Kamis, 21 April 2011

ISTILAH PERBUATAN PIDANA

ISTILAH PERBUATAN PIDANA

Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum, dan dapat di-kenakan sanksi pidana maka harus dipenuhi dua unsur, yakni adanya unsur actus reus atau unsur esensial dari kejahatan (physical element) dan mens rea (mental element) yakni keadaan sikap batin. (Zainal Abidin Farid, 1995:35).

Lebih lanjut Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa actus reus merupakan unsur suatu delik, sedangkan mens rea termasuk pertanggungjawaban pembuat.

ASAS LEGALITAS SEBAGAI UKURAN TINDAK PIDANA

Asas legalitas atau Nullum crimen sine lege dan nulla poena sine lege. Asas ini lebih cocok untuk hukum pidana tertulis.

Asas legalitas tersebut menentukan unsur suatu perbuatan dapat dipidana berdasarkan pada aturan-aturan hukum tertulis yang telah menetapkan adanya sanksi pidana.

Beberapa negara baik dalam sistem hukum totaliter dan sistem hukum sosialis, mengakui asas legalitas dan larangan penerapan analogi

Pendapat Muladi (2002:73) tentang asas legalitas menyatakan bahwa:

(1) memperkuat kepastian hukum;

(2) menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;

(3) mengefektifkan fungsi pencegahan dari sanksi pidana;

(4) mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan

(5) memperkokoh penerapan rule of law.

Ø Perkembangan penerapan asas legalitas di Indonesia, tidak selamanya membatasi kekuasaan negara, karena dalam kasus-kasus tertentu menerapkan asas retroaktif, khususnya kejahatan-kejahatan yang menyangkut hak asasi manusia.

Ø Hubungannya dengan hukum pidana nasional, Muladi (2002:74) menyatakan bahwa penerapan asas legalitas tergantung dari sistem pemerintahan yang berlaku di suatu negara, tergantung pula pada sistem keluarga hukum yang dianut.

Ø Sistem Eropa kontinental cenderung menerapkan asas legalitas lebih kaku daripada penerapannya di negara yang menganut system common law.

Ø Di Negara kontinental, asas legalitas menjadi alat untuk membatasi kekuasaan negara. Di Negara Common Law asas legalitas tidak begitu menonjol, karena prinsip rule of law telah tercapai dengan berkembangnya konsep due process of law

Ø ACTUS NON FACIT REUM NISI MENS SIT REA

Asas tersebut di atas, menyatakan bahwa suatu perbuatan tak dapat menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tak bersalah. (Zainal Abidin Farid, 1995: 47)

Di beberapa negara, bahwa perbuatan dan sikap batin seseorang dipersatukan dan menjadi syarat adanya suatu perbuatan pidana. Pendapat Zainal Abidin Farid terhadap asas tersebut ialah unsur actus reus harus didahulukan yaitu perbuatan kriminal (criminal act).

Setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang barulah diselidiki tentang sikap batin pembuat.

Ketentuan tersebut jelas mendahulukan perbuatan pidana dan kalau terbukti barulah mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa yang merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.

Ø Mens Rea

Actus reus adalah menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act) sedangkan mens rea mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana yaitu sikap batin disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau keadaan psikis pembuat (Utrecht, 1960: 257 ).

Ø Mens Rea adalah sikap batin pembuat yang oleh tindakan yang melanggar sesuatu larangan dan keharusan yang telah ditentukan tersebut.

Ø Delik disebut sebagai unsur subyektif, yang kalau unsur-unsurnya terbukti maka berarti terbuktinya pertanggung-jawaban pembuat delik.

Unsur-unsurnya adalah kemampuan bertanggungjawab, 0

kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata), tak adanya dasar pemaaf (veronstschuldingsgrond) yang semuanya melahirkan schuld-haftigkeit uber den tater yaitu hal dapat dipidananya pembuat delik.

Perbedaan antara unsur-unsur perbuatan melawan hukum atau perbuatan kriminal dan pertanggungjawaban pembuat delik tidak berarti bahwa keduanya tidak saling berhubungan.

Hal ini harus diingat bahwa onrechtmatigheid atau hal melanggar hukum itu sebagai ketentuan timbul dari norma yang atas pelanggarannya dinyatakan sebagai dapat dihukum.

Rumusan dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum itu unsur kesengajaan dapat dianggap sebagai termasuk ke dalamnya karena menurut ketentuan hal tersebut memang disyaratkan.

Pengertian tentang perbuatan yang dapat dihukum maka yang perlu dipahami yakni konsep tentang perbuatan melawan hukum dan konsep tentang delict atau tindak pidana.

Hal ini dapatlah kita tarik pendapat dari Satochid Kartanegara ( 414) yang mengambil pendapat dari Van Hamel dan Hoge Raad tentang “unsur melawan hukum (wederrechtelijk)” yakni: “tanpa hak atau wewenangnya (zonder eigenrecht of zonder eigen bevoegheid)”

Perbuatan melawan hukum ini dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, hal ini berdasarkan pendapat doktrin (Satochid Kartanegara, 415) dapat dibedakan dalam dua bentuk yakni:

Pertama, wederrechtelijk formil yakni apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang;

Kedua, wederrechtelijk materiil, yakni sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijk walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

Dengan demikian wederrechtelijk formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk materiil tidak bersandarkan pada undang-undang, melainkan pada asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum, atau apa yang dinamakan algemene beginselen.

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

Asas perimbangan kepentingan yang berwawasan Pancasila sebagai pengejawentahan asas hukum pidana nasional (AHPN), didefinisikan sebagai mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:

(1) Asas-asas hukum merupakan tendens-tendens yang dituntut oleh rasa susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan kita, yang secara langsung dan jelas menonjol;

(2) Asas-asas hukum merupakan ungkapan-ungkapan yang sangat umum sifatnya, yang bertumpu pada perasaan yang hidup di setiap orang;

(3) Asas hukum merupakan fikiran-fikiran yang memberi arah/pimpinan, yang menjadi dasar kepada tata hukum yang ada;

(4) Asas hukum dapat diketemukan dengan menonjolkan hal-hal yang sama dari peraturan yang berjauhan satu sama lain;

(5) Asas hukum merupakan sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang;

(6) Asas hukum dipositifkan baik dalam perundang-undangan maupun yuresprudensi;

(7) Asas hukum tidak bersifat transendental atau melampaui alam kenyataan yang dapat disaksikan oleh pancaindera;

(8) Artikulasi dan pembabaran asas-asas hukum tergantung dari kondisi-kondisi sosial sehingga bersifat openended multi interpretable dan Gesellschaftsgebunden dan bukannya bersifat absolut seperti pandangan yuridis yang tradisional;

(9) Asas-asas hukum berkedudukan relatif otonom dan melandasi fungsi pengendalian masyarakat, penyelenggaraan ketertiban dan penanggulangan kejahatan;

(10) Asas hukum merupakan legitimasi dalam prosedur pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum;

(11) Asas hukum berkedudukan lebih tinggi daripada undang-undang dan pejabat-pejabat resmi (penguasa), sehingga tidak merupakan keharusan untuk mengaturnya dalam hukum positif.

Dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum di atas harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.

Dalam konteks hukum pidana materiil, permasalahan akan berkisar pada tiga permasalahan pokok hukum pidana yakni perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan sanksi yang diancamkan, baik pidana maupun tindakan.(ekobudi)

Selasa, 19 April 2011

PERJANJIAN CHARTER KAPAL DI INDONESIA

PERJANJIAN CARTER KAPAL

DI INDONESIA

A. Pengertian Perjanjian carter

Didalam dunia perhubungan laut, untuk meningkatkan kelancaran penyelenggaraan pengangkutan diperlukan suatu sarana penunjangnya, yaitu sarana kapal. Salah satu penyelenggaraan angkutan laut adalah dengan mengadakan suatu perjanjian yang di namakan perjanjian carter kapal. Mengenai pencarteran kapal itu sendiri adalah :

“ penggunaan / pengoperasian kapal milik orang lain, yag sudah di perlengkap dengan alat perlengkapan kapal beserta pelautnya, yang siap untuk menjalankan kapal sesuai dengan intruksi pencarter “.1

Mengenai perjanjian carter kapal ini dapat di perhatikan pengertian – pengertian di bawah ini.

Oleh H.M.N. Purwosutjipto mengartikan :

“Caerter kapal adalah suatu perjanjian timbale balik antara tercarter (vevrater) dengan pencarter (bevrachter), dengan mana tercarter mengikatkan diri untuk menyediakan kapal lengkap dengan perlengkapan serta pelautnya untuk kepentingan pencarter, dan si pencarter mengikatkan diri untuk membayar uang caerter (charterprijs)”.

Sedangkan dalam pasal 453 ayat (1) kitab UU Hukum Dagang dinyatakan bahwa : “yang namakan pencarteran kapal ialah carter menurut waktu dan carter menurut perjalanan“.

Dari beberapa pengertian perjanjian carter kapal yang dikemukakan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian perjanjian carter kapal adalah menggambarkan sifat perjanjian carter kapal yang timbale balik antara pihak tercarter dan pihak pencarter untuk menyediakan kapal lengkap dengan perlengkapannya serta pelautnya. Sedangkan pihak pencarter mengikatkan diri untuk membayar uang carter atas penggunaan kapal untuk pengankutan barang – barang atau tujuan lain yang sah.

Apabila dalam perjanjian carter kapal ini, dalam pelaksanaan terjadi tabrakan, maka beban di pikul sendiri oleh pencarter apabila pekerjaan di kerjakan sendiri oleh pencarter, dan sebaliknya jika dipersiapkan oleh tercarter.

B. Dasar Hukum Perjanjian Carter Kapal

Sebagaimana diketahui bahwa setiap kegiatan atau perbuatan yang dilakukan di tanah air Republik Indonesia ini mempunyai dasar – dasar hokum yang dijadikan tuntutan untuk pelaksanakan kegiatan tersebut. Adapun yang dijadikan dasar hokum perjanjian carter kapal adalah kitab UU Hukum Dagang, yang diatur mulai dari pasal 453 sampai dengan pasal 565.

Pasal – pasal tersebut secara umum isinya adalah sebagai berikut :

Pada pasal 453 mengatur mengenai perjanjian pencarter kapal secara umum dan membedakan perjanjian carter kapal itu atas 2 (dua) jenis, yaitu perjanjian carter kapal menurut perjalanan dan perjanjian carter kapal menurut waktu.

Pasal 454 mengatur tentang perlu adanya akta dalam suatu perjanjian carter kapal.

Pasal 455 sampai dengan pasal 459 mengatur tentang hak dan kewajiban para pihak yang mengadakan perjanjian carter kapal.

Pasal 460 sampai dengan pasal 462 mengatur tentang perjanjian carter kapal menurut perjalanan.

Kemudian pada pasal 463 sampai dengan pasal 465 mengatur tentang perjanjian carter kapal menurut waktu.

C. Syarat Sah Perjanjian Carter Kapal

Seperti halnya perjanjian pada umumnya, perjanjian carter kapal harus memenuhi syarat untuk sahnya perjanjian sebagaimana menurut ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Yaitu harus terpenuhi unsur – unsur sebagai berikut .

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Yaitu sepakat antara penyedia kapal (tercarter) dengan orang yang mencarter kapal (pencarter).

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pihak yang mengadakan perjanjian carter kapal tidak terhalang untuk mengadakan perjanjian sebagaimana di atur dalam peraturan perundangan yang berlaku, yaitu pihak yang tidak termasuk orang – orang belum dewasa atau orang yang berada di bawah pengampuan.

31

3. Suatu hal tertentu

Dalam perjanjian ini barang diharapkan adalah satu atau beberapa buah kapal yang akan dipergunakan untuk suatu tujuan tertentu oleh pencarter.

4. Suatu sebab hal yang halal

Isi dan tujuan dalam perjanjian carter kapal adalah yang tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum maupun kesusilaan, yaitu berkenaan dengan pemakaian, pengangkutan dan jangka waktu pencarteran kapal tersebut.

D. Para Pihak yang Terlibat Dalam Perjanjian Carter Kapal

Para pihak dalam suatu perjanjian disebut subjek, yaitu siapa – siapa yang terlibat dengan diadakannya perjanjian subjek harus mampu atau wenang untuk melakukan perbuatan hokum yang ditetapkan oleh UU.

Dengan demikian, disamping manusia perorangan, badan hukum juga dapat bertindak dalam hokum dan mempunyai hak – hak, kewajiban dan perhubungan hokum terhadap orang lain arau badan lain.

Artinya badan hukum adalah turut serta dalam pergaulan hidup masyarakat yang meliputi perbuatan pembeli. Sehubungan dengan itu, dalam perjanjian carter kapal di kota jambi, para pihak yang terikat di adakannya perjanjian tersebut adalah pihak tercarter (shipowners) suatu puak yang mencarterkan kapal, yang dalam prakteknya pihak tercarter ini adalah perusahaan pelayaran disatu pihak denga pihak pencarter selaku pihak pemakai jasa angkutan.

32

Disamping itu, didalam perjanjian carter kapal yang diadakan antara pihak tercarter denga pencarter (pemakai jasa angkutan) terdapat pula beberapa orang yang bukan merupakan pihak dalam perjanjian, tetapi mempunyai peranan yang sangat penting untuk memulai mengadakan perjanjian carter kapal. Orang – orang ini disebut dengan pihak perantara atau wakil masing – masing pihak tercarter maupun dari pihak pencarter.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam perjanjian carter kapal di kenal para pihak dalam perjanjian yang terdiri dari unsur – unsur tersebut adalah :

1. Pihak Tercarter (shipowners atau perusahaan pelayaran)

Pihak tercarter adalah pihak yang menyediakan kapal beserta perlengkapan dan pelautnya yang akan di gunakan oleh pihak pencarter untuk kepentingannya dalam perjanjian kerja laut.

Mengenai pelaut yang disediakan pihak tercarter masih tetap merupakan bawahan pihak tercarter, yang mana mereka mengikatkan diri pada pihak tercarter berdasakan perjanjian kerja laut.

2. Pihak Pencarter (Charterers atau pemakai jasa angkutan)

Pihak pencarter adalah piahk yang menggunakan penyediaan kapal untuk kepentingan dalam pelayaran dilaut sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Pihak pencarter dapat berupa perorangan,badan hokum seperti Perseroan Terbatas (PT), Comaditer Veneschap (CV) dan lain – lain.

Selain itu juga pihak pencarter dapat berupa perusahaan pelayaran, yang dalam menjalankan usaha pengangkutan laut mengalami kekurangan sarana kapal. Untuk menutupi kekurangan tersebut maka pihak perusahaan pelayaran tersebut mencarter kapal dari perusahaan lain.

3. Perantara atau wakil – wakil dari masing – masing pihak

Perantara atau wakil dari masing – masing pihak adalah perantara dari pihak adalah perantara dari pihak tercarter (shipowners atau perusahaan pelayaran) maupun dari pihak pencarter.

Adanya pihak perantara atau wakil – wakil dari masing – masing pihak dalam perjanjian carter kapal ini dikarenakan para pihak, baik pihak pencarter dan tercarter tidak dapat berlangsung untuk melaksanakan tugasnya yang berhubungan dengan carter kapal, sehingga bagi pihak pencarter.

Tentang kemungkinan bahwa dalam perjanjian carter kapal itu dapat di adakan oleh masing – masing pihak yang merupakan perwakilan dengan izin masing – masing pihak, baik izin dari pihak tercarter maupun izin dari pihak pencarter. Dapat ditemui dalam pasal 455 Kitab UU Hukum Dagang, yang menyebutkan :

Barang siapa mengadakan perjanjian kapal untuk orang lain, bagaimanapun ia terhadap pihak yang lain terikat karenanya, kecuali bilamana ia pada pembuatan perjanjian berbuat dalam batas kuasanya dan menyebutkan pemberi kuasanya.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 455 Kitab Undang – undang Hukum dagang tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa perantara atau wakil – wakil dan masing – masing pihak dalam perjanjian carter kapal adalah bertindak hnya sebagai perantara atau wakil pihak dalam perjanjian carter kapal.

Terhadap semua perantara atau wakil – wakil yang bekerja untuk masing – masing pihak, mereka memperoleh komisi dari masing – masing pihak yang diwakilinya setelah mereka menyelesaikan tugas – tugasnya.

E. Jenis – jenis Perjanjian Carter

Dalam Kitab Undang – undang Hukum Dagang, Perjanjian carter kapal terdiri atas 2 (Dua) jenis, yaitu :

1. Carter kapal menurut waktu

Perjanjian carter kapal jenis ini di atur dalam pasal 453 ayat (2) Kitab Undang – undang Hukum Dagang, yang menyatakan :

Carter menurut perjalanan adalah persetujuan, dengan mana pihak yang satu (pencarter) mengikatkan diri selama suatu waktu tertentu, kepada pihak lawannya dengan maksud memakai kapal tersebut dalam pelayaran di lautan guna keperluan pihak yang terakhir ini, dengan pembayaran suatu harga yang dihitung menurut lamanya waktu.

Dari ketentuan pasal tersebut di atas di ketahui bahwa pada perjanjian carter kapal menurut waktu yang menjadi pokok perjanjian adalah jangka waktu pemakaian kapal itu sendiri, di mana kewajiban pembayaran oleh pencarter dilihat dan di hitung menurut lamanya waktu yang digunakan.

2. Carter Kapal menurut Perjalanan

Perjanjian carter kapal yang telah disepakati bersama antara tercarter dengan pencarter berakhir apabila uang carter telah di bayar oleh pihak pencarter kepada pihak tercarter dan semua hak – hak dan kewajiban dari masing – masing pihak telah dilaksanakan sebagaimana yang telah di sepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak.

F. Berakhirnya Perjanjian Carter kapal

Selain itu pihak perjanjian carter juga dapat berakhir pada saat tertentu yang disebabkan oleh sesuatu hal di luar apa yang telah di janjikan bersama. Berkenaan dengan ini, pasal 462 sampai dengan pasal 465 kitab UU Hukum Dagang menentukan mengenai berakhirnya perjanjian carter kapal, yaitu :

1. Perjanjian carter kapal berakhir, bila kapalnya musnah (Pasal 462 ayat (1))

2. Bila kapal itu hilang, perjanjian carter kapal berakhir pada saat penerimaan kabar terakhir mengenai kapal yang bersangkutan (Pasal 462 ayat (2))

3. bila kapalnya tidak dapat di pakai akibat adanya kerusakan tidak di lengkapi secara bail, tidak di lengkapi dengan awak kapal yang cukup, maka selama kapal itu tidak dipakai, uang carter tidak perlu di bayar (Pasal 462 ayat (2))

4. Apabila uang carter tidak di bayar pada waktu yang telah ditentukan, maka tercarter dapat menghentikan perjanjian carter itu dengan lebih dahulu memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pencarter (Pasal 463)

5. Apabila karena sesuatu tindakan atasan atau karena pecahnya perang, perjanjian carter menjadi terhalang pelakanaanya dan belum dapat ditentukan kapan perjanjian dapat dilaksanakan, maka baik pencarter dan tercarter dapat mengakhiri perjanjian carter itu dengan cara memberitahukan masing – masing kepada lawannya. Yang di maksud Pada (Pasal 464)

6. Apabila kapalnya sedang ada di tengah lautan, memuat barang – barang atau orang – orang dalam hal sebagaimana di maksud dalam huruf 5 tersebut di atas, maka kapal di wajibkan menuju kepelabuhan terdekat dan aman (Pasal 465)

7. meskipun begitu, bila terjadi hal seperti di maksudkan dalam pasal 463 dan 464, sedangkan kapal dalam keadaan memuat barang – barang atau penumpang, maka uang carter tersebut harus di bayar sampai dengan hari di bongkarnya muatan atau diturunkan penumpangnya tersebut.

Demikianlah makalah tentang Perjanjian Carter Kapal di Indonesia disusun sebagai tugas mata kuliah Hukum Perikatan di Fakultas Hukum Universitas Batanghari.

Jambi, April 2011

PENULIS