Senin, 23 November 2009

KEKUASAAN DASAR PENEGAK HUKUM TERHADAP
HAK AZASI MANUSIA DI INDONESIA



1. Umum

Ham adalah merupakan hak yang dimiliki manusia yang paling azasi dan paling mendasar, dimana manusia memiliki kebebasan yang bersifat pokok dan tidak boleh untuk dikekang apalagi dihalang halangi, karena hak tersebut melekat dalam diri manusia yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati dan dihargai, dijunjung tinggi, serta dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan semua orang demi kehormatan dan perlindungan harkat martabat manusia.
Polri sebagai salah satu alat negara Penegak hukum, sudah barang pasti memiliki sebuah kekuasaan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, hal ini diartikan sebagai kekuasaan yang berkaitan dengan sebuah kewenangan, tugas pokok dan tanggung jawab terutama berkaitan dalam tindakan upaya paksa, oleh karena itu ada sebuah batasan dalam rangka kegiatan deimaksud dengan memperhatikan aspek Hak azasi manusia, sehingga apapun yang dilakukan Polri judulnya adalah Menghargai dan menghormati ketentuan yang bersifat azasi.
Disisi lain pada hakekatnya Polri sudah memiliki standart perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, beberapa payung hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar maupun acuan dalam menjunjung tinggi dan menegakkan HAM sudah ada, oleh karena itu segala tindakan kepolisian terutama yang berkaitan dalam penegakan hukum, lebih khusus lagi dalam pelaksanaan upaya paksa harus benar benar memperhatikan ketentuan tentang HAM, sehingga sekeras dan setegas apapun tindakan yang dilakukan Polri tidak menyimpang dari prosedur dan tindakan sesuai pentahapannya, namun disisi lain dan pada tempat tempat tertentu tindakan Polri belum seluruhnya mencerminkan dan memedomani ketentuan dalam Undang Undang yang mengatur tentang HAM

2. Permasalahan
Dengan melihat berbagai permasalahan tersebut diatas, dimana tugas tugas Polri sangat bersentuhan dengan aspek yang terkandung didalam perlindungan HAM, disisi lain Polri melaksanakan tugas Penegakan Hukum dengan maksud untuk melindungi Masayarakat, yang tentu saja akan melakukan berbagai upaya paksa, namun harus tetap memedomani kaidah kaidah dalam penegakan HAM, Berangkat dari kondisi tersebut diatas, maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut :
“ BAGAIMANAKAH PENERAPAN KEKUASAAN PENEGAK HUKUM (POLRI) TERHADAP PENEGAKAN HAK AZASI MANUSIA DI INDONESIA

3. Pembahasan Masalah
a. Prinsip prinsip dasar standart HAM dan DUHAM
Prinsip prinsip dasar tentang standar Hak Azasi Manusia meliputi : Perlindungan Minimal, Melekat pada manusia, Universal/berlaku umum, Tidak dapat dipisahkan, Kesetaraan, Tidak dapat dibagi, Fundamental, Tidak absolute (tidak selamanya mutlak), Kewajiban Negara.
Deklarasi Universal Hak azasi Manusia (DUHAM) adalah dokumen Internasional paling penting yang mengatur HAM, deklarasi ini merupakan upaya untuk menetapkan suatu standart umum yang wajib ditaati oleh semua bangsa di dunia, artinya hak dan martabat yang terkandung dalam DUHAM harus menjadi standar bagi semua bangsa dan setiap orang harus mencoba untuk mendapatkannya.

b. Kewenangan Polri
1) Setiap anggota Polri adalah Penyelidik dan memiliki kewenangan melakukan tindakan Penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindakan pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan tindakan penyidikan , adapaun kewenangan yang dimiliki adalah menerima laporan dan pengaduan , menerima keterangan dan Barang bukti, memberhentikan orang yang dicurigai serta menanyakan dan memeriksa identitasnya, serta melakukan tindakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Disisi lain atas perintah Penyidik Setiap anggota Polri dapat melakukan tindakan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang dan membawa orang tersebut kehadapan Penyidik.
2) Penyidik dan Penyidik Pembantu juga memiliki kewenangan agar tugas yang dilaksanakan dapat memenuhi kepastihan hukum yaitu : menerima laporan/pengaduan, menyuruh berhenti dan memeriksa identitas seseorang, mengambil sidik jari, menggeledah badan, menangkap orang, menahan sementara seseorang (kecuali penyidik Pembantu), memanggil sesorang untuk didengan keterangannya, mendatangkan ahli, menggeledah halaman rumah, gedung, alat transportasi, melakukan penyitaan sebagai barang bukti dan melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
3) Setiap kewenangan Polri selalu ada melaksanakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, hal tersebut dapat dilaksanakan dengan syarat yaitu : tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan, tindakan tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa serta menghormati HAM
4) Didalam penegakan Hukum di Indoensia faktor yang paling mendasar adalah adalah mengacu kepada Kemerdekaan Pribadi dari pada Individu serta kepentingan Masyarakat artinya bahwa disini ada sebuah jaminan penuh terhadap Kemerdekaan diri pribadi Individu, sehingga tidak mengenal adanya keberpihakan, karenanya didalam pemahaman Hukum di Indonesia selalu disertai dengan kata kata ” Barang siapa “
5) Sebagaimana terdapat pada Pasal 2 UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI diamanatkan bahwa fungsi kepolsian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara dibidang Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, Penegakan hukum, serta perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Selanjutnya dipertegas dalam pasal 19 UU No, 2 /2002 bahwa Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama,kesopanan,kesusilaan,serta menjunjung tinggi HAM
6) Kemandirian Polri dan Pemisahan Polri dari ABRI, relatif masih baru, perlu disadari bahwa perilaku Anggota Polri sekalipun sudah terlepas atau berpisah dari TNI belum sepenuhnya dapat menghapuskan aspek perilaku, mengingat satu hal yang sulit dalam sebuah proses kehidupan adalah adanya Cultural left ( budaya yang tertinggal ), namun bukan suatu alasan bagi Polri untuk menjadikan itu semua sebagai kendala dalam pelaksanaan tugas dilapangan, karena apapun Polri adalah manusia yang memiliki hati nurani, memiliki jiwa kemanusiaan, Polisi cinta kedamaian dll.
c. Upaya Upaya penegakan Hak Azasi Manusia di Indonesia serta penegakan hukumnya.
Hal yang harus di pahami dan dilaksanakan dalam penegakan hukum di Indonesia harus menyentuh aspek Penegakan HAM, serta sesuai dengan Standart Hak azasi Manusia, agar hal tersebut dapat terwujud, maka anggota Polri harus mampu bertindak dengan meningkatkan :
1) Peningkatan Profesionalisme
Profesionalisme mengandung maksud kemahiran dan kemampuan yang tinggi didukung oleh pengetahuan, sikap, ketrampilan dan kematangan emosional dalam melaksanakan tugas dibidang tugasnya sesuai dengan prinsip menghormati dan mentaati hukum, menghormati martabat manusia dan menghormati serta melindungi HAM, yang memenuhi 4 (empat) indicator yaitu Competence, connection, consistence dan commitment.
2) Sosialisasi dan evaluasi
Agar satuan atas secara terus menerus mensosialisasikan Standart Ham dengan memberikan Buku petunjuk dan Pedoman kepada seluruh anggota sekaligus dilaksanakan evaluasi sampai sejauh mana pemahamannya ( Test tulis ), hal ini diharapkan agar anggota dilapangan memiliki suatu pegangan yang bersifat mendasar sehingga penegakan yang dilakukan anggota dilapangan tidak bertentangan dengan tindakan yang menyimpang dari HAM
3) Latihan dan simulasi
Setelah anggota memahami dan mengetahui secara teoritis kemudian dicoba dilaksanakan kegiatan latihan yang bersifat praktek dalam bentuk simulasi unjuk rasa ataupun penanganan kasus kasus criminal, hal ini mengandung makna bahwa dengan latihan atau simulasi tergambar proses pelaksanaan tugas yang sebenarnya dilapangan, sehingga aplikasi dari bentuk pelatihan atau simulasi ini benar benar member nilai manfaat yang tinggi sekaligus merupakan acuan dalam pelaksanaan tugas.
4) Pengawasan dan Pengendalian
Setelah dilaksanakan latihan baik dalam bentuk teori maupun praktek maka perlu diberdayakan fungsi Kontrol atau supervisi terhadap pelaksanaan aplikasi dilapangan untuk melihat apakah kaidah kaidah yang berkaitan dalam penegakan hukum di Indonesia dapat menyentuh aspek yang terdapat dalam dalam standar HAM dan sudah sesuai dengan amanah yang tersurat dalam penegakan HAM, hal tersebut dapat dilakukan dengan pola Reward and Punishment.

4. P e n u t u p
a. Kesimpulan
HAM merupakan hak yang paling azasi dalam kehidupan umat manusia,karena itu hal hal yang berkaitan dengan kegiatan upaya Paksa dalam penegakan hukum ( Pemanggilan, Penangkapan, Penahanan ) harus benar benar diperhatikan, dan manakala harus ada upaya yang tidak sesuai dengan hak yang paling azasi, tetapi tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang ada.

b. saran
Agar penegakan HAM dalam penerapan penegakan hukum dijadikan sebuah Habit dan Behaviour dalam kehidupan Polri, sehingga dari waktu kewaktu Polri semakin dicintai Masyarakat.
Demikian tugas penegakan hukum yang berkaitan dengan Hak azasi Manusia ini dibuat dengan harapan ada sumbangsih dalam upaya pemahaman dalam menterjemahkan Standar Hak Azasi Manusia agar dalam pelaksanaan tugas sehari hari dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat.(by.ekobudi cah ganteng)
HUKUM KEPOLISIAN
By. Ekobudi cah ganteng

A. HUKUM KEPOLISIAN ARTI MATERIIL

Hukum kepolisian mempunyai dua pengertian yakni dalam arti materiil dan dalam arti formil. Hukum kepolisian materiil adalah hukum yang mengatur segala sesuatu mengenai kepolisian menyangkut tugas, wewenang dan tanggung jawab serta kedudukan di dalam masyarakat. Hukum kepolisian dalam arti formil atau dapat pula diartikan sebagai hukum administrasi kepolisian yakni hukum yang mengatur tentang tugas organ-organ kepolisian. Hal ini, dapat dilihat dari undang-undang tentang Kepolisian, Keputusan Presiden, Keputusan Kapolri yang mengatur tentang organisasi kepolisian. Di negara Inggris terdapat undang-undang yang disebut act of parliamen atau disebut pula police act yaitu undang-undang yang memberi wewenang kepada daerah otonom untuk membentuk organ kepolisian.
Di Belanda juga ada ketentuan kalau ada penduduk yang jumlahnya 20.000 orang ke atas, maka daerah otonom diberi wewenang untuk membentuk organ kepolisian.
Hukum kepolisian dalam arti materiil memberi penjelasan apa yang menjadi tugas dan wewenang kepolisian sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Sumber hukum kepolisian meliputi undang-undang, tradisi, yurisprudensi, ilmu pengetahuan, keputusan hakim, konvensi. Dengan demikian hukum kepolisian dalam arti materiil membahas mengenai polisi sebagai fungsi.
Fungsi diartikan sebagai sasaran atau tujuan, dapat pula diartikan sebagai tempat, dalam arti suatu keseluruhan pekerjaan. Pengertian lain bahwa fungsi merupakan paket dari kewajiban dan wewenang.
Dengan demikian pengertian fungsi dapat diartikan sebagai berikut: fungsi sebagai hubungan kerja; fungsi sebagai pengaruh yang di dalam pengertian hukum fungsional adalah pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat.
Pendapat Logemann yang dimaksud dengan fungsi adalah “sebagai suatu lingkungan pekerjaan tertentu (tetap) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara.” Dengan demikian setiap fungsi adalah lingkungan pekerjaan tertentu dalam hubungan dengan keseluruhan negara, yang merupakan lingkaran tugas dalam hubungan kesatuan dengan keseluruhan.
a. Obyek hukum kepolisian
Obyek studi hukum kepolisian, ialah menyangkut segala permasalahan yang berkaitan dengan fungsi atau tugas penyelamatan masyarakat atau warganegara, terhadap jiwa, harta bendanya. Oleh sebab itu, hakikat lembaga kepolisian diciptakan dan dibentuk sebagai suatu organisasi yang bersifat formal mempunyai tujuan yakni guna menciptakan rasa aman, tertib, tenteram, dalam suatu kehidupan sosial masyarakat.
Pengembangan suatu organisasi kepolisian modern terdapat beberapa hal yang bersifat substansial yang perlu mendapatkan perhatian, yakni perumusan tentang tugas lembaga kepolisian, wewenang yang melekat dan tanggung jawab kepolisian terhadap jiwa, harta benda masyarakat berdasarkan aturan hukum yang berlaku serta dilandasi dengan etika profesi hukum.
Pengertian keamanan erat sekali hubungannya dengan tugas kepolisian. Menurut Webster’s Dictionary (John Gage Allee, 1966 : 336) bahwa pengertian secure berarti “free from care, anziety, free from fear, safe, fixed, stable, in close custody, certain, confident.” Sedangkan istilah security diartikan sebagai being secure, protection, assurance, anything given as bond, caution, or pledge.
Berdasarkan paham tentang keamanan berdasarkan Doktrin Tata Tentrem Kerta Raharja’ maka pengertian aman mengandung empat unsur pokok, yakni
1. Security adalah perasaan bebas daripada gangguan baik fisik maupun psikis.
2. Surety adalah perasaan bebas dari kekhawatiran.
3. Safety adalah perasaan bebas dari risiko.
4. Peace adalah perasaan damai lahiriah dan batiniah.
Doktrin Operasional Kamtibmas, memberikan batasan istilah keamanan masyarakat dalam rangka operasi kamtibmas adalah suasana yang menciptakan individu manusia dan masyarakat suatu perasaan, sebagai berikut :
1. perasaan bebas dari gangguan baik fisik dan psikis
2. adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan, ketakutan,
3. perasaan dilindungi dari segala macam bahaya,
4. perasaan kedamaian, ketenteraman lahiriah dan batiniah.
Pengertian keamanan dan ketertiban masyarakat menurut Ketentuan Umum UU. No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, adalah: suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya keten-teraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Pengertian keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan, pengertian kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri.
Berdasarkan batasan pengertian di atas, maka hakekat keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suasana kehidupan masyarakat yang tertib, teratur, dan sejahtera dalam kehidupan yang sejahtera (welfare state) untuk mencapai kehidupan yang aman, adil dan makmur.
Kalau kita membicarakan Polisi sebagai penegak hukum yang dimaksud adalah hukum pidana. Bagaimana dengan tugas dibidang keamanan dan ketertiban. Dalam suatu yurisprudensi di Jerman bahwa dahulu Polisi menegakkan ketenteraman dilihat dari dalamnya (forum internum), karena ketenteraman sudah tercakup dalam keamanan dan ketertiban, yakni kondisi awal untuk menuju keamanan dan ketertiban.
Istilah keamanan umum adalah terlalu luas yang mencakup juga masalah keamanan negara. Untuk melaksanakan tugas ini maka tugas kepolisian diperlukan organ atau badan yang melaksanakan tugas kepolisian maka dapat diartikan dalam pengertian formal. Dalam pengertian materiil maka tugas kepolisian tersebut dalam arti fungsi
Wewenang memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum maka harus dipahami tentang istilah ketertiban dan keamanan. Pada tahun 1948 di Belanda dibentuk Komisi Von Meyer untuk membentuk Undang-undang Kepolisian Tahun 1957, merumuskan tentang arti ketertiban umum, yakni :
1.) harus mengatur kepentingan kolektiva,
2.) menerangkan bahaya ketenangan umum,
3.) bertindak secara tegas apabila ketertiban umum terganggu.
Menurut Von Meyer bahwa ketertiban umum adalah tingkat ketenangan yang normal. Dengan kata lain bahwa masalah ketenangan maka akan berbicara perasaan yang bersifat subyektif.
Berdasarkan Petunjuk Umum Pembinaan Tertib Masyarakat, dijelaskan bahwa tertib adalah: suatu istilah yang menunjukkan adanya suatu ketenteraman dalam masyarakat yang terjadi atau timbul karena kesadaran tiap-tiap orang individu sesuai sesuai dengan fungsi dan kewajibannya masing-masing sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan ketertiban adalah suatu istilah menunjukan suasana teratur yang terjadi atau timbul tidak dengan sendirinya tetapi karena diatur dan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan hukum dengan aparat pelaksana-pelaksananya.
Pengertian ketertiban umum yang berlaku di Jerman, yakni: bahwa perlindungan ketertiban umum menyangkut perlindungan norma-norma di luar hukum yang menurut pendapat umum yang berlaku merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan suatu masyarakat dan negara yang vital dan subur.
Dengan demikian, maka pengertian tersebut dapat disinonimkan sebagai berikut :
Keamanan umum keamanan masyarakat
Ketertiban umum Ketertiban masyarakat
Keamanan umum atau masyarakat adalah dibutuhkan untuk menjaga supaya perasaan menjadi aman. Dijaganya peraturan-peraturan hukum dan dilaksanakan dengan baik dan secara konsekuen maka orang akan takut melanggar hukum. Karena hukum itu mempunyai kekuatan atau daya paksa. Tertibnya hukum dalam arti dilaksanakan hukum secara penuh konsekwen maka akan menimbulkan rasa aman.
Dengan kata lain bahwa keamanan umum itu berarti sama dengan tertib hukum. Ketertiban umum dapat diartikan secara formil dan materiil. Ketertiban umum dalam formil adalah mencakup keutuhan norma-norma ketertiban yang tertulis. Ketertiban umum dalam arti materiil adalah mencakup keutuhan semua norma ketertiban baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Selain adanya norma-norma hukum juga terdapat norma-norma di luar norma hukum yakni norma agama, norma sosial, norma moral, dan sebagainya.
Norma-norma di luar norma hukum tersebut diperlukan secara mutlak bagi pertumbuhan masyarakat secara subur dan kalau norma di luar norma hukum itu tidak dilanggar maka terjadi tertib hukum dan akhirnya timbul ketertiban umum. Terdapat pula norma di luar norma hukum dilindungi menjadi norma hukum maka pada umumnya dinamakan norma ketertiban.
Di Indonesia norma-norma ketertiban tersebut tertulis dalam Buku Ke III KUHP tentang pelanggaran norma agama, norma susila, norma adat, yang tetap dipertahankan agar supaya masyarakat tetap aman.
Di bawah ini akan dijelaskan tentang lingkup hukum kepolisian dalam arti materiil yang meliputi aspek tugas, wewenang dan tanggungjawab kepolisian.
b. Tugas Kepolisian
Tugas Polisi secara substantif hanya mengurus masalah keamanan saja dengan tugas penolakan bahaya (gefahren abwehr), sebagaimana tercantum dalam perumusan Pasal 10 Institutiones Yuris Public Germaniciarti tentang Polisi, dinyatakan bahwa: Tugas Polisi adalah mengambil tindakan yang diperlukan untuk menegakan ketenteraman umum, keamanan umum, ketertiban umum, dan untuk menolak bahaya yang mengancam umum atau perorangan.
Di Negeri Belanda pada Tahun 1898 Van Vollen Hoven bahwa: Polisi merupakan bagian pemerintahan yang bukan eksekutif, dengan rumusan tugas Polisi sebagai berikut Tugas untuk mengawasi penduduk untuk melak-sanakan kewajibannya yang ditentukan oleh negara dan bilamana perlu dapat mengambil tindakan tanpa perantaraan hakim.
Pada Tahun 1929 Van Vollen Hoven menulis buku dengan judul Hukum Tata Negara di seberang lautan dan pembagiannya, yang pada intinya mengatur tentang pembagian kekuasaan pemerintahan menjadi empat bagian, yakni eksekutif, judikatif, legislatif dan politie.
Tugas Politie disebutkan, yakni :
1. mengawasi penduduk atau warganegara secara pasif dalam melaksanakan kewajibannya;
2. mencari secara aktif warganegara yang tidak menjalankan kewajibannya;
3. memaksa dengan perantaraan hakim;
4. harus mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan
Dari perumusan tugas tersebut, maka di negeri Belanda tugas politie adalah melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Pengertian politie tersebut selanjutnya berkembang di negara Indonesia sebagai akibat Pemerintah Belanda menjajah bangsa Indonesia. Di Indonesia pada waktu itu, sebenarnya sudah ada lembaga kepolisian yang dinamakan antara lain dengan istilah jaga baya yang bertugas sebagai penjaga segala bahaya atau menjaga keamanan.
Pada tahun 1931 di Jerman dikeluarkan Undang-undang Kepolisian dengan rumusan tugas polisi yakni atas dasar kewajiban untuk mengambil membendung bahaya secara insidentil yang mengancam keamanan dan ketertiban umum. Arti tugas polisi selalu berubah dari masa ke masa sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dalam suatu negara dan pemerintahan. Mr.J.Bool berpendapat bahwa :”die Politie strekt zich over de gehele staatszorg uit en vormt heirvan als het ware de afwerende, beschermende zijde.”
Menurut Mr.J.Bool, tugas kepolisian itu meliputi seluruh usaha negara dan merupakan bagian penolak dan perlindungannya. Sedangkan, menurut Mr.J.Kist bahwa tugas polisi adalah: bagian daripada kekuasaan eksekutif yang bertugas melindungi negara, alat-alat negara, kelancaran jalannya roda pemerintahan, rakyatnya dan hak-hak terhadap penyerangan dan bahaya dengan selalu waspada dengan pertolongan dan paksaan.
Mr.Dr.B.Gewin memberikan rumusan tugas Polisi yang lebih luas, yaitu : tugas polisi adalah bagian daripada tugas negara, perundang-undangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib, ketenteraman dan keamanan, menegakkan negara, menanam pengertian ketaatan dan patuh.” Sedangkan Charles Reith menyatakan bahwa: the functions of the British Police, as they defined to day at Scotland Yard are maintenance of order and the prevention, detection and prosecution of crime.
Dalam fungsi negara maka fungsi Kepolisian dapat digolongkan atas fungsi ketertiban, fungsi perlindungan dan fungsi pemeliharaan dan negara. Mac Iver menyatakan bahwa fungsi perlindungan tersebut berupa: Penyelenggaraan fungsi kepolisian menjamin hidup dan milik;
Penegakan dan perlindungan daripada kewenangan-kewenangan yang ditentukan menurut hukum; Menegakkan dan memaksakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ditentukan menurut hukum.
Berdasarkan ajaran catur praja dari van Vollen Hoven bahwa tugas eksekutif ada dua yaitu pertama, yang bersifat langsung ditujukan terhadap kemakmuran rakyat dan ini dinamakan tugas bestuur, sedangkan yang kedua adalah bersifat tidak langsung ditujukan ke arah itu, tetapi dengan jalan menjaga serta menjamin ketertiban dan keamanan agar dengan demikian tersedia kemungkinan untuk melakukan usaha yang ditujukan ke arah kemakmuran rakyat tadi.
Tugas yang kedua ini dinamakan tugas polisi, selanjutnya oleh van Vollen Hoven menyatakan bahwa: fungsi polisi itu menjalankan “preventieve rechtszorg” yaitu memaksa penduduk suatu wilayah mentaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya (preventief) supaya tata tertib masyarakat tetap terpelihara.
Sejak pertumbuhan organisasi kepolisian mulai abad sebelum masehi sampai pada pada abad modern, status dan peran organisasi kepolisian di seluruh dunia tidak terlepas dari perumusan tugas pokoknya sebagai pemelihara keamanan, ketertiban, dan ketentera-man masyarakat. Namun demikian beberapa pokok-pokok permasalahan, yang menjadi bahan perenungan ialah: bagaimana mekanisme pelaksanaan tugas Polri dalam penegakan keamanan dan ketertiban masyara-kat guna terciptanya tertib hukum dan tertib keamanan yang mencerminkan tegaknya aturan-aturan hukum guna memberikan perlindungan hak asasi manusia kepada masyarakat.
Di samping itu, faktor-faktor apakah yang mempengaruhi upaya penegakan hukum dan memberikan dampak pada aktualisasi perlindungan hak asasi manusia. Pokok permasalahan yang ingin dikemukakan di sini, adalah menyangkut perumusan fungsi dan wewenang kepolisian dihadapkan pada penerapan perlindungan hak asasi manusia.
Hak Asasi Manusia sebagai hak kodrati dan bersifat hakiki dari setiap manusia yang membutuhkan perlindungan akan rasa aman, bebas dari rasa ketakutan, bebas dari rasa kekhawatiran atau risiko, dan perasaan damai secara lahiriah dan batiniah. Pendekatan pemecahan masalah ini dengan pendekatan filsafat kepolisian, yakni polisi sebagai institusi pemerintahan tersebut maka dibutuhkan pola, metode dan tujuan yang ingin dicapai yakni menegakkan tertib hukum tanpa melanggar hak asasi manusia.
Perkembangan dalam sistem ketata negaraan di Indonesia mempengaruhi sistem perkembangan organisasi kepolisian nasional. Pada Tahun 1961 dikeluarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara, Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 2289.
Dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa Kepolisian Negara berwenang menjalankan tugas kepolisian tersebut di seluruh wilayah Republik Indonesia. UU Nomor 13 Tahun 1961 menetapkan tugas pokok Kepolisian Negara yakni sebagai alat negara penegak hukum guna menciptakan keamanan dalam negeri serta Kepolisian Negara dimasukkan sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata R.I. Kedudukan Polri sebagai ABRI diperkuat dengan lahirnya UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara.
Perkembangan politik di Indonesia sejak Tahun 1997 semakin cepat dan mempengaruhi di semua lini kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan hukum termasuk kedudukkan Polri sebagai bagian dari ABRI. Pada era reformasi di bidang hukum ini telah dikeluarkan beberapa produk hukum di antaranya Ketetapan MPR Nomor:X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara maka berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 maka Polri dipisahkan dari ABRI dalam rangka menuju Polri yang mandiri.
Polri mandiri ini menyangkut tiga aspek pokok yakni aspek tugas Polri, aspek wewenang kepolisian dan aspek tanggung jawab kepolisian sebagai alat negara penegak hukum dalam menciptakan keamanan di dalam negeri. Demikian pula sebagai landasan konstitusional tentang peran Polri dan Peran TNI telah ditetapkan pula Ketetapan MPR-RI Nomor VI/TAP/2000 dan Nomor VII/TAP/2000 telah merumuskan secara tegas tentang tugas Polri dan Tugas TNI, yang masing-masing langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000 bahwa hubungan dan tata cara kerja Lembaga Kepolisian dengan Lembaga/ Instansi Pemerintah lainnya, dalam hubungan dengan pelaksanaan tugas penegakan hukum, mengadakan koordinasi dengan instansi Kejaksaan Agung, sedangkan dalam tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah.
Sebagai tindak lanjut komitmen pemisahan organisasi Polri dengan organisasi TNI maka pemerintah secara politis, telah meng-undangkan dua undang-undang, yakni UU. No. 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara, dan UU No. 3 Tahun 2002, Tentang Pertahanan Negara. Dengan demikian, keberadaan kedua undang-undang tersebut bertujuan untuk memperjelas fungsi pemerintahan negara di bidang pembinaan keamanan di dalam negeri dan upaya pertahanan negara.
Fungsi kepolisian berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 telah dirumuskan secara tegas, yakni : fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.
Berdasarkan rumusan pasal tersebut maka jelas bahwa lingkup fungsi kepolisian adalah merupakan bagian dari tugas eksekutif di bidang penegakan hukum, maupun di bidang pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Adapun tugas Kepolisian Negara R.I., diatur dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002, yakni :
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum;
c. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas tersebut maka tugas kepolisian diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 2 Tahun 2002, yakni :
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli, terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swa karsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya ;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, dan laboratorium forensik serta psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara, sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada warga masyarakat sesuai dengan kepenti-ngannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tugas kepolisian itu ditujukan kepada semua orang dan golongan termasuk orang-orang yang berada di Indonesia dan tindakan kepolisian ini dapat bersifat nonyustisiil maupun yustisiil sebagaimana di atur dalam pasal–pasal KUHP di bawah ini.
a. Pasal 2 KUHP: Berlaku bagi setiap orang yang dalam wilayah Indonesia melakukan suatu perbuatan yang boleh dihukum.
b. Pasal 3 KUHP : Berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Indonesia yang melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
c. Pasal 4 KUHP: Berlaku bagi setiap orang yang melakukan kejahatan di luar Indonesia :
1) salah satu kejahatan yang diatur dalam Pasal 104,106,107,108,110,111 Bis 1e, 127 dan Pasal 131 KUHP
2) kejahatan terhadap mata uang, meterai dan merk yang dikeluarkan atau disuruh dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia.
3) Pemalsuan surat-surat hutang atau sertifikat hutang yang ditanggung Pemerintah Indonesia.
4) Salah satu kejahatan tersebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 447 dan Pasal 479.
d. Pasal 5 KUHP : Berlaku bagi WNI yang melakukan kejahatan di luar Indonesia :
1) salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan dalam Pasal-pasal : 160,161, 240,279, 450 dan Pasal 451.
2) Perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam UU Indonesia dan yang boleh dihukum menurut UU negara di mana tempat itu dilakukan.
e. Pasal 7 KUHP: Berlaku bagi Pegawai Negeri yang melakukan kejahatan di luar Indonesia, salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua.
f. Pasal 8 KUHP: Berlaku bagi nakhoda dan penumpang-penumpang kapal Indonesia yang ada di luar Indonesia juga termasuk waktu mereka sedang tidak ada di atas kapal, melakukan salah tindak pidana yang diterangkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX Buku Ketiga.
g. Pasal 9 KUHP: Pasal-pasal yang diberla-kukan tersebut di atas dikecualikan terhadap mereka yang dikenai hukum antar negara.
c. Wewenang Kepolisian
Wewenang diberikan agar supaya tindakan kepolisian itu dapat dibenarkan untuk melakukan suatu tindakan. Contoh: KUHAP mencantumkan adanya wewenang penyidikan, penangkapan, penahanan, penyitaan, dan sebagainya. Dalam negara hukum formal maka tindakan kepolisian harus dibenarkan secara harfiah atau eksplisit oleh suatu peraturan hukum.
Dalam hukum materiil akan berakibat adanya berkembangnya suatu negara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat (welfare state), dan hukum ditulis dengan kata-kata yang terbatas dan tidak bisa melakukan tindakan dari semua norma yang terjadi dalam masyarakat sehingga timbul hukum materiil dilihat dari tujuan hukum itu sendiri.
Wewenang punya ruang lingkup, ada beberapa ukuran di namakan di mensi atau matra, yakni:
a. matra wilayah, yaitu tidak hanya satu atau dua ruang saja umpamanya satuan wilayah, wawasan wilayah, wilayah teritor, dan sebagainya.
b. Diukur dari obyek, yaitu: manusia manakah yang dapat ditindak oleh kepolisian maka dinamakan dimensi personal atau matra insani.
c. Diukur dari permasalahan, yaitu : dinamakan matra masalah atau ihwal, masalah apa wewenang polisi yang dapat ditangani.
d. Diukur dari masalah waktu, yaitu kapan polisi bertindak, kapan keadaan dalam masyarakat harus diawasi secara terus menerus.
Wewenang kepolisian berdasarkan matra wilayah dapat dilihat dalam Pasal 17 UU No. 2 Tahun 2002, yakni: pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalan tugas dan wewenangnya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing tempat ia diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undang-an.
Sesuai dengan aturan hukum di atas yang mengatur tentang di mensi wilayah maka sampai di mana batas-batas wilayah tersebut. Berdasarkan Undang-undang Nomor 4/Prp/ 1960 tentang perairan Indonesia dalam Pasal 1 dijelaskan, bahwa Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia,
a. Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar 12 mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus atau garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis rendah daripada pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
b. Perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis dasar sebagai yang dimaksud pada ayat (2) butir b.
c. Mil laut adalah seper enam puluh derajat lintang.
Berdasarkan Ordonansi Tanggal 18 Agustus 1939 Stbl 1939 Nomor 442 di sebutkan bahwa lautan teritor Negara Republik Indonesia adalah daerah laut yang membujur ke laut sampai jarak tiga mil laut terhitung dari garis air surut dari pulau-pulau yang termasuk dalam daerah negara Republik Indonesia.
Dalam hukum internasional dikenal prinsip archipelago, dan prinsip ini juga diterapkan di Indonesia ternyata aksi dari negara luar tidak ada yang menentangnya maka dianggap mendapat persetujuan. Prinsip archipelago ini dikenal sejak Tahun 1924 di mana ada negara yang mengusulkan bilamana negara terdiri dari pulau-pulau agar menganut prinsip yaitu mengambil wilayah dengan menghubungkan titik terluar sehingga wilayahnya dikuasai sepenuhnya. Prinsip ini selanjutnya kita anut dan dinamakan Wawasan Nusantara.
Selain wilayah yang dikemukakan di atas dikenal juga apa yang dinamakan landas kontinen. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1973 bahwa landas/dasar laut diukur sampai ke dalaman 200 meter. UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang penetapan Zone Ekonomi Eksklusif maka kawasan laut diukur sepanjang 200 mil laut dan diukur dari garis pantai terluar pada waktu air surut. Sesuai UU Nomor 1 Tahun 1961 dan UU Nomor 4/Prp/1960 maka yang dianggap juga wilayah Indonesia adalah kapal berbendera Indonesia walaupun kapal tersebut berada di Luar Negeri termasuk pula Kedutaan Besar Indonesia di Luar Negeri. Penetapan ini merupakan penerapan azas eksteritorialitet.
Dengan adanya UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zone Ekonomi Eksklusif maka memperluas wilayah yurisdiksi nasional wilayah Indonesia sampai 200 mil laut. Dalam penjelasan Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dinyatakan bahwa: wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zone tambahan, landas kontinen dan zone ekonomi eksklusif, penyidikan dilakukan oleh Perwira TNI-AL dan pejabat lain yang ditentukan oleh undang-undang.
Wewenang kepolisian berdasarkan matra pesona atau matra insani, dalam Pasal 16 UU Nomor 2 Tahun 2002, maka penyelenggaran tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan ;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ;
h. mengadakan penghentian penyidikan ;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum ;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana ;
k. memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum ;
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Wewenang kepolisian berdasarkan matra masalah, maka permasalahan yang dapat ditangani dan menjadi wewenang kepolisian, adalah :
a. Dalam Pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 2002 ayat (1), yakni
1) menerima laporan dan pengaduan,
2) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengga-nggu ketertiban umum,
3) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
4) mengawasi aliran yang dapat menim-bulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,
5) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan adminis-tratif kepolisian;
6) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan,
7) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
9) mencari keterangan dan barang bukti;
10) menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional;
11) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat,
12) memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
13) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
b. Dalam Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2002, yakni
1) memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya,
2) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
3) memberikan surat ijin mengemudi kendaraan bermotor,
4) menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
5) memberikan ijin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
6) memberikan ijin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
7) memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian,
8) melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional,
9) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
10) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
11) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.


d. Asas-asas Hukum Kepolisian
Wewenang kepolisian tersebut merupakan persyaratan mutlak bagi organisasi kepolisian dalam melaksanakan fungsi kepolisian. Tidak semua masalah merupakan wewenang kepolisian, untuk hal ini maka dalam melaksanakan wewenang tersebut terdapat asas-asas dari wewenang kepolisian tersebut.
Beberapa sifat asas adalah bersifat umum, semakin tinggi tingkatannya semakin abstrak bentuknya, bersifat hakiki, dan sebagai sumber utama dalam menilai sesuatu. Kegunaan azas dipelajari, berguna untuk :
a. untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak hukum,
b. agar tidak berbuat melanggar atau melampaui batas wewenang,
c. untuk melaksanakan tugas sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.
Asas-asas wewenang kepolisian, adalah :
a. Asas legalitas adalah suatu asas yang memberikan wewenang bertindak secara sah, apabila dilaksanakan sesuai pada bunyi peraturan hukum. Jadi tindakan kepolisian didasarkan pada undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan di luar undang-undang dan peraturan perundang-undangan dianggap tidak sah.
b. Asas kewajiban adalah suatu asas yang memberi wewenang bertindak secara sah walaupun tidak secara harfiah didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan namun dilakukan berdasarkan kewajiban dalam pelaksanaan tugas, asal dalam lingkungan jabatannya.
Hal ini ada kaitannya dengan bunyi Pasal 212 KUHP bahwa: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan dan denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Asas kewajiban memberikan keabsahan terhadap suatu tindakan walaupun secara tidak harfiah didasarkan pada suatu peraturan namun didasarkan kewajiban asal dalam lingkup jabatan. Maka asas kewajiban dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa: pengadilan tidak boleh menolak atau mengadili perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak jelas, melainkan wajib mengadilinya.
Kalau aturan hukum kurang jelas maka KUHAP sendiri menentukan asas kewajiban bagi penyelidik maupun penyidik. Dalam Pasal 5, Pasal 7 KUHAP tentang tindakan lain. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf e dan Pasal 7 ayat (1) huruf c, bahwa tindakan lain dapat dilakukan dipersyaratkan
1) tidak bertentangan dengan asas peraturan hukum,
2) selaras dengan kewajiban hukum yang dilakukan dengan tindakan jabatan,
3) tindakan harus patut masuk akal dan termasuk lingkungan jabatan,
4) atas pertimbangan yang layak dalam keadaan memaksa,
5) menghormati hak-hak asasi manusia.
Di beberapa negara juga menganut asas-asas tersebut dan ada empat prinsip, yaitu :
1) bahwa tindakan itu harus diambil dalam keadaan pelanggaran yang terjadi atau obyektif,
2) bahwa tindakan ini masuk akal (rasional) tidak bisa didasarkan pada pertimbangan pribadi.
3) bahwa tindakan itu doelmatig atau mencapai sasaran dalam kata lain harus efektif.
4) menghormati hak asasi manusia harus seimbang dari berat kecilnya pelanggaran, berat ringannya obyek yang harus ditindak.
c. Asas opportunitas adalah suatu asas memberi kewenangan kepada polisi bisa tidak bertindak dalam melaksanakan kewajiban karena untuk kepentingan umum atau negara
Di Indonesia dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dalam Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 109 ayat (2) KUHAP tentang kewenangan dapat menghentikan penyidikan demi hukum untuk kepentingan umum atau kepentingan masyarakat.
Asas-asas kepolisian untuk melaksanakan wewenang kepolisian tersebut, dapat dibagi dalam dua golongan, yakni:
a. Asas legalitas yaitu setiap tindakan polisi harus didasarkan pada undang-undang atau peraturan perundang-undangan.
b. Asas plichmatigheid yaitu setiap tindakan polisi sudah dianggap sah berdasarkan atau bersumber kepada kekuasaan atau kewenangan umum.
Penerapan asas-asas kepolisian tersebut, didasarkan atas pendekatan dogmatik hukum, yang tercermin dalam rumusan tugas kepolisian.
Pentingnya pemahaman tentang suatu asas, dalam menyelenggarakan tugas dan wewenang kepolisian, berdasarkan pendapat Muladi (2002:49-54) terhadap asas-asas hukum pidana yang berwawasan hak-hak asasi, menyatakan bahwa berbagai kepentingan meliputi kepentingan negara, kepentingan masyarakat, kepentingan individu, baik ditinjau dari sudut kehidupan nasional maupun internasional maka usaha pembaharuan hukum pidana (materiil) nasional adalah berkaitan dengan usaha untuk menciptakan ketertiban negara dan ketertiban umum (public order). dan kepentingan individu dalam suatu keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Asas perimbangan kepentingan yang berwawasan Pancasila sebagai pengejawentahan asas hukum pidana nasional (AH PN), adalah letak pentingnya dari asas-asas hukum yang dari pelbagai pandangan pakar (Sudarto, Peters, De Langen, Wiarda dan Paul Scholten) didefinisikan sebagai mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
(1) Asas-asas hukum merupakan tendens-tendens yang dituntut oleh rasa susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan kita, yang secara langsung dan jelas menonjol;
(2) Asas-asas hukum merupakan ungkapan-ungkapan yang sangat umum sifatnya, yang bertumpu pada perasaan yang hidup di setiap orang;
(3) Asas hukum merupakan fikiran-fikiran yang memberi arah/pimpinan, yang menjadi dasar kepada tata hukum yang ada;
(4) Asas hukum dapat diketemukan dengan menonjolkan hal-hal yang sama dari peraturan yang berjauhan satu sama lain;
(5) Asas hukum merupakan sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang;
(6) Asas hukum dipositifkan baik dalam perundang-undangan maupun yurispru-densi;
(7) Asas hukum tidak bersifat transendental atau melampaui alam kenyataan yang dapat disaksikan oleh pancaindera;
(8) Artikulasi dan pembabaran asas-asas hukum tergantung dari kondisi-kondisi sosial sehingga bersifat openended multi interpretable dan Gesellschafts gebunden dan bukannya bersifat absolut seperti pandangan yuridis yang tradisional;
(9) Asas-asas hukum berkedudukan relatif otonom dan melandasi fungsi pengendalian masyarakat, penyelenggaraan ketertiban dan penanggulangan kejahatan;
(10) Asas hukum merupakan legitimasi dalam prosedur pembentukan, penemu-an dan pelaksanaan hukum;
(11) Asas hukum berkedudukkan lebih tinggi daripada undang-undang dan pejabat-pejabat resmi (penguasa), sehingga tidak merupakan keharusan untuk mengaturnya dalam hukum positif.
Dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum di atas harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Dalam konteks hukum pidana materiil, permasalahan akan berkisar pada tiga permasalahan pokok hukum pidana yakni perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi), pertanggung jawaban pidana (kesalahan) dan sanksi yang diancamkan, baik pidana maupun tindakan.
Tim RUU KUHP Nasional secara sadar mengadopsi aliran neoklassik dalam hukum pidana karena melihat kelemahan-kelemahan yang mendasar dari baik aliran klassik maupun aliran modern (aliran positif). Aliran klassik dengan pelbagai cirinya (al. doctrine of free will, punishment should fit the crime, legal definition of crime, determinate sentence, daadstrafrecht no empirical research, justice model, equal justice, pidana bersifat pembalasan) menunjukkan kelemahan yakni tidak memperhitungkan harkat dan martabat manusia dan terlalu mengutamakan kepen-tingan negara dan kepentingan umum.
Berdasarkan orientasi pada kebijakan sosial dalam menghadapi masalah kriminal atau kejahatan, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
a. Tujuan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penyegaran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kese-jahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk mencegah atau menanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materiil dan spirituil atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil.”
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemam-puan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Di samping itu, beberapa para sarjana hukum mengemukakan tentang tujuan hukum pidana, dalam hubungan dengan kebijakan kriminal, ialah:
a. untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie), maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie)
b. untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
c. untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara masyarakat dan penduduk, yakni :
1) untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna,
2) untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana,
e. Tanggung jawab kepolisian
Hubungan fungsi atau tugas kepolisian dengan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan-aturan hukum sebagai akibat kemajuan industrialisasi telah mengubah hubungan fungsi kepolisian dalam sistem sosial terhadap sistem hukum. Perubahan sosial lebih cepat dibanding dengan kemajuan hukum, dan menggambarkan hukum selalu tertatih-tatih tidak mampu menghadapi gerak dinamis masyarakat. Industrialisasi berpengaruh membentuk masyarakat modern.
Masyarakat modern lebih rasional diban-ding masyarakat tradisional, Hal ini memberikan efek terhadap hukum lebih kreatif dalam konteks perkembangan hukum dengan masyarakat. Oleh sebab itu, hukum harus lebih prospektif dan mampu melihat akar-akar masalah yang ada di masyarakat, hal ini disebabkan bahwa hukum positif selalu tidak realistik dalam melihat kondisi yang dihadapi masyarakat.
Polisi dalam melaksanakan tugas karena sifatnya dapat menggunakan paksaan. Adanya paksaan ini maka terdapat kecenderungan untuk melanggar hak-hak asasi manusia. Oleh sebab itu, diperlukan adanya peraturan-peraturan yang mengatur dan memberi kewenangan kepada Polisi untuk bertindak. Peraturan-peraturan itu akan dapat menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapatnya dilakukan paksaan oleh polisi.
Dengan mengingat bahwa hak-hak azasi manusia adalah merupakan hak-hak yang paling dasar dan harus dijunjung tinggi. Pejabat kepolisian dalam melakukan tindakan memaksa harus berdasarkan hukum maka perlu diadakan peraturan yang mengatur tentang pertanggungjawaban polisi dalam melaksanakan tugasnya.
Adapun pertanggungjawaban polisi dapat diketemukan dalam peraturan-peraturan yang tersebar dalam undang-undang, yang pada dasarnya dibagi dalam dua macam tanggung jawab, yakni :
a. Tanggung jawab pidana. Secara umum telah diatur dalam KUHP yang mengancam dengan hukuman kepada pegawai negeri yang menyalahgunakan kekuasaan/wewenang-nya. (Pasal 421, 422, 426, 427 dan Pasal 429 KUHP).
Berdasarkan UU No.2 Tahun 2002 Untuk anggota Polri diberlakukan tanggung jawab di atas dengan diterapkan KUHP Umum. Sebelumnya berdasarkan Penetapan Presiden No.3 Tahun 1965 jo. Penetapan Presiden No. 23 Tahun 1965, jo. UU No. 5 Tahun 1969 diberlakukan KUHP Militer.
b. Tanggung jawab perdata, yaitu tanggung jawab karena penyalahgunaan tugas/ wewenang sehingga mengakibat-kan penderitaan bagi pihak ketiga, baik mengenai jiwa maupun hartanya.
Karena tugas kepolisian itu didasarkan pada azas kewajiban untuk bertindak walaupun tindakan itu tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan maka memberikan kebebasan untuk bertindak (diskresi), namun demikian ada pembatasan. Bilamana anggota kepolisian bertindak melampaui batas kewenangan, maka perbuatan itu harus dipertanggungjawabkan secara hukum, antara lain :
a. perbuatan melanggar ketentuan pidana atau di luar ketentuan pidana misalnya: dalam bertugas melepaskan tembakan mengenai orang. Maka petugas kepolisian tersebut dikenakan tanggung jawab pidana.
b. petugas kepolisian tidak melanggar ketentuan pidana tetapi merugikan orang lain. Dalam KUH Perdata Pasal 1365 diterangkan bahwa barangsiapa tindakannya merugikan orang lain, diharuskan membayar ganti rugi. Ini dinamakan tanggung jawab perdata.
c. petugas kepolisian tidak melanggar peraturan pidana dan juga tidak merugikan orang lain, tetapi melanggar peraturan dinas, maka dijatuhkan sanksi administratif. Ini merupakan tanggung jawab administratif.
d. di samping itu, terhadap pelanggaran disiplin yang tidak murni, maka pimpinan kesatuan mempunyai wewenang sebagai atasan yang berhak menghukum (ankum) dapat menghukum badan kepada petugas kepolisian yang melakukan pelanggaran disiplin. Ini dapat dikatagorikan sebagai tanggung jawab pidana dan tanggung jawab administratif.
Momo Kelana (1998:90-91) merumuskan tanggung jawab hukum pejabat Polri bahwa berdasarkan Pasal 27 (1) UUD 1945 sebagai warganegara dan sebagai prajurit polri bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan warga negara lainnya.
Bentuk pertanggungjawaban hukum dari setiap tindakan pejabat kepolisian di dalam rangka wewenang hukum dan tindakan itu melampaui wewenang hukum maka dianggap sebagai tindakan perseorangan secara pribadi yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Bentuk pertanggung jawaban hukum itu, ialah :
a. pertanggungjawaban secara hukum disiplin,
b. pertanggungjawaban secara hukum perdata,
c. pertanggungjawaban secara hukum tata usaha negara,
d. pertanggungjawaban secara hukum pidana.
Kode Etik Kepolisian
Kode etik kepolisian diperlukan karena berkaitan erat dengan profesi kepolisian sebagai pengabdi di bidang hukum. Pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian yang berkaitan erat dengan hak dan kewajiban setiap warganegara memerlukan kecakapan teknis yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan serta pengalaman. Hal tersebut merupakan landasan bagi profesi kepolisian, karena :
a. berkait dengan jaminan hak dan kewajiban setiap warga negara yang lebih berorientasi kepada kepentingan umum
b. harus ada jaminan obyektivitas pelaksanaan tugas yang terkait dengan kepastian dan keadilan hukum ;
c. dibatasi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga memerlukan kemahiran dan penguasaan hukum
d. adanya pengawasan ketat atas perilaku pribadi melalui kode-kode etik.
Fenomena ini penting untuk diadakan penelitian guna mengetahui pemahaman terhadap perlindungan hak asasi manusia. Berkaitan dengan tugas menciptakan keamanan dan ketertiban salah satu upayanya adalah dengan menegakkan aturan hukum yang berlaku. Sebagai institusi lembaga penegakan hukum, maka diperlukan suatu etika profesi hukum yang melandasi tugas kepolisian tersebut.
Pengertian etika menurut pendapat Abdulkadir Muhammad (1997:13) yang mengambil pendapat Barten bahwa etika nerasal dari bahasa Yunani kuno ethos yang berarti kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Istilah etika menurut seorang filosuf Yunani Aristoteles sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral, maka etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Selanjutnya, Abdulkadir Muhammad (1997:14) menyatakan terdapat tiga arti etika, yakni :
(1) etika dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi sesorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkat lakunya. Arti ini disebut juga sebagai sistem nilai dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat.
(2) etika dipakai dalam arti kumpulan azas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik.
(3) Etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti etika di sini sama dengan filsafat moral.
Dihubungkan dengan etika profesi kepolisian maka pengertiannya dapat digolongkan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan petugas kepolisian baik secara individu maupun organisasi. Di samping itu, etika profesi kepolisian merupakan kumpulan azas atau nilai moral, sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban serta pelayan masyarakat.
Sedangkan menurut Sumaryono (1995:12) bahwa etika berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Etika berkembang juga menjadi suatu studi tentang kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.
Penyelenggaraan fungsi kepolisian senantiasa berhubungan dengan perlindungan hak asasi manusia maka setiap pengemban fungsi tersebut dibutuhkan adanya pemahaman terhadap hukum sehingga pengabdiannya tidak bersifat amatir, tetapi lebih mengarah kepada profesionalisme. Profesi hukum ini lebih berorientasi kepada membela kepentingan masyarakat pencari keadilan. Pentingnya perlindungan hak asasi manusia, hal ini bersentuhan dengan tugas polisi selaku aparat keamanan yang secara normatif berkaitan dengan tugas sebagai penegak penertiban dan penegak hukum. Di samping itu, Polisi dibebani melaksanakan tugas berkaitan dengan fungsi peradilan pidana yakni selaku penyelidik dan penyidik.
Dalam hal penggunaan wewenang kepolisian untuk melaksanakan tugas kepolisian dan bersentuhan langsung dengan hak asasi individu warga negara, sehubungan dengan telah dikeluarkannya Deklarasi PBB oleh Majelis Umum PBB tentang Hak Asasi Manusia pada Tanggal 10 Desember 1948, maka harus dipahami pemahaman terhadap pengakuan hak-hak dasar manusia yang bersifat kodrati maupun hak sebagai warga negara.
Pertimbangan deklarasi tersebut adalah pengakuan atas martabat dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua manusia atas dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. Suatu cita-cita masyarakat untuk menikmati kebebasan dan terhindar dari rasa ketakutan sehingga tindakan yang menganggap rendah hak-hak manusia telah menimbulkan tindakan yang tidak bermoral dan manusiawi.
Dalam rangka mewujudkan hak-hak dasar manusia serta menegakkan martabat dan nilai-nilai seorang manusia untuk kemajuan sosial dan taraf hidup yang lebih baik, maka hak-hak asasi manusia berkaitan dengan penegakan hukum antara lain :
1. Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu (Pasal 3)
2. Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, atau dihukum, secara tidak manusiawi, atau dihina.(Pasal 5)
3. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada. (Pasal 6)
4. Semua sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam itu. (Pasal 7 )
5. Tak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang (Pasal 9)
6. Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu pelanggaran hukum dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, dan memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya (Pasal 11 ayat 1)
7. Tidak seorangpun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran hukum menurut UU nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran hukum itu dilakukan. (Pasal 11 ayat 2)
8. Tidak seorangpun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat-menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak boleh melakukan pelanggaran terhadap kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti itu. (Pasal 12)
Berdasarkan prinsip-prinsip dasar tersebut, maka pembinaan dan pengembangan profesi kepolisian, dilakukan dengan penguasaan ilmu dan teknologi kepolisian sebagai basis akademis dan profesi, demikian juga pengembangan sistem pembinaan kemampuan teknis dan keterampilan serta pembinaan terhadap organisasi profesi kepolisian.
Pembinaan kode etik kepolisian di atur dalam Pasal 34 UU Nomor 2 Tahun 2002:
(1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara R.I. terikat pada kode etik profesi Kepolisian Negara R.I.
(2) Kode etik profesi Kepolisian Negara R.I. juga menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai kode etik profesi kepolisian negara R.I. diatur dengan Keputusan Kepala Kepolisian R.I.
Dalam penegakan hukum yang bersifat demokratis, menurut Muladi (2002:23) maka sebagai indikator kinerjanya ialah:
1) adanya prinsip keterbukaan informasi serta aturan-aturan yang mengatur tentang kebebasan informasi (freedom of informa-tion act) termasuk aturan pengecualian sepanjang berkaitan masalah keamanan nasional, catatan penegak hukum, dan sebagainya.
2) adanya jaminan ketaatan penguasa terhadap prinsip kedaulatan hukum atas dasar prinsip “equality before the law”
3) ditegakkannya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab
4) adanya jaminan yang luas bagi warga negara untuk memperoleh keadilan (access to justice).
5) diperlukan perundang-undangan yang demokratis dan aspiratif.
6) adanya sarana dan prasarana yang memadai.
Menurut Muladi (2002:26) hak masyarakat dalam konteks penyelenggaraan negara (termasuk pula pelayanan oleh kepolisian), berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1999, mengandung hak-hak dan kewajiban sebagai berikut:
1) Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara,
2) Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara,
3) Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggaraan negara,
4) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal ini melaksanakan haknya dan apabila hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mentaati norma agama, dan norma sosial lainnya.
5) Kesadaran hukum masyarakat dan para penegak hukum dalam semangat yang interaktif antara kesadaran hukum, persepsi keadilan.
Di samping itu, dalam hal penggunaan kekerasan dan senjata api berdasarkan prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh para pejabat penegak hukum, telah disahkan oleh konggres kedelapan PBB tentang pencegahan kejahatan dan perilaku terhadap tertuduh di Havana, Kuba pada Tanggal 27 Agustus – 7 September 1990. Konsiderans dari prinsip-prinsip di atas, antara lain :
a. Tugas pejabat penegak hukum merupakan suatu pelayanan masyarakat yang amat penting dan oleh karenanya itu ada kebutuhan untuk memelihara dan apabila itu perlu meningkatkan kondisi kerja dan status pejabat itu.
b. Ancaman terhadap kehidupan dan keamanan para pejabat penegak hukum harus dilihat sebagai suatu ancaman kepada stabilitas masyarakat secara keseluruhan.
c. Peraturan standar minimum untuk perlakuan terhadap nara pidana menciptakan keadaan-keadaan, di mana para petugas penjara mungkin meng-gunakan kekerasan dalam melakukan tugas mereka.
d. Pasal 3 Kode etik para pejabat penegak hukum menetapkan bahwa para pejabat penegak hukum dapat menggunakan kekerasan hanya apabila sangat perlu dan sejauh dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas mereka.
e. Konggres ketujuh dalam Resolusi 14, antara lain menekankan bahwa penggunaan kekerasan dan senjata api oleh para pejabat penegak hukum harus sepadan dengan penghormatan tentang hak-hak azasi manusia.
f. Dewan Ekonomi dan Sosial dalam Resolusi 1986/10, seksi IX, Tanggal 21 Mei 1986, mengundang negara-negara anggota untuk memberikan perhatian khusus dalam pelaksanaan Kode Etik terhadap penggunaan kekerasan dan senjata api oleh para pejabat penegak hukum dan Majelis Umum dalam Resolusi 41/149 Tanggal 4 Desember 1986, antara lain menyambut baik rekomendasi yang disampaikan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial ini.
g. Adalah tepat bahwa keselamatan pribadi mereka, pertimbangan harus diberikan kepada peranan para pejabat penegak hukum dalam hubungan dengan pelaksanaan keadilan dengan perlindungan terhadap hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan perorangan dengan tanggung jawab mereka untuk memelihara keamanan masyarakat dan ketertiban sosial dan dengan pentingnya kualifikasi, pelatihan dan perilaku mereka.
Pengembangan dan penggunaan senjata api mempunyai tujuan untuk melumpuhkan bukan mematikan sehingga penggunaannya harus dikendalikan secara hati-hati.
Diharapkan para pejabat penegak hukum sejauh mungkin dalam melaksanakan tugas menggunakan cara-cara tanpa kekerasan dan penggunaan kekerasan dengan senjata api dipersyaratkan kalau sarana-sarana lain tetap tidak efektif atau kemungkinan tujuan yang diinginkan tidak tercapai.
Dalam ketentuan umum tentang prinsip-prinsip dasar di atas bahwa penggunaan kekerasan dan senjata api secara sewenang-wenang atau tidak tepat oleh para pejabat penegak hukum akan dihukum sebagai suatu pelanggaran pidana berdasarkan hukum berlaku. Ketentuan khusus tentang penggunaan kekerasan dengan senjata api, antara lain :
a. Para pejabat penegak hukum tidak akan menggunakan senjata api terhadap seseorang, kecuali dalam usaha membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka parah segera terjadi.
b. Untuk mencegah dilakukannya suatu tindakan kejahatan yang sangat serius yang menyangkut ancaman besar terhadap kehidupan untuk mencegah pelaku tindak kejahatan melarikan diri dan hanya apabila cara yang kurang ekstrim tidak cukup untuk mencapai tujuan-tujuan ini.
c. Dalam hal penggunaan senjata api yang mematikan secara sengaja hanya boleh dilakukan apabila keadaan sama sekali tidak dapat dihindarkan untuk melindungi jiwa.
d. Dalam penggunaan senjata api para pejabat penegak hukum mempunyai keharusan, yakni :
1) memperkenalkan diri,
2) memberi peringatan secara jelas mengenai maksud penggunaan senjata api,
3) memberi waktu cukup bagi peringatan itu untuk ditaati,
4) menempatkan pejabat penegak hukum dalam kedudukan berisiko menimbulkan kematian atau kerugian bagi orang-orang lain atau jelas-jelas tidak tepat atau tidak ada artinya dalam keadaan kejadian tersebut.
e) Penggunaan kekerasan dan senjata api yang bertujuan untuk menjaga ketertiban perhimpunan yang tidak sah (organisasi politik dan lembaga pemasyarakatan) harus memenuhi prinsip-prinsip, yaitu :
1) dalam pembubaran perhimpunan yang tidak sah maupun non kekerasan, para pejabat penegak hukum harus menghindari penggunaan kekerasan atau harus membatasi kekerasan tersebut sekecil mungkin yang diperlukan,
2) dalam pembubaran perhimpunan yang keras, pejabat penegak hukum dan penggunaan senjata api hanya apabila sarana-sarana yang kurang berbahaya tidak dapat digunakan dan hanya sebatas minimum yang diperlukan,
3) para pejabat penegak hukum tidak akan menggunakan senjata api dalam kasus-kasus semacam itu kecuali dalam kondisi untuk usaha pembelaan diri, membela orang-orang lain terhadap ancaman kematian atau luka parah yang segera terjadi, mencegah pelaku kejahatan melarikan diri atau cara-cara yang kurang ekstrim tidak cukup untuk mencapai tujuan-tujuan ini.
e. Penggunaan kekerasan dan senjata api terhadap orang-orang yang ditahan, harus memenuhi prinsip-prinsip, yaitu :
1) para pejabat penegak hukum tidak akan menggunakan kekerasan apabila sangat perlu untuk memelihara keamanan dan ketertiban,
2) untuk membela diri atau membela orang-orang lain terhadap ancaman kematian atau luka berat yang mendesak, untuk mencegah larinya tahanan.
f. Prosedur penggunaan kekerasan dan senjata api, yakni :
1) pejabat atasan bertanggung jawab terhadap para petugas penegak hukum di bawah komandonya, tengah melakukan atau telah melakukan penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api secara tidak sah,
2) tidak ada sanksi pidana atau disiplin dikenakan terhadap para petugas penegak hukum sesuai kode etik pejabat penegak hukum dan prinsip-prinsip dasar ini menolak menjalankan perintah untuk menggunakan kekerasan dan senjata api.
3) Kepatuhan kepada perintah atasan bukan merupakan pembelaan, kalau pejabat penegak hukum mengetahui bahwa perintah tersebut mengakibatkan kematian atau luka parah yang nyata-nyata tindakan tersebut tidak sah atau mempunyai kesempatan yang cukup untuk menolak mengikuti perintah tersebut.
4) Tanggung jawab terhadap penggunaan tindakan kekerasan dan senjata api terletak pada atasan yang memberi perintah tidak sah tersebut.
Aspek moral polisi sebagai penegak hukum, dalam hubungan antara moral dengan penegakan hukum adalah menentukan suatu keberhasilan dalam penegakan hukum, sebagaimana diharapkan oleh tujuan hukum. Stephen Palmquis (2000: 296-297) yang mengambil pandangan dari Imamnuel Kant, menyatakan bahwa tindakan moral ialah kebebasan.
Kebebasan sebagai satu-satunya fakta pemberian akal praktis yang berkesesuaian, berdasarkan kebenaran sehingga dapat menjalankan kebaikan. Dengan mengambil sudut praktis, pada sudut pandang aktualnya menerobos tapal batas ruang dan waktu (kemampuan inderawi) dan menggantikannya dengan kebebasan. Kebebasan ini tidak berarti dalam arti sebebas-bebasnya namun harus berkesesuaian, sehingga dalam benak di kepala dapat mengetahui kebenaran, yang kemudian tercermin pembatasan diri untuk dapat menjalankan kebaikan.
Semua kaidah harus sesuai dengan hukum moral yang menciptakan suatu tuntutan yang tak bersyarat. Kewajiban adalah perintah mengandung kebenaran. Menurut Kant kewajiban adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan hukum moral, dalam rangka ketaatan terhadap hati nurani manusia, daripada hanya mengikuti nafsu.
Rumusan Immanuel Kant terhadap tindakan moral (imperatif kategoris) ada tiga kriteria yang mensyaratkan (2000: 297) , yakni:
a. bahwa suatu tindakan adalah moral hanya jika kaidahnya bisa disemestakan (kaidah sebagai hukum universal)
b. menghargai pribadi orang, yang bertindak sedemikian rupa, sehingga memperlakukan manusia sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai alat belaka.
c. Kaidah itu harus otonom. Kaidah moral harus selaras, dengan penentuan kehendak hukum yang universal.
Filsafat moral menurut Immanuel Kant (2000:299), yakni suatu tindakan bisa secara moral baik atau buruk hanya jika dilakukan secara bebas, dan berasal dari penghargaan terhadap hukum moral, bukan dari keinginan untuk memenuhi hasrat akan kebahagiaan. Supaya moralitas benar-benar rasional, maka tindakan moral harus mampu memenuhi tujuannya untuk menuju kebaikan tertinggi (summum bonum) atau kaum Stoik menyatakan dengan keluhuran budi (virtue) bahwa kehidupan yang berbudi luhur perlu dicari tanpa mempedulikan kebahagiaan.
Pada dasarnya Kant memberikan argumen bahwa setiap orang yang bertindak secara moral dan beriman kepada rasionalitas dan harus beriman kepada Tuhan, kalau tidak pasti menolak salah satu proposisi berikut ini: (1) tindakan moral adalah baik; (2) moralitas adalah rasional; (3) kebaikan tertinggi (summum bonum) adalah menggabungkan keluhuran budi dengan kebahagiaan proporsional.
Filsafat moral Kant memberikan beberapa kontribusi penting untuk menarik garis tapal batas yang tegas antara tindakan moral dan nonmoral. Suatu tindakan bersifat moral hanya jika dilakukan secara bebas tanpa bergantung pada kebahagiaan dan sesuai dengan hukum moral (didasarkan pada kaidah yang bisa disemestakan).
Hal ini, semuanya merupakan syarat yang perlu dan pasti bagi siapa saja yang hendak bertindak secara moral, sehingga kondisi-kondisi itu akan menentukan perangkat sebagai pedoman mutlak bagi motivasi batiniah sesuai ruang, waktu, dan kategori-kategori yang menentukan perangkat pedoman yang mutlak untuk memahami dunia luar.
Aspek moral dan etika dalam penegakan hukum pidana menurut Muladi (2003:1-4) merupakan sesuatu hal yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana. Kondisi distorsi dan penyimpangan dalam penegakan hukum pidana, dalam praktek sehari-hari sering terjadi proses penanganan perkara pidana sering tidak sesuai dengan idealisme keadilan.
Pada hal sistem peradilan pidana harus selalu mempromosikan kepentingan hukum dan keadilan. Elemen dasar dari penegakan hukum pidana seharusnya merupakan proses penemuan fakta, yang tidak memihak (impartial) dan penuh dengan resolusi atau pemecahan masalah yang harus dilakukan secara adil (fair), dan patut (equitable). Apapun teori keadilan yang dipakai, definisi keadilan harus mencakup kejujuran (fairness), tidak memihak (impartiality), dan pemberian sanksi dan hadiah yang patut (appropriate reward and punishment).
Keadilan harus dibedakan dari kebajikan (benevolence), kedermawanan (generosity), rasa terima kasih (gratitude), dan perasaan kasihan (compassion). Morals dan morality menunjuk pada apa yang dinilai dan dipertimbangkan sebagai good conduct.
Istilah moral digunakan untuk menggam-barkan seseorang yang mempunyai kapasitas untuk menilai dan melihat (discern) hal yang benar (right) dari hal yang salah (wrong). Ethics menunjuk pada studi dan analisa tentang apa yang merupakan perilaku yang baik dan yang buruk. Penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika, hal ini didasarkan atas empat alasan, yakni:
a. sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan paksaan, atau kekerasan (coercion), dengan kemungkinan terjadinya kesempatan untuk menyalah-gunakan kekuasaan (abuse of power);
b. hampir semua profesional dalam penegakan hukum pidana merupakan pegawai pemerintah (public servant) yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani;
c. Bagi setiap orang, etika dapat digunakan sebagai alat guna membantu memecahkan dilema etis yang dihadapi seseorang di dalam kehidupan profesionalnya (enlightened moral judge ment);
d. Dalam kehidupan profesi sering dikatakan bahwa “a set of ethical requirements are as part of its meaning.”
Masalah etika dan moralitas secara umum diperlukan syrat-syarat secara minimal harus mencakup keberadaan korban (victimizin), memperoleh dukungan publik, dan tidak bersifat ad hoc, memperhitungkan analisa biaya dan hasil, bersifat ultimum remedium, tidak menimbulkan over criminalization, harus enforceable, mengandung unsur subsocialitaeit (membahayakan masyarakat) dan memperhatikan HAM.
Muladi (2003: 19-20) selanjutnya men-yimpulkan bahwa seorang ethical leader harus memenuhi standar yang berlaku dengan karakteristik, sebagai berikut:
a. responsibility and accountability, yang mengandung kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan;
b. commitment, penuh dedikasi terhadap peranan organisasi dan penuh komitmen terhadap hukum, kode, regulasi dan standar perilaku profesional;
c. responsiveness, peka dan fleksibel terhadap situasi yang berobah dan ke-butuhan serta permintaan dari masyarakat;
d. knowledge and skill, mampu untuk menyelesaikan misi organisasi atas dasar perkembangan sain dan teknologi yang khususnya dalam menafsirkan data yang relevan;
e. conflict of interest, peka terhadap konflik kepentingan yang selalu terjadi perbenturan antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan organisasional;
f. professional ethicts, harus selalu melakukan refleksi diri dan memeriksa apakah keputusannya bertentangan dengan standar etika.
Faktor Moral menurut Bagir Manan (2001), bahwa peran penegak hukum (hakim, jaksa, polisi) dalam era reformasi ini harus mempunyai sifat-sifat transparansi dan akses publik, akuntabilitas publik, profesionalisme, integritas dan responsif. Bagir Manan, lebih jauh menyatakan bahwa suatu putusan pejabat penegak hukum (hakim) akan bermutu, hal ini tergantung pada tujuh hal, yakni:
1) pengetahuan penegak hukum (hakim) yang mencakup tentang pemahaman kosep keadilan dan kebenaran;
2) integritas hakim, jaksa, polisi, yang meliputi nilai-nilai kejujuran dan harus dapat dipercaya;
3) independensi kekuasaan kehakiman, kejaksaan, kepolisian, yang bebas dari pengaruh dari pihak-pihak berperkara maupun tekanan publik;
4) tatanan politik, tatanan sosial, hukum sebagai alat kekuasaan maka hukum sebagai persyaratan tatanan politik dan hukum mempunyai kekuatan moral;
5) fasilitas di lingkungan badan peradilan, kejaksaan, dan kepolisian, yang harus memadai dan layak;
6) sistem kerja yang berkaitan dengan sistem manajemen lainnya, termasuk fungsi pengawasan dari masyarakat untuk menghindari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, kejaksaan, dan kepolisian di daerah;
7) kondisi aturan hukum di dalam aturan hukum formil dan materiil masih mengandung kelemahan.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, disimpulkan bahwa menyangkut tugas, dan wewenang polisi dalam hubungan dengan sejarah perkembangan pemerintahan di Indonesia, terlihat bahwa tugas dan wewenang polisi adalah sebagai alat penguasa/ pemerintah. Dasar teori yang dikembangkan oleh Mr.C. van Vollenhoven (Soewarno Handayaningrat,1991:11), yang disebut catur parja atau pemisahan empat kekuasaan (viermachtenscheiding), meliputi:
a. kekuasaan pengaturan (regeling);
b. pemerintahan (bestuur);
c. peradilan (rechtspraak); dan
d. polisi (politie)
Pemerintahan dalam catur praja ini tidak termasuk dalam lingkungan kekuasaan regeling, peradilan dan polisi. Pengertian polisi di sini ialah pemeliharaan keamanan dan ketertiban yang merupakan salah satu kekuasaan pemerintahan.
Sejarah ketatanegaraan di Indonesia, yang diawali selama masa revolusi phisik sampai pada masa kembalinya kedaulatan RI, tugas polisi tidak hanya sebatas pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi ikut berperang yang mengabaikan prinsip dasar sebagai noncombattan. Dalam masa penumpasan pemberontakan bersenjata oleh kaum separatis, tugas polisi juga ikut terlibat dalam tugas-tugas angkatan perang. Oleh sebab itu, dalam UU No. 13 Tahun 1961, polisi adalah sebagai alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri, dan sejak saat itulah kepolisian negara adalah angkatan bersenjata.
Reformasi hukum di Indonesia, telah mengembalikan fungsi kepolisian negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

B. HUKUM KEPOLISIAN DALAM ARTI FORMIL

Hukum kepolisian formil atau dapat pula disebut sebagai hukum administrasi kepolisian. Sebagaimana diketahui bahwa fungsi kepolisian merupakan salah satu bagian dari fungsi pemerintahan, dengan demikian maka hukum administrasi kepolisian merupakan bagian dari hukum administrasi negara. Hubungan antara kekuasaan pemerintahan dengan administrasi negara, menurut Soewarno Handayaningrat (1991:10) yang mengambil pandangan Djokosutono bahwa kekuasaan pemerintahan dibagi dalam dua kekuasaan yaitu politik dan administrasi (politics and administration). Kekuasaan pemerintah atas politik artinya memberikan tugas-tugas kepada organ-organ tertentu daripada pemerintahan, tugas-tugas politik serta pengawasan kebijaksanaan. Sedangkan kekuasaan pemerintah atas administrasi artinya menyediakan bagi organ-organ lainnya tugas kewajiban keahlian mengenai pelaksa-naan daripada kebijaksanaan.
Konsep kekuasaan pemerintah atas politik dan administrasi itu, dikemukakan pula oleh Woodrow Wilson dan Frank J.Goodnow. Konsepsi Wilson dan Goodnow identik dengan pendapat Mr.AM. Donner, yang membagi kekuasaan pemerintah itu, atas politik dan pemerintahan (politiek en bestuur), yang dikemukakan dalam bukunya Nederlands Bestuursrecht, Algemeen Deel (1953), yang disebutnya taakstelling en taakverwerkelijking. Konsepsi dwipraja ini juga sama dengan pendapat Hans Kelsen, dalam bukunya Algemeine Staatslehre dalam arti politik sebagai etik (politiek als ethik) dan politik sebagai teknik (politiek als technik).
Pendapat FJ. Goodnow, AM. Donner dan Hans Kelsen di atas, maka dapat ditarik pengertiannya adalah: politics atau (taakstelling, politiek als ethik) artinya menetapkan haluan negara (staatsdoeleinden) yakni menyatakan kehendak negara. Sedangkan administration atau (taakverwerkelijking, politiek als technik) artinya melaksanakan haluan-haluan negara (upaya mencapai tujuan negara) atau melaksanakan kehendak negara.
Di Amerika Serikat sejak Tahun 1920 oleh W.F. Welloughby, (Soewarno Handayaningrat, 1991:12) dalam bukunya Principle of Public Administration, memperkenalkan empat kekuasaan pemerintahan, yang memuat: kekuasaan legislatif, eksekutif, judikatif dan administratif. W.F. Welloughby mempergunakan dua pengertian terhadap istilah administrasi dalam ilmu politik, yaitu:
1) dalam arti yang seluas-luasnya, administrasi menunjukkan kepada pekerjaan yang bersangkutpaut dalam penyelenggaraan sesungguhnya terhadap urusan-urusan pemerintahan, tanpa memandang fungsi pemerintah yang bersangkutan. Dengan demikian yang dimaksud dengan arti administrasi di sini ialah: administrasi terhadap fungsi legislatif, administrasi terhadap urusan justisi atau judisiil, dan administrasi daripada kekuasaan eksekutif. Demikian pula administrasi terhadap urusan-urusan fungsi administratif atau penyelenggaraan terhadap urusan-urusan pemerintahan pada umumnya.
2) dalam arti sempit, administrasi menun-jukkan terhadap kegiatan-kegiatan fungsi administrasi saja.
Hukum administrasi negara sebagai bagian dari ilmu sosial, maka substansi pengertian hukum administrasi negara terus berkembang seirama dengan perkembangan dinamika masyarakat. Pelbagai perkembangan dalam kehidupan masyarakat, mempengaruhi fungsi-fungsi administrasi negara, berpengaruh terhadap batasan pengertian yang dikemukakan oleh kalangan ilmuwan hukum.
Beberapa definisi hukum administrasi negara, dari para sarjana hukum (Parlin M.Mangunsong, 1997:45-46), yakni:
Menurut de La Bassecour Caan, bahwa yang dimaksud dengan hukum administrasi negara (HAN) adalah: “……. himpunan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi sebab maka negara berfungsi (bereaksi). Maka peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan antara tiap-tiap warga (negara) dengan pemerintahnya.”
Van Vollen Hoven, menyatakan HAN adalah: “suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun yang rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenangnya yang diberikan kepadanya oleh hukum tata negara.”
JHA. Logemann, menyatakan HAN adalah: “……. hukum mengenai hubungan-hubungan antara jabatan-jabatan negara itu dengan para warga masyarakat.”
Definisi HAN yang beraneka ragam tersebut, maka ada dua esensial tentang hukum administrasi negara, yaitu:
1) merupakan aturan hukum yang meng-atur dan menyebabkan negara berfungsi.
2) merupakan aturan hukum yang meng-atur hubungan antara administrasi negara dengan masyarakat.
Keaneka ragaman beberapa pengertian hukum administrasi negara ini, atau yang disebut sebagai hukum pemerintahan, juga dikemukakan oleh E.Utrecht , adalah: “……. Menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambtsdragers) administrasi negara melakukan tugas mereka yang khusus.”
Muchsan, menyatakan bahwa HAN adalah: “sebagai hukum mengenai struktur dan kefungsian administrasi negara.” Dengan demikian HAN , dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni:
1) sebagai HAN, hukum mengenai operasi dan pengendalian kekuasaan administrasi, ataupun pengawasan terhadap penguasa-penguasa administrasi.
2) sebagai hukum buatan administrasi, maka HAN merupakan hukum yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan undang-undang.
Prajudi Atmosudirdjo berpendapat bahwa HAN, adalah: “……. Hukum yang mengenai pemerintah beserta aparatnya yang terpenting yakni administrasi negara” atau merupakan “……. hukum yang mengatur wewenang, tugas, fungsi dan tingkah laku para pejabat administrasi negara……., bertujuan untuk menjamin adanya administrasi negara yang bonafide, artinya: yang tertib, sopan, berlaku adil dan obyektif, jujur, efisien, dan fair (sportif).”
HAN pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua klasifikasi, yakni:
1) HAN heteronom, merupakan hukum yang mengatur seluk beluk administrasi negara, mencakup tentang:
a. Dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum administrasi negara;
b. Organisasi administrasi negara, termasuk juga pengertian dekonsentrasi dan desentralisasi;
c. Berbagai aktivitas dari administrasi negara;
d. Seluruh sarana administrasi negara; serta
e. Badan peradilan administrasi.
2) HAN otonom, merupakan hukum yang dibentuk oleh administrasi negara sendiri.
Demikian kompleksnya, tugas pemerintah untuk menyelenggarakan haluan negara untuk meningkatkan kesejahteraan umum, maka kepada pemerintah dilimpahkan kewenangan bestuurszorg atau pelayanan publik. Berpijak dari landasan hukum administrasi negara tersebut di atas, maka hukum administrasi negara mencakup pula tentang hukum administrasi kepolisian. Hal ini dapat dijumpai dalam rumusan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang bunyinya ialah: “ fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Rumusan makna pasal tersebut di atas, adalah sejalan dengan ajaran Catur Praja dari van Vollen Hoven, yang membagi kekuasaan pemerintah, yang meliputi: regeling, pemerintahan (bestuur), peradilan, dan polisi (politie) yang bertugas sebagai sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban. Dengan demikian, kekuasaan pemerintah adalah pemegang wewenang atas polisi.
Dalam rangka penyelenggaraan tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban tersebut, tidak mungkin akan dilakukan sendiri oleh pemerintah. Oleh sebab itu, tugas tersebut didelegasikan berdasarkan undang-undang kepada lembaga kepolisian selaku pemegang kuasa umum pemerintahan dibidang penyelenggaraan kekuasaan kepolisian.
Kuasa kepolisian merupakan salah satu bentuk pengaturan fungsi kepolisian dan merupakan bagian dari pelaksanaan kekuasaan negara atau pemerintah atas fungsi pemerintah dibidang kepolisian. Kuasa kepolisian sebagai dasar hukum untuk melakukan usaha menciptakan keamanan dan ketertiban umum, adalah penguasaan negara atau pemerintah yang memiliki wewenang untuk mengatur tentang tugas dan wewenang kepolisian.
Oleh sebab itu, penulis berdapat bahwa apa yang dimaksud dengan hukum kepolisian dalam arti formil atau hukum administrasi kepolisian tersebut. Hukum administrasi kepolisian adalah: “segenap aturan hukum, yang mengatur tentang kekuasaan kepolisian selaku pemegang kuasa umum pemerintahan dibidang penyelenggaraan keamanan dan ketertiban umum.”
Berdasarkan kekuasaan pemerintahan dibidang kepolisian tersebut, maka pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara R.I. yang dibantu dengan alat-alat kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swa karsa, yang melaksanakan fungsi kepolisian secara terbatas, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari masing-masing departemen atau unit-unit kerja lainnya untuk melaksanakan fungsi kepolisian tersebut.
a. Peran dan Kedudukan Organisasi Kepolisian

Sesuai dengan tujuan pembangunan keamanan dalam negeri sebagai salah satu syarat utama untuk mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka tujuan dibentuknya Kepolisian Negara R.I. adalah untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Berdasarkan tujuan tersebut di atas, maka peran pokok Kepolisian Negara R.I., adalah: berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Berdasarkan peran kepolisian tersebut maka kedudukan Kepolisian Negara adalah merupakan kepolisian nasional yang merupakan satu kesatuan, yakni meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dalam rangka melaksanakan peran dan fungsi kepolisian, maka wilayah negara RI, dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara R.I.
Pimpinan kepolisian negara RI di daerah hukumnya masing-masing bertanggungjawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian secara hierarki. Oleh sebab itu, susunan organisasi dan tata kerja kepolisian negara RI disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
Setiap organisasi, di mana tempat setiap orang mempunyai kekuasaan atas orang lain, didasarkan atas peran kepemimpinan dan kekuasaan untuk memerintah atas orang lain, yang dilandasi tanggung jawab adalah dinamakan hierarki.
Robert Sheehan dan Gay W.Cordner (1986:122-147) dalam bukunya “Introduction to Police Administration,” mengetengahkan tentang konsepsi wewenang dan tanggung jawab, serta penggunaan pelimpahan kekuasaan sebagai alat organisasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas, maka didasarkan atas asas-asas organisasi polisi, yakni:
1) Asas pertanggungan jawab. Asas pertanggungan jawab ini berarti agar semua individu yang dilimpahkan kekuasaan harus mempertanggungjawabkan penggunaannya. Hal itu menuntut bahwa tindakan harus diambil, jika dan apabila individu menjalankan kekuasaannya secara tidak benar, serta tidak bertanggung jawab, maka dapat telah gagal dan tidak benar dalam menggunakan kekuasaannya.
2) Asas ketentuan fungsional. Organisasi polisi dalam melaksanakan tugasnya sedemikian kompleks, maka menjadi keharusan untuk menyusunnya menurut sistimatika tertentu, melalui cara pengelompokan fungsi. Cara penge-lompokan fungsi yang paling bermanfaat ialah melalui asas ketentuan fungsional yang disebut sebagai pengelompokan menurut fungsi-fungsi yang sama.
3) Asas skalar (bertingkat). Asas skalar ini diambil dari pola militer dan sering disebut sebagai rantai komando, adalah mekanisme organisasi yang ditetapkan garis komunikasi formal di dalam organisasi polisi. Hal ini didasarkan atas gagasan bahwa semakin jelas garis kekuasaan dari penguasa tertinggi terhadap setiap bawahannya, semakin pembuatan keputusan dan komunikasi organisasi itu akan lebih efektif. Penerapan asas skalar ini meliputi fungsi manajemen yang dikelompokan dalam tiga kategori, yakni: tingkat administrasi; tingkat komando; dan tingkat pengawasan.
4) Asas tingkat kewenangan. Asas ini bertitik tolak dari pemikiran bahwa keuasaan ada pada segala tingkatan dalam organisasi, dan hanya keputusan yang tidak dapat pada tingkat tertentu, yang disebabkan oleh ketiadaan wewenang, harus ditarik ke atas, untuk mendapatkan penyelesaian. Asas tingkat kewenangan ini, tidak dapat diterapkan, apabila asas kewenangan fungsional dan asas skalar dikukuhkan di dalam organisasi.
5) Asas kesatuan komando. Asas kesatuan komando menuntut bahwa hubungan pelaporan antara bawahan dengan atasan di dasarkan pada asas bahwa seorang bawahan tidak boleh melapor pada lebih dari seorang atasan atau menerima perintah lebih dari seorang atasan. Asas kesatuan komando ini adalah alat yang mudah dan dapat membantu menghindarkan ketidak pastian dalam mengeluarkan perintah, guna kepentingan kepastian dalam penggunaan peran terhadap tugas dan wewenangnya.
6) Asas rentang kendali. Jumlah keseluruhan organisasi tingkat bawah yang melapor kepada organisasi tingkat atas, disebut sebagai rentang kendali supervisor. Secara praktis, dinyatakan bahwa rentang harus dipikirkan sesuai tingkat tanggung jawab dan kekuasaan yang ada menurut tingkat hierarki, dengan prinsip bahwa sebuah rentang kendali secara bertingkat, akan menciut di bagian atas dalam organisasi. Semakin tinggi tingkat kekuasaan dan tanggung jawab semakin sempit rentang kendalinya. Rentang kendali ini adalah sebuah alat supervisi organisasi yang dipergunakan selalu hati-hati dan selalu disempurnakan melalui pengalaman akan membantu komunikasi organisasi.
b. Diskresi Kepolisian
Agar pelayanan publik tersebut dapat terlaksana dan mencapai hasil maksimal, maka kepada administrasi negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri dalam rangka penyelenggaraan administrasi negara. Dalam HAN maka hak kebebasan atas inisiatif sendiri tersebut, dikenal dengan sebutan pouvoir discretionnaire (Perancis) ataupun freies ermessen (Jerman). Menurut Patuan Sinaga, (2001:73), dapat diartikan bahwa fungsi pelayanan publik di dalam penyelenggaraan pemerintahan welfare state mengakibatkan terjadinya pergeseran sebagian kekuasaan antar lembaga negara dan lembaga legislatif kepada lembaga eksekutif (pemerintah; administrasi negara)
Demikian luasnya kekuasaan pemerintah (administrasi negara) sebagai akibat pouvoir discretionnaire tersebut, terdapat kecenderu-ngan adanya kesewenang-wenangan yang dapat merugikan kepentingan masyarakat. Sikap tindak pejabat administrasi negara yang dapat merugikan kepentingan masyarakat tersebut, berupa: perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad), penyalah gunaan wewenang (detournement de pouvoir), maupun termasuk pula kesewenang-wenangan (abus de droit).
Kebebasan bertindak (diskresi) dalam pengertian menurut para pakar hukum administrasi negara, antara lain: menurut J.Aaron, dalam bukunya “The Control of Policy Discrettion” mendefinisikan diskresi sebagai berikut:” ….., is a power or authority confered by the law to act on the basic of judgement or conscience and it use more an idea of moral than law.”
Prajudi Atmosudirdjo, mengartikan diskresi sebagai “……., kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapatnya sendiri.”
Lebih lanjut dikemukakan bahwa diskresi tersebut terdiri atas dua jenis, yakni:
1) diskresi bebas, yaitu kebebasan administrasi negara untuk mengambil keputusan apa saja, asalkan tidak melampaui/ melanggar batas-batas yang ditetapkan UU; dan
2) diskresi terikat, yaitu kebebasan administrasi negara untuk memilih salah satu alternatif yang telah ditetapkan UU.
Pengertian diskresi yang lebih sederhana namun bermakna esensial, dapat dipahami dari pendapat Stanley de Smith dan Sjachran Basah. Diskresi (discretion) menurut Stanley de Smith, adalah: “……., implies power to choose between alternative courses of action.” Sedangkan, menurut Sjahran Basah, adalah: ”kebebasan bertindak dalam batas-batas tertentu.” Ataupun juga merupakan “……., kekuasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan, walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun hukum.”
Pelbagai rumusan dan pengertian diskresi menurut hukum administrasi negara tersebut di atas, beberapa hal pokok dalam diskresi, adalah menyangkut masalah:
1) merupakan salah satu bentuk kekuasaan;
2) bersumber pada ketentuan peraturan perundang-undangan atau peraturan yang sah;
3) diterapkan dalam dan untuk mencapai tujuan tertentu pada penyelenggara fungsi-fungsi keadministrasian negara;
4) tindak pelaksanaannya lebih dilandasi oleh pertimbangan moral daripada hukum; serta:
5) tindakan dan akibatnya harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum.
Kelima masalah di atas, dalam penyeleng-garaannya harus diselaraskan dengan upaya memelihara kepentingan masyarakat dan negara.
Kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri dalam hukum administrasi negara, banyak ditemukan dalam peraturan undang-undang, ataupun peraturan lainnya yang sah. Hal ini, dimungkinkan dengan adanya “lembaga delegasi kewenangan perundangan” (delegatie van wetgeving). Dalam literatur, ada tiga jenis pendelegasian kewenangan,yaitu:
1) Delegasi bersyarat (voorwaardelijke delegatie)
2) Delegasi dalam bentuk UU penugasan (machtigivingswet)
3) Delegasi dalam bentuk UU yang mem-berikan kerangka dan batas-batas tertentu (kaderwet/raamwetten)
Delegasi bersyarat, ditemukan dalam ketentuan UU yang memberikan kewenangan kepada pihak pemerintah untuk mengadakan atau membentuk suatu peraturan undang-undang, ketika negara dalam keadaan darurat. Pendelegasian kewenangan ini dapat dilihat dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945;
Delegasi dalam bentuk UU penugasan, dapat ditemukan di dalam UU penugasan hanya dicantumkan satu atau dua pasal yang mengatur asas-asas pokok, sedangkan pengaturan dan pengurusannya sepenuhnya diserahkan kepada pihak pemerintah.
Delegasi dalam bentuk UU yang memberikan kerangka dan batas-batas tertentu, dapat ditemukan dalam lembaga legislatif memberikan kerangka dan sendi-sendi pokok secara politis di dalam UU, sedangkan pengkhususannya secara teknis sepenuhnya diserahkan kepada pihak pemerintah.
Pejabat kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya di seluruh wilayah negara R.I.,khususnya di daerah hukum pejabat yang bersangkutan bertugas. Untuk kepentingan umum, pejabat kepolisian negara RI, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilainnya sendiri, dan hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-unda-ngan, serta kode etik profesi kepolisian. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya maka pejabat kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta mengutamakan tindakan tindakan pencegahan.
Berdasarkan penjelasan undang-undang, yang dimaksud dengan bertindak menurut penilaiannya sendiri adalah tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota kepolisian yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta risiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
Robert Sheehan dan Cay W.Cordner (1986:411-412), menyatakan bahwa: ciri paling menonjol dari pekerjaan polisi adalah wewenang diskresi yang sangat besar, sebagaimana yang diletakkan dalam tangan petugas-petugas kepolisian.
Dalam kebanyakan organisasi lain, wewenang diskresi semakin berkurang pada tangga hierarki dari atas ke bawah. Di dalam organisasi kepolisian, pegawai-pegawai berpangkat paling rendah, agen-agen patroli dan detektif, memiliki hak dan wewenang diskresi yang paling besar.
Manajemen diskresi yang tepat adalah merupakan salah satu masalah yang tidak dapat dipecahkan secara teknis saja. Administrator kepolisian dikemudian hari, akan harus menggeluti masalah ini, untuk memperlengkapi personil lapangan dengan wewenang diskresi yang secukupnya untuk bisa bertindak bebas tetapi arif dalam menghadapi situasi-situasi yang tidak pasti dan tidak dapat diramalkan, dan terus meningkatkan pengarahan (pengawasan) dan pengendalian.
Berdasarkan pendapat Saut P.Panjaitan (2001:112) tentang “Makna dan Peranan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara,” memang sebaiknya dipegang oleh pemerintah (eksekutif) beserta seluruh jajarannya, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, karena dalam penggunaan freis ermessen yang melanggar atau merugikan hak warga negara, maka dapat dimintai per-tanggungjawaban melalui pengadilan. Hal ini adalah sesuai dengan maksud UU No. 5 Tahun 1986, yang secara akademik memper-kuat pendapat tersebut, adalah:
1) pemerintah (eksekutif) memiliki aparat, keahlian, dan sarana yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan badan legislatif dan yudikatif;
2) pemerintah (eksekutif) yang sehari-hari secara riil berhubungan dengan masyarakat, oleh karena lebih mengetahui dinamika dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga apabila terjadi persoalan yang mendesak akan cepat mengetahui dan mengambil tindakan;
3) keanggotaan badan legislatif yang relatif besar, akan mempersulit dalam mengambil suatu tindakan yang cepat. Lagi pula badan ini tidak memiliki anggota, keahlian, dan sarana yang selengkap pemerintah (eksekutif).
4) Bila freies ermessen diberikan kepada badan yudikatif, maka jika terjadi pelanggaran terhadap hak warga negara, kepada badan yang manakah gugatan warga negara akan ditujukan? Jadi kebebasan yang ada pada hakim itu bukan kebebasan atau kekuasaan dalam arti freies ermessen, sebab hakikat dari freies ermessen itu pada akhirnya menentukan apakah hukumnya terhadap suatu persoalan yang konkrit, tetapi dilihat dari hakikat fungsinya berbeda dengan penentuan hukum oleh hakim.
Berdasarkan pendapat para pakar, maka Saut P. Panjaitan menarik suatu kesimpulan bahwa: freies ermessen adalah “kebebasan atau keleluasaan bertindak administrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri, guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.”
Sehubungan dengan hal itu, Prajudi Atmosudirdjo, (Saut P. Panjaitan, 2001:114), yang menyoroti tentang diskresi, menyatakan bahwa “diskresi diperlukan sebagai pelengkap daripada asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan.”
Dikaitkan dengan pandangan Robert Sheehan dan Cay W.Cordner di atas, maka masalah diskresi adalah menyangkut wewenang, tanggung jawab, dan pelimpahan kekuasaan dari organisasi lebih atas, semakin tinggi organisasi maka wewenang diskresi semakin berkurang. Menurut pendapat penulis, bahwa titik persoalan diskresi di sini, bukan pada aturannya yang belum ada, akan tetapi bagaimana pemegang diskresi tersebut dapat segera menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya, sesuai pelimpahan kekuasaan yang diterimanya, untuk dapat segera menyelesaikan tugas yang diembannya secara cepat, tepat, dan cermat, dengan tetap berpedoman pada aturan hukum dan norma-norma lainnya.
Sebagai simpulan dari freies ermessen, adalah:
1) adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri, artinya semua sikap tindak administrasi negara harus bersandarkan dalam batas-batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan ;
2) untuk menyelesaikan persoalan kepentingan umum yang mendesak dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum itu sendiri;
3) harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan atas dasar rasa keadilan masyarakat, bukan semata-mata hanya atas dasar rasa keadilan hukum belaka.

c. Pembagian Daerah Hukum Kepolisian
Pembagian daerah hukum dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, apabila dikaitkan dengan bunyi Pasal 18 UUD 1945, yang menentukan wilayah Negara Kesatuan R.I., bunyinya ialah: ” Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.”
Dalam penjelasan undang-undang dinya-takan bahwa: “oleh karena Negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat” maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat “staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi pula dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechtgemeen-schappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Berdasarkan pembagian kekuasaan pemerinta-han, maka kedudukan Kepolisian Negara RI, berada di bawah Presiden, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR, dan dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan bidang pemerintahan. Untuk hal ini, tidak seluruhnya Presiden dapat sepenuhnya melaksanakan kekuasaan pemerintahan dibidang kepolisian, maka tugas tersebut didelegasikan kepada Kapolri, yang menyangkut tugas menetapkan,menyelenggarakan, dan mengendali-kan kebijakan teknis kepolisian. Di samping itu, Kapolri melaksanakan tugas dan tanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan operasional kepolisian, dalam rangka pelaksanaan tugas kepolisian negara RI; dan penyelenggaraan pembinaan kemampuan kepolisian negara RI.
Untuk membina persatuan dan kesatuan, serta dalam rangka mengembangkan profesi kepolisian, maka dibidang penegakan tata tertib dan tegaknya hukum, disusun peraturan disiplin anggota kepolisian negara RI., dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Aturan ini, adalah sebagai konsekuensi terjadinya perubahan paradigma di tubuh Polri yang telah dipisahkan dengan TNI, yang sebelumnya tunduk pada hukum disipilin militer, hukum militer, dan tunduk pada kekuasaan peradilan militer.
Dalam rangka menunjang peran dan fungsi kepolisian negara RI, maka disusun dua kelembagaan, yaitu:
1). Komisi Kode Etik Kepolisian, yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap setiap terjadinya pelanggaran profesi atau kode etik kepolisian;
2) Komisi Kepolisian Nasional, yang berkedu-dukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, yang bertugas membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan kepolisian negara RI, dan memberikan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
Kode etik kepolisian lebih berorientasi pada motto penegak hukum (polisi) secara universal, yakni fight crimes, help delinquency and love humanity perlu dikembangkan dan disosialisasikan, baik kepada semua anggota polisi maupun masyarakat guna diperoleh pemahamanan yang sinergis.
d. Hubungan Kerjasama
Dalam rangka pelaksanaan fungsi pemerintahan dibidang kepolisian, khususnya dalam rangka penyelenggaraan keamanan dan ketertiban, guna terciptanya keamanan dalam negeri, maka tugas tersebut dibutuhkan peran serta dari segenap komponen penyelenggara pemerintahan lainnya, yakni:
1) Kepolisian Negara RI untuk melaksanakan tugas keamanan maka dapat meminta bantuan TNI; dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang memberikan bantuan kepada TNI; dan membantu secara aktif dalam rangka pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera PBB.;
2) Kepolisian Negara RI, dalam memelihara hubungan dan kerjasama dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan di luar negeri berdasarkan atas prinsip hubungan fungsional, dan mengutamakan kepentingan umum serta memperhatikan hierarki;
3) Kepolisian Negara RI, memelihara hubungan kerjasama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga lain, serta masyarakat berdasarkan asas partisipasi dan asas subsidiaritas;
4) Kepolisian Negara RI, dalam menjalin hubungan dan kerjasama luar negeri melalui kerjasama bilateral atau multilateral, dan kerjasama dengan badan pencegahan kejahatan, terutama badan-badan kepolisian dan penegak hukum lainnya, dalam rangka tugas operasional maupun kerja sama teknik, pendidikan, dan pelatihan.