 disebutkan bahwa Tugas Pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. hal tersebut menuntut perubahan fundamental pada paradigma (doktrin) mulai dari orientasi, nilai, sikap dan perilaku Polri yang lebih otonom dan berwatak sipil. Polri harus mengubah pendekatan dari reactive policing menjadi proactive policing.
Dalam kenyataannya di Indonesia masih tingginya kejahatan konvensional dan transnasional. meskipun terkendali, variasi kejahatan konvensional cenderung meningkat dengan kekerasan yang meresahkan masyarakat. selanjutnya, kejahatan transnasional seperti penyelundupan, narkotika, pencucian uang dan sebagainya terus meningkat. luasnya wilayah laut, keanekaragaman sumber daya hayati laut, dan kandungan sumber daya kelautan, banyaknya pintu masuk ke wilayah perairan nusantara serta masih lemahnya pengawasan, kemampuan, dan koordinasi keamanan laut menyebabkan meningkatnya gangguan keamanan, pertahanan dan pelanggaran hukum di laut. masih adanya potensi terorisme membutuhkan pendekatan dan penanganan yang lebih komprehensif; sementara itu efektivitas pendeteksian dini dan upaya preemtif, pengamanan sasaran vital, pengungkapan kasus, pengenalan faktor-faktor pemicu terorisme, dan perlindungan masyarakat umum dari terorisme dirasakan belum memadai.”

Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis serta sejahtera (peace, justice, democracy, prosperity), maka prioritas pembangunan nasional yang ditetapkan antara lain :
“Peningkatan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas dengan menegakkan hukum dengan tegas, adil, dan tidak diskriminatif; meningkatkan kemampuan lembaga keamanan negara; meningkatkan peran serta masyarakat untuk mencegah kriminalitas dan gangguan keamanan dan ketertiban di lingkungannya masing-masing, menanggulangi dan mencegah tumbuhnya permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan dan penyebaran narkoba, meningkatkan kesadaran akan hak-hak dan kewajiban hukum masyarakat, serta memperkuat kerjasama internasional untuk memerangi kriminalitas dan kejahatan lintas negara”.

Dengan adanya kondisi tersebut, maka Polri dituntut segera meningkatkan profesionalisme polri dan segera melakukan konsolidasi, pembenahan dan akselerasi dalam rangka penegakan hukum (penyidikan). guna memberi arah dalam pelaksanaan tugas, maka dalam rangka menindak lanjuti kebijakan strategis kapolri terdahulu dengan langkah yang berkesinambungan dan percepatan sasaran maka telah ditetapkan visi polri yaitu

” TerwujudnyaPpostur Polri yang profesional, bermoral dan modern sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang terpercaya dalam memelihara kamtibmas dan menegakkan hukum“

Visi dan misi tersebut selanjutnya dijabarkan dalam tujuan, strategi, kebijaksanaan dan program kapolri. salah satu program kapolri tersebut adalah program penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. kejahatan dapat berkembang dengan keragaman bentuk, mobilitas tinggi, modus operandi bervariatif, penggunaan high technology, wilayah operasi lintas negara, menimbulkan korban massal dan mengancam eksistensi dan keutuhan negara sehingga dilakukan klasifikasi menjadi 4 (empat), yatiu kejahatan konvensional, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara dan kejahatan berimplikasi kontinjensi.

Salah satu bentuk kejahatan transnasional dan kejahatan terhadap kekayaan negara adalah penyelundupan. sebagaimana ketentuan pidana pada pasal 102 uu no. 17 tahun 2006 tentang perubahan uu no. 10 tahun 1995 tentang kepabeanan, maka tindak pidana ini dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Penyelundupan yang dilakukan dengan tanpa didukung dokumen impor/ ekspor sama sekali.

2. Penyelundupan yang dilakukan dengan cara memanipulasi dokumen.

Data jumlah kasus penyelundupan yang terdata oleh aparat yang merupakan hasil kegiatan penindakan, sebenarnya belum mencerminkan data yang sebenarnya, karena masih ada “dark number”.


III. ANATOMI KASUS PENYELUNDUPAN

1. Bentuk Kasus.

bentuk kasus sebagaimana dijelaskan pada pasal 102 uu no. 17 tahun 2006 tentang perubahan uu no. 10 tahun 1995 tentang kapabeanan, meliputi :

A. penyelundupan yang tanpa didukung dokumen impor/ekspor sama sekali yang sering dalam istilah sehari-hari disebut “penyelundupan fisik”.

b. penyelundupan yang dilakukan dengan manipulasi dokumen impor, di mana dalam kasus ini antara dokumen dengan fisik barang tidak sesuai atau dalam istilah sehari-hari sering disebut sebagai “penyelundupan administrasi”

dalam kenyataan yang terjadi diperkirakan, jumlah kasus penyelundupan dengan manipulasi dokumen jauh lebih tinggi dibandingkan penyelundupan yang tanpa didukung dokumen sama sekali.

2. Lokasi Rawan Penyelundupan.

A. pelabuhan laut
B. pelabuhan udara, terutama yang internasional
C. perairan (laut)
D. daerah perbatasan
E. daerah kepulauan

3. Jenis barang yang diselundupkan
a. produk elektronik
b. gula
c. terigu
D. tekstil
E. pakaian bekas
F. kendaraan : mobil, motor gede
G. obat (bahan kimia)
H. logam (mulia)
I. karya seni
J. satwa dan tanaman yang dilindungi

4. Modus operandi.

Modus operandi yang sering dilakukan adalah :

A. Penyelundupan fisik yaitu memasukkan / mengeluarkan barang tanpa dokumen sama sekali biasanya dilakukan dari kapal laut diangkat dengan perahu, motor boad ke atau dari darat / pantai yang terpencil/sepi (sering bekerja sama dengan abk kapal), lokasi penyelundupan fisik.

B. Penyelundupan administrasi yang dilakukan dengan modus operandi memanipulasi dokumen (impor/ekspor) dilakukan terang-terangan, bahkan sering bekerja sama dengan oknum petugas untuk dapat meloloskan barang-barangnya, dengan cara :

1) Memberitahukan salah tentang jenis, kuatitas, kualitas maupun harga barang.

2) Menyalahgunakan fasilitas barang bawaan, barang pejabat/ perwakilan negara asing, proyek penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri, barang kiriman atau barang pameran.

3) Memalsukan dokumen/formulir pabean.

4) Modus operandi yang paling sering digunakan adalah “under invoiced” yaitu mencantumkan hanya barang dibawah harga yang sebenarnya, sehingga negara dirugikan karena pemasukan pajak yang lebih kecil dari yang semestinya.

5) Pemeriksaan kepabeanan dengan sistim “borongan”.

IV. DAMPAK KASUS PENYELUNDUPAN TERHADAP STABILITAS EKONOMI, SOSIAL BUDAYA, DEVISA DAN KEAMANAN NEGARA.
Barang “gelap” hasil selundupan yang lolos dari pemeriksaan kepabeanan yang seharusnya dilakukan, dapat berdampak pada berbagai aspek, sebagai berikut :

1. Dampak terhadap stabilitas ekonomi.

Adanya penyelundupan berarti juga tidak ada kepastian hukum dan kepastian usaha. adanya barang illegal tersebut, akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat yang dapat mematikan industri lokal dan akhirnya dapat mengganggu stabilitas perekonomian terutama apabila dalam jumlah yang sangat besar. Selain itu, dengan tidak membayar bea masuk, maka mereka dapat menekan biaya modal, sehingga barang selundupan akan memiliki daya saing yang kuat dalam pemasaran dengan harga yang lebih murah. Dengan banyaknya industri lokal yang tidak mampu bersaing akan menimbulkan phk dan pengangguran. adanya iklim usaha yang tidak sehat juga merupakan penghambat masuknya investasi domestik maupun asing.

2. Dampak terhadap sosial budaya.

A. Apabila barang hasil selundupan berupa bahan yang dapat membahayakan kesehatan (makanan yang mengandung penyakit, busuk, dsb.), dapat menimbulkan wabah penyakit dan sejenisnya.

B. Apabila barang hasil selundupan berupa narkoba, film / bahan bacaan porno, dsb, dapat merusak moral masyarakat .

C. Menurunkan mental dan kreativitas karena tidak ada komitmen kemandirian dan “mencintai produksi dalam negeri” dari masyarakat.

3. Dampak terhadap devisa negara.

Barang hasil penyelundupan yang lolos dari pemeriksaan kepabeanan, tentunya tidak membayar bea ataupun membayar bea di bawah standar yang seharusnya dibayarkan, sehingga sangat merugikan devisa negara.

4. Dampak terhadap keamanan negara.

Apabila barang yang diselundupkan tersebut berupa senjata api atau bahan peledak dapat digunakan oleh pihak-pihak tertentu melakukan kegiatan terorisme,, separatisme atau memicu konflik sehingga berdampak terhadap keamanan negara.

V. KENDALA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENYELUNDUPAN DAN UPAYA UNTUK MENGATASINYA.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap penyelundupan adalah : materi hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, budaya dan kerja sama. sehingga kendala maupun upaya untuk mengatasinya terkait dengan faktor-faktor dimaksud. Dengan penguatan penegakan hukum maka aset / kekayaan negara akan terselamatkan dengan pemasukan devisa dari kepabeaan maupun kekayaan alam tidak dibawa keluar secara illegal.

1. Materi hukum

Materi hukum peraturan per-UU-an yang ada masih kurang mendukung pelaksanaan penanggulangan penyelundupan.

a. UU no. 10 th. 1995 tentang kepabeanan, sangat membatasi kewenangan polri dalam penyidikan kasus penyelundupan. dalam pasal 112 ayat 1 dijelaskan bahwa penyidikan tindak pidana penyelundupan dilakukan oleh ppns ditjen bea dan cukai secara khusus (“lex specialis”).

b. Walaupun sudah ada pp. no. 55 th. 1996 yang memberikan kewenangan kepada polri secara terbatas, namun dalam kenyataan praktek pihak jaksa penuntut umum masih sering menolak berkas perkara penyelundupan yang ditangani oleh penyidik polri.
C. UU no. 17 th. 2006 tentang perubahan uu no. 10 th. 1995 tentang kepabeanan, tidak menegaskan keharusan adanya koordinasi dan keterpaduan antara polri dan ditjen bea cukai sehingga masih ada arogansi sektoral atau pengkotak-kotakan.

d. Pasal 113 ayat (2) uu no. 10 th. 1995 yang mengatur penghentian penyidikan (“denda damai” ).

Dengan adanya kendala tersebut, baik polri maupun ppns bea dan cukai tidak perlu berseberangan, tetapi tetap bekerja proaktif sesuai bidang dan keunggulan masing-masing untuk melakukan penegakan hukum terhadap penyelundupan. Penerapan “denda damai” agar digunakan secara hati-hati dengan mempertimbangkan berbagai dampak yang telah ditimbulkan. Untuk menanggulangi barang hasil penyelundupan yang sudah beredar di “pasaran”, perlu diatur tataniaga yang mampu mengkait kepada undang-undang yang memiliki “ketentuan pidana”. karena selama ini, pembuktian untuk barang hasil penyelundupan yang sudah beredar di pasaran, sangat sulit, bahkan kadang-kadang tidak memungkinkan lagi, karena tidak diketemukan pelaku penyelundupnya.

2. Aparat penegak hukum

Kewenangan aparat pabean, kurang memberikan dampak “efek jera“ bagi pelaku :

a. Dengan melihat lokasi daerah rawan penyelundupan yang dari waktu ke waktu tidak berubah, dapat diduga bahwa petugas penegak hukum yang ada dilokasi tersebut kurang “kemauan” maupun “kemampuan” untuk menanggulangi masalah penyelundupan tersebut.

b. Lemahnya koordinasi dan kerja sama antar petugas dan antar instansi terkait di lapangan memberikan peluang bagi penyelundup.

Dengan adanya kendala tersebut, baik Polri maupun PPNS Bea dan Cukai harus solid, berkomitmen, dan berkinerja tinggi serta menjalin koordinasi yang baik dalam lingkup Crime Justice System untuk melakukan penegakan hukum terhadap penyelundupan secara konsisten sebagai musuh bersama. Moralitas petugas di lapangan yang buruk harus segera dirubah dalam rangka mewujudkan prinsip good governance and clean goverment. Di lingkungan Polri, selain fungsi Reskrim juga ada Polair yang dapat melakukan penegakan hukum terutama di wilayah perairan. dan untuk menimbulkan efek jera maka dapat diterapkan sanksi pidana maksimal.

3. Sarana dan prasarana.

Sarana dan prasarana penyidikan saat ini, masih dirasakan kurang memadai seperti alat detektor, alat penginderaan jarak jauh, alat komunikasi dan sarana transportasi kapal karena indonesia merupakan negara kepulauan.

Upaya untuk mengatasinya adalah memelihara sarana dan prasarana yang ada agar tetap layak pakai dan tahan lama serta pengadaaan sarana prasarana sesuai dengan anggaran yang tersedia. Polri juga telah mengembangkan polair dan sarana kapal serta pangkalannya yang tersebar di wilayah tanah air, sehingga dapat diberdayakan untuk penguatan upaya penegakan hukum.

4. Budaya hukum masyarakat.

Kesadaran hukum masyarakat masih lemah dan krisis ekonomi sebagaian masyarakat tidak mempedulikan barang “gelap” yang dibeli, yang penting mebeli dengan harga murah. Penegakan hukum yang lemah juga berdampak pada ketidakpatuhan masyarakat.

Dengan penguatan penegakan hukum diharapkan akan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat sehingga mamahami perlunya kepastian hukum dan iklim usaha yang sehat untuk dapat bersaing di tingkat global dengan mematuhi rambu-rambu hukum.

Dalam rangka reformasi kultural, Polri mengembangkan budaya organisasi.
a. Keunggulan (excellence) orientasi pada prestasi (achievement), dedikasi kejujuran (honesty), dan kreativitas.
b. Integritas (integrity ) orientasi pada komitmen menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral (ethic values and morality).
c. Akuntabilitas (accountable) berorientasi pada sistem yang traceable (dapat ditelurusi jalurnya yang logis) dan auditable (dapat diaudit dan diperbaiki), mulai dari tingkat individu sarnpai institusi polri.
d. Transparansi orientasi pada keterbukaan (openness), kepercayaan (trust), menghargai keragaman dan perbedaan (diversity) serta tidak diskriminatif.
e. Keberlanjutan orientasi kepada perbaikan secara terus menerus dan masa depan.

5. Kerja sama

Terjadinya penyelundupan dapat terjadi karena lemahnya kerja sama (keterpaduan) antar komponen-komponen crime justice system yaitu penyidik Polri/PPNS, Jaksa dan Hakim maupun kerja sama dengan negara lain.

Kedepan perlu dilakukan kerja sama lintas instansi maupun lintas negara dalam bentuk pertukaran informasi, bantuan teknis (alat - teknologi, tenaga ahli), pelatihan dan kegiatan (operasi) bersama.

VI. PENUTUP

Demikian kebijakan Polri di bidang penegakan hukum untuk mengamankan / menyelamatkan aset / kekayaan negara melalui pemberantasan penyelundupan serta kendalanya, semoga bermanfaat untuk pelaksanaan tugas.(EBS)