Senin, 23 November 2009

HUKUM PERDATA

ANALISA PUTUSAN PERDATA
SITA EKSEKUSI YANG DIDASARKAN PADA
AMAR PUTUSAN HAKIM YANG TIDAK JELAS



I. PENDAHULUAN

Putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat dinantikan oleh pihak – pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik – baiknya. Dengan kata lain, para pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang sedang dihadapi.

Agar dapat memberikan putusan pengadilan yang benar – benar menciptakan Kepastian Hukum dan menciptakan rasa keadilan masyarakat. Hakim sebagai ” pemutus ” harus benar – benar mengetahui duduk perkara dan dasar hukum yang digunakan. Disisi lain putusan tersebut harus tegas agar dapat dilaksanakan setelah dibacakan.

Tinjauan kasus dalam makalah ini adalah masalah pelaksanaan eksekusi yang didasarkan pada putusan Mahkamah Agung yang tidak jelas dalam Putusan Nomor 47 / K / AG / 2001 yakni perkara / sengketa tanah hibah antara Hj. Siti Khadijah dengan kawan – kawan sebagai Pengugat melawan Haji Muhamad Ali (HAMAT Yusuf) (Alm) sebagai tergugat. Perkara tersebut sebelumnya diperiksa di Pengadilan Agama Jambi.


II. KRONOLOGIS KASUS

Jauh sebelum H. Ahmad dan Hj. Marhumah meninggal dunia, Almarhum H. Ahmad semasa hidupnya telah memberikan / membagikan Hibah harta miliknya baik yang bergerak dan harta tidak bergerak kepada masing – masing anaknya yang berjumlah lima (5) orang, dengan besarnya bagian masing – masing anak tersebut adalah sebagai berikut :

a. Anak pertama Hj. St Khadijah mendapat tanah beserta rumah permanen terletak di Jl. Tidore No. 16 Jambi ditambah kalung, gelang dan beberapa Dolar Amerika.

b. Anak kedua Hj. St. Aisyah mendapat tanah beserta rumah permanen terletak di Jl. Tidore No. 17 Jambi ditambah kalung, gelang dan beberapa dolar Amerika.

c. Anak ketiga Drs. HAMAT Yusuf memperoleh tanah di Jl. Ibrahim, Kel. Rawasari , Kec. Kota baru, kotamadya Jambi seluas 4.86 Ha.

d. Anak keempat Hadollah Djunaidy T. Yusuf memperoleh tanah di Jambi dan di Kabupaten Batang hari seluas 5.16 Ha
e. Anak kelima Hj. St. Hatijah Aini memperoleh tanah beserta rumah permanen terletak di Jl. Ibrahim Lrg. Langgar No. 3 Kel. Rawasari Kec. Kota baru ditambah kalung, gelang dan beberapa Dolar Amerika.


Hibah tersebut diberikan sekitar tahun 1950 sampai tahun 1973 yaitu ketika anak – anaknya dinikahkan atau sudah dewasa, termasuk hibah yang diberika kepada Hamat Yusuf. Hibah atas tanah yang diberikan Alm H. Ahmad kepada Mamat Yusuf secara hukum diperkuat dengan bukti surat pemberian tertanggal 7 April 1961 yang dihadiri oleh saksi A. Djalani sebagai Kepala Kampung dan H. Andi Mappaling. Hibah tersebut juga diperkuat oleh surat pernyataan / pengakuan dari saudara/i Hamat Yusuf lainnya pada tanggal 11 Februari 1980 kesemuanya sebagai ahli waris Alm H. Ahmad.

Disamping hibah yang sudah diberikan kepada anak – anaknya ternyata Alm. H. Ahmad dan Hj. Marhumah mempunyai harta berupa tanah yang belum terbagi terletak di Kel. Tambaksari, Kec. Jambi Selatan - Jambi sengketa dalam kasus ini berawal dari gugatan pembagian harta waris Alm. H. Ahmad dan Hj. Marhumah, Ahli waris Hafollah Djunaidy T. Yusuf ke pengadilan Agama Jambi terhadap Drs. Mamat Yusuf sebagai tergugat.

Obyek gugatan tersebut adalah seluruh harta warisan pewaris, namun yang dituntut hanyalah terbatas pada harta kewarisan yang tidak bergerak berupa bangunan rumah / tanah kering, baik yang berada di kotamadya Jambi maupun yang berada di kabupaten Batang hari. Termasuk obyek gugatan adalah tanah hibah Alm. H. Ahmad yang diberikan kepada Drs. Mamat yusuf . yang terletak di Jl. Ibrahim Kel. Rawasari Kec. Kota baru Kotamadya Jambi seluas 31.765 M2

Secara singkat perkara tersebut ditingkat Kasasi telah di putus oleh Mahkamah Agung RI Nomor 47/K/AG/2001 yang menyatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah warisan bukan tanah hibah, adapun beberapa amar putusan yang terkait dengan analisa ini di antaranya sebagai berikut :

- Menetapkan bagian masing – masing ahli waris ( khusus tanah di Jl. Ibrahim Kota Jambi), tanah Hibah milik mamat yusuf adalah sebagai berikut
1. Hj. St. Khadijah mendapat 4537,86 M2
2. Hj. St Aisyah mendapat 4537,86 M2
3. Alm H. Hadolah yang diwarisi ahli warisnya mendapat 9075,72 M2
4. Drs Mamat Yusuf mendapat 9075,72 M2
5. Hj. St. Hatijah Dg. Taunga memperoleh tanah seluar 4537,86 M2
6. Hj. St. Hatijah Dg. Taunga memperoleh tanah seluas 4537,86 M2

- Memerintahkan kepada tergugat dan para penggugat asal untuk membagi dan menyerahkan harta warisan tersebut kepada semua ahli waris yang berhak sesuai bagian masing – masing.
- Menyatakan sita jaminan yang diletakkan oleh pengadilan agama Jambi tanggal 10 April 1999 yang tertuang dalam berita acara penyitaan jaminan nomor 537/Pdt.g/1998/PA.JBI atas tanah seluas 31,765 M2 menurut SHM No. 627,628,629,630 masing – masing tahun 1994 dan SHm No. 18 / 1998 yang terletak di Jln. Ibrahim – Kota Jambi adalah sah dan berharga.

Putusan tersebut kini telah berkekuatan hukum tetap, dan telah pula dilakukan eksekusi oleh penitera muda permohonan pengadilan agama Jambi sebagaimana berita acara eksekusi nomor 537/Pdt.G/1998/PA.JBI tanggal 11 Maret 2004. sebelumnya ketua Pengadilan Agama kelas IA Jambi telah melakukan Aan Maning dalam jangka waktu delapan hari dengan batas akhir waktu tanggal 26 Februari 2004, sebagaimana syarat sebelum melakukan eksekusi terhadap putusan nomor 47/ K/AG/2001 batas akhir berlakunya teguran tersebut bersamaan dengan masuknya perlawanan (Derden Verzet) dari pihak ketiga sebagai ahli waris tereksekusi akan tetapi perlawanan ahli waris / pihak ketiga tersebut diabaikan oleh ketua Pengadilan Agama Jambi.

Pada tanggal 11 Maret 2004 Pengadilan Agama Jambi melakukan eksekusi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 47/K/AG/2001 dan berdasarkan surat kesepakatan antara penggugat awal dihadapan Notaris Gita Marlika S. Yang isinya menetapkan batas – batas tanah namun besarnya ukuran bagian masing – masing ahli waris ternyata menyimpang dan tidak sesuai dalam putusan kasasi MA mengatahui fakta tersebut, ahli waris Hamat Yusuf keberatan dan tidak menghadiri serta menandatangani berita acara eksekusi karena menganggap Ketua Pengadilan Agama Jambi telah berbuat arogan dan sewenang – wenang serta mengabaikan rasa keadilan hukum masyarakat.


III. POKOK PERMASALAHAN

Dari uraian singkat kronologis telah disampaikan di atas ada beberapa hal yang menjadi permasalah untuk dianalisis. Bahwa hal ni dierlukan untuk dapatt menjawab pertanyaan dari ahli waris Hamat Yusuf tentang kualitas pelaksanaan eksekusi yang telah dilakukan pengadilan agama Jambi tersebut. Terdapat beberapa pokok permasalahan yang perlu dianalisi dalam kasus tersebut antara lain :
1. Bagaimana sifat putusan MA RI No. 47/K/AG/2001 tersebut ?
2. Apakah ketua pengadilan agama Jambi berhak untuk menolak Derden Verzet ahli waris Hamar yusuf selain itu pokok permasalahan lain yang tidak juga dapat dianalisis adalah bagaimanakah prosedur yang harus diperhatikan oleh ketua pengadilan Negeri agama sebelum melakukan eksekusi?



IV. ANALISA PERMASALAHAN

1. Sifat Putusan MA RI No. 47/K/AG/2001

Pada umumnya putusan akhir dari suatu perkara jika dilihat dari sifatnya terbagi atas tiga (3) yakni putusan akhir yang bersifat Condemnatoir artinya putusan yang bersifat menghukum, putusan akhir yang bersifat Declaratoir artinya yang bersifat menyatakan, mengumumkan atau menguatkan suatu fakta hukum tertentu, putusan akhir yang bersifat Constitutive artinya yang bersifat memenuhi ketentuan Undang – undang dalam suatu hal tertentu, atau bersifat menimbulkan suatu keadaan tertentu sesuai UU.

Berkaitan dengan sifat Putusan MA RI Nomor 47/K/AG/2001 maka kami melihat ketiga sifat tersebut termuat dalam putusan ini tetapi putusan yang bersifat Condemnatoir terkait dengan obyek sengketa ini hanya pada dictum yang menyebutkan “ memerintahkan kepada tergugat dan para penggugat asal untuk membagi dan menyerahkan harta warisan tersebut kepada semua ahli waris yang berhak sesuai bagian masing – masing …,” hal ini perlu dijelaskan karena terkait dengan asas – asas eksekusi yang akan diuraikan lebih lanjut. Akan tetapi perlu dicermati putusan yang bersifat Condemnatoir tersebut yang amarnya “ membagi ” sebenarnya menimbulkan permasalahan baru karena membagi dalam arti menentukan batas – batas tanah seharusnya dituangkan dalam putusan bukan diserahkan kepada para pihak untuk menentukan batas, jika diserahkan kepada para pihak tentunya akan timbul dua kemungkinan yang pertama ada kesepakatan dari pihak – pihak yang bersengketa untuk menentukan batas dan yang kedua tidak ada kesepakatan untuk menentuukan batas – batas tanah sengketa, jika yang terjadi adalah ketidaksepakatan maka dengan sendirinya amar putusan yang bersifat Condemnatoir tadi tidak bisa dilaksanakan, apalagi karena dilanjutkan dengan eksekusi maka dengan sendirinya eksekusi tersebut didasarkan pada putusan yang non eksetuble karena didasarkan kembali kepada kesepakatan para pihak bukan atas perintah hakim. Kualitas amar putusan seperti ini dikatakan dengan amar putusan yang tidak jelas atau amar putusan banci (Quasi Condemnatoir).

Disisi lain apabila kesepakatan untuk membagi tidak tercapai maka perintah hakim untuk menyerahkan juga tidak dapat dilaksanakan, hak inilah yang menyebabkan mengapa eksekusi tidak bisa dilaksanakan dengan dasar amar putusan banci seperti ini.

2. Eksekusi dan wewenang ketua Pengadilan Agama.

Pengertian eksekusi berasal dari kata executie yang artinya melaksanakan putusan hakim ( ten uitvoer legging van vonnissen ). Sedangkan lengkapnya adalah melaksanakan secara paksa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, sesuai dengan Undang – undang yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. Tata cara eksekusi secara jelas di atur dalam pasal 195 s/d 208 HIR dan 224 s/d 225 HIR atau pasal 206 s/d 240 R.Bg dan pasal 258 s/d 259 R.Bg



Asas Eksekusi.
Bahwa untuk melaksanakan eksekusi harus dipenuhi 5 asas yakni :
a. Putusan hakin yang akan di eksekusi adalah haruslah putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde ). Secara hukum putusan MA RI no. 47/K/AG/2001 merupakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap asas ini dapat menjadi alasan bagi pengadilan agama Jambi untuk melakukan eksekusi.

b. Putusan hakim yang akan dieksekusi harus bersifat menghukum (Condemnatoir)
Bahwa putusan MA RI no. 47/K/AG/2001 juga bersifat menghukum (Condemnatoir) diantaranya dengan amar yang memerintahkan kepada tergugat dan para penggugat (asal) untuk membagi dan menyerahkan harta warisan tersebut kepada semua ahli waris yang berhak sesuai bagian masing – masing, walaupun asas ini dapat menjadi alasan bagi pengadilan agama makasar untuk melakukan eksekusi, akan tetapi sebelumnya harus didasari kesepakatan pembagian / penentuan batas – batas antara para penggugat dan tergugat terlebih dahulu, setelah dianalisa, putusan ini sepenuhnya tidak bersifat condemnatior, akan tetapi bias dan lebih kepada quasi condemnatior karena amar di menghukum dikembalikan masing – masing pihak tanpa diputuskan oleh hakim. Dalam kasus ini seharusnya majelis tidak hanya mengitung besarnya bagian waris terhadap obyek sengketa akan tetapi lebih dari itu hakim harus menentukan juga batas – batasnya sehingga lebih mudah untuk dilaksanakan jika perlu dilakukan eksekusi.

c. Putusan tidak dijalankan secara sukarela / bahwa pihak tergugat sampai saat ini tidak menjalankan putusan MA RI No. 47/K/AG/2001 mengingat tergugat adal sudah meninggal dunia sehingga yang ada adalah ahli warisnya untuk meneguhkan kepastian ahli warisnya maka pihak ahli waris Hamat Yusuf mengajukan derden verzet yang sayangnya tidak diperhatikan oleh ketua pengadilan agama makasar, bahwa kafasitas ahli waris disini bisa dikategorikan sebagai pihak ketiga bahwa menurut kami asas ini seharusnya dapat digunakan oleh pengadilan agama makasar untuk tidak melakukan eksekusi.

d. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan yang dilaksanakan oleh panitera atau jutu sita pengadilan yang bersangkutan.
Kewenangan menjalankan eksekusi terhadap putusan pengadilan mutlak hanya diberikan kepada institusi pengadilan negeri atau pengadilan agama. Sebagaimana pasal 195 ayat 1 HIR / 206 ayat 1 (1) R.Bg berkaitan dengan perkara ini makan sudah tepat ketua pengadilan agama Jambi yang melakukan perintah eksekusi.

e. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan, Eksekusi tidak boleh menyimpang dari amar putusan karena jika terjadi penyimpanan dari amar putusan maka ada hak tereksekusi untuk menolah pelaksanaannya. Amar putusan yang baik dapat dilihat dari pertimbangan hukum yang kuat dan hasil pemeriksaan yang lengkap dan teliti terhadap bukti – bukti, saksi – saksi serta fakta hukum di lapangan, dan yang penting amar tersebut harus dapat dilaksanakan (bersifat eksekutorial) Bahwa jika dicermati sita eksekusi yang dilakukan pengadilan agama makasar sudah tidak sesuai dengan amar putusan MA, mengingat besarnya angka pembagian yang sudak dilakukan oleh majelis justru mengalami perubahan ditingat pelaksaan eksekusi.

Pelaksanaan eksekusi ini lebih jauh menyimpang dari amar putusan karena menggunakan dasar pembagian dan penetuan batas – batas yang yang ditentukan oleh notaris Gita Marlika SH melalui surat pernyataan dari para penggugat saja, surat tersebut cacat hukum karena tidak melibatkan tergugat atau asal ahli waris pada saat pembagian (sepihak).

Tindakan para penggugat membagi atau menentukan batas – batas tanah milik Hamat Yusuf secara sepihak juga merupakan perbuatan yang menyimpang dari amar putusan disebabkan amar tersebut memerintahkan kepada tergugat dan para penggugat asal untuk membagi dan tentunya harus berdasarkan kesepakatan bersama.

Bahwa untuk menilai putusan MA nomor 47/K/AG/2001, hakim yang memeriksa perkara ini telah keliru melihat konteks perkara dengan menekankan bahwa obyek sengketa ini adalah ” tanah warisan ” mengingat segala hak dan kewajiban, penguasaan secara fisik dan yuridis semuanya ada ditangan tergugat dengan bukti – bukti yang kuat dengan alas hak hibah. Hibah tersebut di perkuat dengan bukti formil lainnya dari badan pertanahan berupa Sertifikat Hak Milik atas nama tergugat, seharusnya tergugat merupakan pemilik sah secara hukum atas obyek sengketa dimaksud, apalagi hukum membenarkan penguasaan yang dilakukan dengan itikad baik atas barang tidak bergerak selama 30 tahun sudah merupakan pemilikan yang sah, disinilah kualitas dan kecermatan hakim di uji.

Majelis hakim kasasi yang memeriksa perkara ini berpatokan pada aturan dalam Kompilasi Hukum Islam terutama terhadap pasal 212 KHI, yang menyebutkan bahwa harta hibah dari orang tua kepada anak dapat ditarik kembali, dan mengabaikan bukti – bukti otentik dan peraturan lain yang terkait sebagai landasan hukum yang terikat dangan perkara ini, termasuk dari segi hukum agraria / pertanahan dan hukum kebendaan, mejelis juga terkesan tidak mau tahu dengan sesama produk putusan yang terkait dengan perkara ini contoh produk putusan PTUN yang telah memenangkan tergugat dengan obyek perkara yang sama. Melihat kenyataan hukum yang terjadi asas ini seharusnya digunakan oleh Pengadilan Agama Jambi untuk tidak melakukan eksekusi lebih dari itu ada konsekuensinya bagi tergugat untuk menolak pelaksanaan sita eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Jambi.

Hambatan – hambatan eksekusi

Dari seluruh asas – asas sita eksekusi yang perlu di pahami oleh ketua Pengadilan Agama Jambi, ada pula hambatan – hambatan pada saat eksekusi yang bersifat teknis yuridis yang patut dicermati oleh ketua Pengadilan Agama Jambi. Hambatan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Perlawanan pihak ketiga

Pada dasarnya pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan terhadap eksekusi suatu putusan. Berdasarkan ketentuan pasal 195 ayat (6) HIR/206 ayat (6) R.Bg. bahwa satu – satunya syarat agar dapat diterima perlawanan tersebut adalah barang yang di eksekusi itu adalah miliknya. Disini dapat dilihat bahwa tergugat asal telah meninggal dunia pada saat dilaksanakan eksekusi, sehingga obyek sengketa tersebut jatuh menjadi harta warisan ahli waris Hamat Yusuf, oleh karenanya ahli waris sebagai pihak ketiga dapat dibenarkan untuk mengajukan keberatan sebab telah memenuhi ketentuan sebagaimana di maksud pasal 195 ayat (6) HIR/206 ayat (6) R.Bg tersebut. Dengan demikian seharusnya untuk menjaga rasa keadilan dan kemanusiaan eksekusi tersebut dapat di tangguhkan sampai pemeriksaan alasan pihak ketiga tersebut selesai.

Pasal 207 HIR/227 R.Bg juga memberikan kewenangan pada pengadilan untuk tetap melaksanakan eksekusi. Dimana dikatakan bahwa pada dasarnya perlawanan pihak ketiga tidak menunda eksekusi. Akan tetapi wewenang pengadilan tersebut dibatasi oleh pasal 208 HIR/228 R.Bg yang menyebutkan bahwa ketua pengadilan dapat memberi perintah agar eksekusi itu ditunda sampai dijatuhkan putusan pengadilan terhadap perlawanan tersebut. Lagi pula jika ketua pengadilan agama menggunakan hati nurani tentunya perlawanan tersebut diperiksa bukan mendiamkan atau tidak menanggapi tanpa alasan yang jelas. Hambatan teknis yuridis ini seharusnya diperhatikan oleh ketua Pengadilan Agama Jambi untuk menunda pelaksanaan eksekusi atas obyek sita dimaksud.

b. Perlawanan pihak tereksekusi

Uraian umumnya sama dengan huruf a di atas akan tetapi berlaku bagi tergugat asal dalam perkara ini tergugat asal sudah meninggal dunia sehingga tidak melakukan perlawanan, dengan sendirinya hambatan teknis yuridis ini tidak dianalisa lebih lanjut.

c. Permohonan Peninjauan Kembali

Peninjauan Kembali pada dasarnya adalah upaya hukum luar biasa, sehingga dengan demikian pada dasarnya tidak menunda eksekusi, akan tetapi apabila dapat diperkirakan bahwa PK tersebut akan di kabulkan maka dengan ijin ketua Pengadilan Tinggi eksekusi tersebut dapat ditangguhkan. Sedangkan jika obyek perkara terlanjur dieksekusi maka ada upaya hukum untuk menggugat ganti rugi kepada pemohon eksekusi dengan pentitum serta merta bahwa berkaitan dengan kasus ini PK tergugat ditolak maka kami tidak akan menganalisa lebih lanjut.

d. Amar putusan tidak jelas

Bila amar putusan tidak jelas maka sebelum melakukan eksekusi KPN / KPA meneliti pertimbangan hukum putusan atau menanyakan pada majelis hakim yang memutus. Ketidak sesuaian amar putusan dengan pelaksanaan kemungkinan kerena kurang jelasnya luas – luas, batas – batas ataupun letak tanah yang akan di eksekusi. Bahwa kami melihat dalam perkara ini majelis kasasi mahkamah agung dalam putusannnya hanya membagi besaran perolehan tanah untuk masing – masing ahli waris tetapi tidak menentukan batas – batas dimana letak bagian – bagian tersebut. Seharusnya hal tersebut harus disikapi oleh ketua Pengadilan Agama Jambi dengan :
- Meneliti pertimbangan putusan yang bersangkutan ( Putusan MA Nomor 47/K/AG/2001 )
- Jika masih tidak jelas, ketua Pengadilan Agama Jambi harus menanyakan pada majelis hakim kasasi yang memutus perkara tersebut.
- Apabila upaya tersebut tidak memberikan kejelasan maka ketua pengadilan dapat mengeluarkan penetapan Non – eksetuble

Bahwa menurut analisis kami hambatan teknis yuridis ini seharusnya digunakan oleh Pengadilan Agama Jambi untuk dapat menunda eksekusi.


V. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas eksekusi yang dilakkan pengadilan agama Jambi telah menyimpang dari aturan – aturan dan pertimbangan yuridis yang berlaku.

Bahwa Undang – Undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bab VI tentang pelaksanaan putusan pengadilan, pasal 36 ayat (4) menyebutkan bahwa ” putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusian dan keadilan. ” bahwa sebagai manusia mulia yang juga mengemban tugas sebagi ” pemutus ” ketua Pengadilan Agama Jambi dalam mengelaurkan penetapan dalam perkara ini telah bertentangan dengan pasal 36 ayat (4) UU Nomor 4/2004 tersebut, dengan ” tidak memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan ” tentunya ini menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat tentang kualitas hakim dan profesionalitas lembaga pengadilan di Indonesia.

Oleh karena itu menurut pendapat kami kepada Ketua Pengadilan Agama sebenarnya dapat mengambil langkah – langkah sebagai berikut :

a. Dapat menyatakan dan mengakui bahwa penetapan eksekusi terhadap putusan MA nomor 47 / K/AG/2001 tersebut adalah tidak sah menurut hukum.
b. Dapat membatalkan dan oleh karenanya harus dipandang tidak mempunyai kekuatan hukum, berita acara eksekusi nomor 537/Pdt.G/1998/PA.JBI tanggal 11 Maret 2004 karena pembagian dan penentuan batas sebagai dasar hukum eksekusi dilakukan secara melawan hukum.
c. Dapat mengeluarkan penetapan bahwa putusan MA nomor 47/K/AG/2001 tersebut adalah non eksetuble.

Bahwa kejadian ini seharusnya menjadi bahan pembelajaran yang baik bagi seluruh pengadilan agama yang saat ini mempunyai kewenangan melakukan sita eksekusi secara mandiri. Sebelumnya pengadilan agama selalu minta Fiat Eksekusi kepada pengadilan negeri untuk melakukan penyitaan. Akan tetapi kewenangan mandiri untuk melakukan penyitaan pengadilan agama tersebut seharusnya diimbangi dengan pemahaman dan penguasaan mengenai prosedur hukum dan teknis yuridis penyitaan dari pejabat pengadilan tersebut sehingga salah menjalankan prosedur dapat dihindari dan yang paling penting hak – hak hukum para pihak dapat tetap terjaga dan terlindungi sebagai wujud kepastian hukum dan keadilan.

Disisi lain sebagi koreksi terhadap amar putusan kasasi, patut diperhatikan bahwa kualitas putusan tergantung dari sudut mana pertimbangan hakim diambil. Bahwa amar putusan yang bersifat condemnatoir seharusnya tegas dan bersifat eksekutorial, dan bersifat condemnatoir tersebut tidak dikembalikan kepada pihak melainkan harus tertuang secara tegas dan terang dalam putusan sehingga dapat dilaksanakan, tanpa harus menunggu kesepakatan para pihak. Amar putusan ” banci ” dapat menciptakan permasalahan baru tingkat pelaksanaannya apalagi berkaitan dengan sita eksekusi, sehingga dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpastian hukum.


Jambi, November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar