BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Permasalahan
Arah
dan pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dilandasi oleh cara pandang (visi)
yang luas dan tajam jauh ke depan dengan misi yang jelas dan program-program
nyata yang bermanfaat dalam rangka mewujudkan suatu kebijaksanaan program
pengelolaan lingkungan hidup dengan paradigma, mengintegrasikan tuntutan
penerapan hak asasi, demokrasi dan lingkungan hidup dalam suatu kelestarian
fungsi lingkungan yang menunjang pelestarian fungsi lingkungan. Banyak pihak
berharap (seluruh elemen masyarakat) bahwa Undang-undang (UU) No 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbuah manis. Pasalnya,
sebelum dilakukannya revisi terhadap UU tersebut publik selalu dirugikan dan
dikalahkan dalam kasus apapun yang bersentuhan dengan penegakan hukum
lingkungan.
Masih hangat diingatan, bagaimana
Lapindo, perusahaan milik mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie meluluhlantakkan
hampir sebagian daratan Sidoarjo, Jawa Timur menjadi lautan Lumpur yang kita
kenal dengan LUSI (lumpur sidoarjo). Kemudian ganasnya perusahaan
tambang asal Amerika Serikat (AS) PT. Freeport Indonesia yang menggerus alam
Papua dan bopeng-bopengnya Bangka Belitung oleh mesin-mesin penggerus PT.
Timah. Dinamika
petumbuhan perekonomian di Indonesia harus diiringi dengan pembangunan
lingkungan hidup secara berkelanjutan (sustainable development), hal ini
disebabkan masalah lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam mengalami
tekanan yang sangat luar biasa misalnya terjadinya pencemaran sebagai suatu
tindakan melawan hukum.
Bahwa
dalam sistem pertanggungjawaban pidana di dasarkan kepada schuld si pelaku tindak pidana. Dipidanannya
seseorang tidaklah cukup apabila orang itu melakukan perbuatan melawan hukum,
memenuhi rumusan delik dan dapat di pertanggungjawabkan dengan dasar bahwa
perbuatan itu subjektive guilt. sebagaimana telah digariskan oleh
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pencemaran terhadap tanah, air
dan udara pada hakekatnya sebagai implikasi dari pesatnya aktivitas industri
dan penggunaan pestisida merupakan persoalan yang tidak dapat terhindarkan.
Kehancuran hutan dan lahan yang berdampak pada kekeringan panjang serta
mengakibatkan banjir merupakan masalah susulan lainnya. Sampai saat ini,
berbagai masalah yang ditimbulkan dari aktivitas perusahaan berdampak penting
terhadap lingkungan hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA).
Untuk itu, berbagai masalah lingkungan memerlukan penanganan yang cepat,
terencana, terukur dan terarah sehingga dapat mengimbangi pesatnya kegiatan
pembangunan dan industrialisasi yang sering mengabaikan paradigma kelestarian
fungsi lingkungan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui proses
penegakan hukum untuk meminta pertanggungjawaban atas kesalahan pelaku.
Berbagai upaya yang dapat ditempuh untuk menjaga kelestarian
lingkungan dan meningkatkan manfaat Sumber Daya Alam mencakup tiga hal penting.
Pertama, meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas perusahaan yang
berkaitan pengrusakan lingkungan hidup dan melakukan penegakan hukum terhadap
pencemar dan perusak lingkungan sebagai suatu kejahatan. Kedua,
konsistensi dari seluruh stakeholders pembangunan dalam kepatuhannya
terhadap berbagai produk legislasi di bidang lingkungan hidup dan PSDA. Ketiga,
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan SDA
yang berorientasi kepada pelestarian dan kelestarian lingkungan hidup.
Keseluruhan
peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam KUHP
maupun UU khusus di luar KUHP, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem
pemidanaan yang terdiri dari aturan umum (generalis rules) dan aturan
khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP dan
aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di
luar KUHP. di dalam hukum pidana berlaku asas legalitas (nullum
delictum sine praevia poenali) artinya “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum
kecuali atas kekuatan hukum pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu
daripada perbuatan itu”. Apakah orang yang melakukan kesalahan itu dapat
dipidana atau tidak hal itu tergantung apakah ia mempunyai kesalahan.
Untuk memberikan arti
tentang kesalahan yang merupakan syarat untuk menjatuhkan pidana, delik
merupakan pengertian psyikologis perhubungan antara keadaan jiwa sipembuat
dengan terjadinya unsur-unsur delik karena perbuatannya, kesalahan adalah
pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verantwoordelijkheid rechtens)
dan sistem aturan hukum pidana materil untuk pemidanaan atau norma hukum pidana
materil untuk pemberian/penjatuhan pidana berupa sanksi di dalam
pengoperasionalannya.1
Selanjutnya berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana di
dalam sistem pemidanaan maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya
kesalahan (schuld) pada pelaku yang mempunyai tiga tanda, yakni
1.
Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan
perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de dader).
2.
Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan
perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.
3.
Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban
bagi si pembuat atas perbuatannya itu.
1 Barda
Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Dalam Ketentuan Umum Konsep RUU KUHP 2004,
Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM,
tanggal 23-24 Maret 2005, di Hotel Sahid, Jakarta, hlm. 3
4.
Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban
bagi si pembuat atas perbuatannya itu. 2
Penegakan hukum di dalam sistem pemidanan terhadap pelaku
kejahatan di bidang lingkungan hidup dengan penggunaan hukum pidana oleh sistem
peradilan pidana tidak dapat dipisahkan dari tujuan hukum pidana dan tujuan
sistem peradilan pidana. Adapun tujuan dari hukum pidana ialah penjatuhan
sanksi pidana yang merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan tujuan
memberikan efek jera bagi pelaku. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori
tujuan (utilitarian). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori
ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccattum
est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya
orang jangan melakukan kejahatan).
2.
Permasalahan
Sehubungan dengan latar belakang tersebut di atas, maka pokok
permasalahan dalam makalah yang berjudul “ Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan
Hidup Yang Dilakukan oleh Korporasi “ adalah sebagai berikut :
a.
Bagaimana pengaturan kejahatan di bidang lingkungan hidup
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ?
b.
Bagaimana pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang
dilakukan oleh korporasi ?
c.
Bagaimana hambatan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan
korporasi di bidang lingkungan hidup ?
2 Dwidja
Priyatno, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia, Bandung: Utomo, 2004, hlm. 34
3.
Maksud dan
Tujuan
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini berdasarkan
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan diatas, adalah sebagai berikut
:
a.
Untuk mengetahui pengaturan kejahatan di bidang lingkungan
hidup berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ?
b.
Untuk menganalisa pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup
yang dilakukan oleh korporasi ?
c.
Untuk mengetahui hambatan penegakan hukum terhadap pelaku
kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup ?
4.
Kegunaan
Penulisan
Semoga dalam penulisan makalah
ini dapat berguna bagi semua pihak.
Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dan
dapat berguna untuk menambah khazanah keilmuan terutama di bidang hukum dan
semoga keberadaan makalah ini dapat memberi masukan bagi semua pihak.
5.
Metode
Penulisan
Metode penulisan yang
digunakan pada makalah ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu berpedoman pada tinjauan kepustakaan yang
dapat dijelaskan sebagai berikut : Melalui penelitian normatif melalui study kepustakaan (library research) yaitu bahan-bahan yang diperoleh melalui
buku-buku dan tulisan lainnya.
6.
Sistematika
Penulisan
Dalam memudahkan memahami
isi paper ini penulis menyusun makalah ini dalam beberapa bab, lebih jelasnya
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Permasalahan
2.
Permasalahan
3.
Maksud
Dan Tujuan
4.
Kegunaan
Penulisan
5.
Metode
Penulisan
6.
Sistematika
Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengaturan kejahatan di bidang lingkungan hidup berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
2.
Pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang dilakukan
oleh korporasi.
3.
Hambatan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korporasi
di bidang lingkungan hidup.
BAB III PENUTUP
1.
Kesimpulan
2.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengaturan kejahatan di
bidang lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup berkaitan erat dengan pendayagunaan sumber daya alam sebagai
suatu asset mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
diperkenalkan suatu rumusan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup. Disebutkan dalam ketentuan berwawasan lingkungan hidup adalah
upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber
daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan
mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Selanjutnya dalam UU ini
dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup
dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu sistem pembangunan.
Hal ini dapat dilihat dalam rumusan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang
menyatakan: “pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung
jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seluruhnya. Mengenai “asas berkelanjutan”
penjelasan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyatakan “asas berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul
kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap
sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab
tersebut. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yakni
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam
dimaksud diatur dalam Bab IV tentang wewenang pengelolaan lingkungan hidup.
Secara umum dalam Pasal 1 angka (10) disebutkan bahwa sumber daya adalah unsur
lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam baik
hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan. Pasal 8 Undang-Undang ini
menentukan sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh
pemerintah. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pemerintah telah
melaksanakan berbagai upaya pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup.
Penentuan kejahatan lingkungan hidup harus dimulai dari
penempatan kejahatan lingkungan hidup di dalam undang-undang, yang lazim
dikatakan sebagai Kriminalisasi.
Sudarto menyatakan bahwa mengenai masalah kriminalisasi harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur secara merata baik materil
dan seprituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan
hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan terhadap
tindakan penanggulangan itu sendiri, demi keselamatan dan pengayoman
masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugiaan (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada
kelampauan beban tuga (overbelasting). 3
Tindak pidana lingkungan hidup dikriminalisasi melalui
perangkat hukum yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
3Sudarto, Hukum
dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981, hlm. 44-47,
Undang-undang tersebut merupakan payung hukum (umbrella
act) dari undang-undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan
hidup. Pengaturan menyangkut lingkungan hidup sebelum lahirnya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terkait kejahatan di bidang pengelolaan
lingkungan hidup yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dapat
dilihat dari perumusan Pasal 69 yang menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang dilarang:
a. melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
b. memasukkan B3
yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
c. memasukkan
limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke
media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. memasukkan
limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e. membuang limbah
ke media lingkungan hidup.
f. membuang B3 dan
limbah B3 ke media lingkungan hidup.
g. melepaskan
produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan.
h. melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar.
i. menyusun amdal
tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal, dan/atau
j. memberikan
informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau
memberikan keterangan yang tidak benar.(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah
masing-masing.
Selain ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 di atas maka menyangkut kriminalisasi kejahatan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan juga diatur dalam Pasal 98 sampai
dengan Pasal 115. Adapun ketentuan dimaksud sebagai berikut :
Pasal 98 :
(1) “Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah)”.
(2) “Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau
bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah)”.
(3) “Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah)”.
Pasal 99 :
(1) “Setiap orang
yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien,
baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2) ”Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau
bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”.
(3) “Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah)”.
Pasal 100 :
(1) “Setiap orang yang melanggar baku mutu air
limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)”.
(2) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi
administrative yang telah di jatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan
lebih dari satu kali”.
Pasal 101 :
“Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 102:
“Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah)”.
Pasal 103 :
“Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)”.
Pasal 104:
”Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan
hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)”.
Pasal 105:
” Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan
paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.
Pasal 106:
” Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.
Pasal 107:
“Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan
perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.
Pasal 108:
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah)”.
Pasal 109:
” Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 110:
” Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi
penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 111:
(1) “Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan ijin lingkungan tanpa
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada pasal 37 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2) “
Pejabat pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan ijin usaha
dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud
pada pasal 40 ayat (1) di dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 112:
“ Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan
pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah)”.
Pasal 113:
“ Setiap orang yang memberikan informasi palsu, mennyesatkan, menghilangkan
informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang
diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal 114:
“ Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal
115:” Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau
menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau
pejabat penyidik pegawai negri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)”.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
adalah adanya penguatan yang terdapat dalam undang-undang ini tentang
prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan
pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan
dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan Beberapa point penting
dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 antara lain :
a.
Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
b.
Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
c.
Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d.
Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup, Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
e.
Pendayagunaan
pendekatan ekosistem;
f.
Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan
lingkungan global;
g.
Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h.
Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara
lebih jelas;
i.
Penguatan kelembagaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif;
dan
j.
Penguatan kewenangan
pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan
hidup.
Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan
yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mensyaratkan bahwa yang dimaksud perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dalam undang-undang meliputi:
a.
Aspek Perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi
lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH.
b.
Aspek Pemanfaatan Sumber daya Alama yang dilakukan
berdasarkan RPPLH. Tetapi dalam undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu
daerah belum menyusun RPPLH maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan
berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
c.
Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
d.
Dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru,
antara lain: KLHS, tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL,
UKL-UPL, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan
perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan
hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen
lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
e.
Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya
konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian
fungsi atmosfer.
f.
Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi:
1)
Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi
pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang
menebitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk
rekayasa genetikan tanpa hak, pengelola limbah B3 tanpa izin, melakukan dumping
tanpa izin, memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan,
2)
Pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH)
dan penyidik pengawai negeri sipil (PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan
fungsional.
3)
Ada pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dan perdata AMDAL
Dalam UU NO. 32 TAHUN 2009. Dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya
mengatur tentang AMDAL. Pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009 berbeda
dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya kalimat dampak besar. Jika dalam
UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar
dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup , sedangkan pada UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa, AMDAL adalah
kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan.
4)
Hal baru yang penting terkait dengan AMDAL yang termuat dalam
UU No. 32 Tahun 2009, antara lain: Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki
sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL; Komisi penilai AMDAL Pusat,
Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi AMDAL; Amdal dan UKL/UPL
merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan; Izin lingkungan
diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati.
Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijabarkan pula bahwa
penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi
lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau
program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian
lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus
selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai
konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus
dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan
tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat
bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana,
dan pengaturan memperhatikan azas ultimum remedium yang mewajibkan
penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan
penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum
remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu
penindakan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Menyangkut ultimum remedium Alvi Syahrin dalam buku
“Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan” mengemukakan bahwa :
“hukum pidana
dipandang sebagai ultimum remedium artinya hukum pidana hendaknya
dipandang sebagai upaya yang terakhir dalam memperbaiki kelakukan manusia.
Perkataan ultimum remedium ini pertama sekali dipergunakan oleh Menteri
Kehakiman Belanda yaitu Mr Modderman dalam menjawab pertanyaan Mr Mackay
seorang anggota parlemen Belanda mengenai dasar hukum perlunya penjatuhan
hukuman bagi seseorang yang telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Atas
pertanyaan tersebut Modderman menyatakan:”... bahwa yang dapat dihukum itu
pertama-tama adalah pelanggaran-pelanggaran hukum. Ini merupakan conditio
sine qua non (syarat yang tidak boleh tidak ada). Kedua, yang dapat dihukum
itu adalah pelanggaran-pelanggaran hukum, yang menurut pengalaman tidaklah
dapat ditiadakan dengan cara-cara lain. Hukuman itu hendaknya merupakan suatu
upaya terakhir (ultimum remedium). Memang terhadap setiap ancaman pidana
ada keberatannya. Setiap orang yang berpikir sehat akan mengerti hal tersebut
tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan,
tetapi harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian ancaman pidana
benar-benar menjadi upaya penyembuhan serta harus menjaga jangan sampai membuat
penyakitnya lebih parah”. 4
Dalam pelaksanaan penegakkan hukum yang terdapat dalam
Undang-Undang ini meliputi prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena
dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen penanggulangan dan
penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi,
akuntabilitas, dan keadilan. Melalui Peraturan Perundangan ini juga, Pemerintah
memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang
tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Penegakan hukum pidana dalam
Undang-Undang 32 Tahun 2009 yakni tindak pidana pencegahan pencemaran. Terkait
tindak pidana lingkungan hidup undang-undang merumuskan berupa :
a.
melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
4 Alvi
Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Jakarta: PT.
Sofmedia, 2009, hlm. 9
b.
melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan
orang mati atau luka berat.
c.
melakukan perbuatan
melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: Pertama, melepaskan atau
membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk
di dan/atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air. Kedua, impor,
ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi,
yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau
membahayakan kesehatan umum.
d.
melakukan perbuatan berupa
memberikan informasi palsu, atau menghilangkan informasi, atau menyembunyikan
informasi atau merusak informasi yang diperlukan (dalam kaitannya dengan
perbuatan angka 3 di atas), yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau
nyawa orang lain.
e.
melakukan perbuatan pada
angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.
2.
Pertanggungjawaban pidana
lingkungan hidup yang dilakukan oleh Korporasi
Masalah
tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa
dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, di situ ada
tindak pidana. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan masyarakat
itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana
tidak mungkin tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus
melainkan hanya dapat dikurangi atau diminimalisir intensitasnya. Dijelaskan
bahwa tindak pidana sama sekali tidak dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan
hanya dapat dihapuskan sampai pada batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan
karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara sempurna. Disamping
itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu
dengan yang lain, sehingga bukan tidak mungkin berangkat dari perbedaan
kepentingan tersebut justru muncul berbagai pertentangan yang bersifat
prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat karena dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan
pada ketertiban sosial. Dengan demikian sebelum menggunakan pidana sebagai
alat, diperlukan permahaman terhadap alat itu sendiri. Pemahaman terhadap
pidana sebagai alat merupakan hal yang sangat penting untuk membantu memahami
apakah dengan alat tersebut tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai.
Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan
yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu.5 Bila
dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam.
R. Soesilo
menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan
bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak
(sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah
melanggar Undang-undang hukum pidana.6
Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan
orang supaya jangan berbuat jahat.7 Secara
umum istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman.
5 Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni,
1984, hlm. 2.
6 R. Soesilo,
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap
pasal demi pasal, Bogor: Politeia, 1996, hlm 35,
7 Ibid,
Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian
yang berbeda. Pembedaan antara kedua istilah di atas perlu diperhatikan, oleh
karena penggunaannya sering dirancukan. Hukuman adalah suatu pengertian umum,
sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan
kepada seseorang. Sedang pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan
dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya
dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.8
Selanjutnya terkait penghukuman pelaku tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi di bidang lingkungan hidup (korporasi dapat dipidana)
maka pemidanan terhadap korporasi di atur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya Pasal 98
ayat (1) mengandung beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam kerangka penerapan
pemidanaan yakni: Pertama, unsur barang siapa. Kedua, secara
melawan hukum. Ketiga, dengan sengaja. Keempat, melakukan
perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu
air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Sedangkan Pasal 116 ayat
(1)
menyebutkan bahwa “apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh,
untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan
kepada: badan usaha; dan atau orang yang memberikan perintah untuk melakukan
tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut. jika tindak pidana sebagaimana di maksud dalam
pasal ini, dilakukan oleh atau atas orang yang berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha maka
sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam
8 Andi
Hamzah, Stelsel Pidana dan pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983, hlm. 1.
tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara
sendiri atau bersama-sama. Ayat (2) menyatakan bahwa apabila tindak pidana
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam
lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah
atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana
tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Selanjutnya Pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
menyatakan bahwa jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau
pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b,
ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat
dengan sepertiga. Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116
ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili
oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Berdasarkan rumusan Pasal 116 ayat (1) di atas mensyaratkan
bahwa pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan kerusakan lingkungan hidup
dapat dijatuhkan kepada badan usaha; dan atau orang yang memberikan perintah
untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Oleh karenanya korporasi dalam
upaya pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban untuk membuat
kebijakan/langkah-langkah yang harus diambilnya yaitu :
a.
Merumuskan kebijakan di bidang lingkungan;
b.
Merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak (pantas)
serta menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
lingkungan tersebut;
c.
Merumuskan intruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan
aktifitas-aktifitas yang menganggu lingkungan dimana juga harus diperhatikan
pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yang
diberlakukan perusahaan yang bersangkutan.
d.
Penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya
pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup;
Singgih
dalam Mahmul Mulyadi menyatakan bahwa
kejahatan korporasi (corporate crime) dibagi dan didefenisikan dalam 6 (enam)
kategori yaitu:
1. Defrauding the stock holders (perusahaan tidak melaporkan
besar keuntungan yang sebenarnya kepada pemegang saham).
2. Defrauding the public (mengelabui publik tentang
produk-produk terutama yang berkaitan dengan mutu dan bahan).
3. Defrauding the Government (membuat laporan pajak yang
tidak benar).
4. Endangering employess (perusahaan yang tidak
memperhatikan keselamatan kerja para karyawan).
5. Illegal intervention in the political process (berkolusi
dengan partai politik dengan memberikan sumbangan kampanye).
6. Endangering the
public welfare (proses produksi yang menimbulkan polusi yakni debu, limbah,
suara dan lain sebagainya. 9
Berbagai
fakta dan data tentang kejahatan korporasi di tingkat nasional, misalnya
pencemaran kali Brantas yang dilakukan oleh pabrik tahu PT. Sidomakmur, kasus
Indorayon Utama di Sumatera Utara dan bahkan kasus yang masih hangat
dibicarakan dan menjadi perhatian sekarang ini bagi semua elemen lapisan
masyarakat, dalam menggambarkan perilaku korporasi yang membahayakan dan
merugikan masyarakat luas adalah ”kasus lumpur Lapindo Brantas” di Sidoharjo,
semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyrakat sekita,
dimana lumpur ini telah menggenangi dua belas desa dan tiga kecamatan.
9Singgih
dalam Mahmul Mulyadi, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi,
Jakarta: PT. Sofmedia, 2010, hlm. 26-28,
Kasus
lumpur Lapindo Brantas ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate
crime). Jika terhadap kewajiban-kewajiban, korporasi tidak atau
kurang memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk
mengasumsikan bahwa korporasi kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam
mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang. Selanjutnya, untuk
menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan khususnya
kejahatan korporasi (corporate crime), ada beberap faktor yang harus
diperhatikan yaitu :
a.
Apakah kasus tersebut berkenaan dengan tindak pidana dimana
gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tindak pidana.
b.
Norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku
yang mengganggu lingkungan.
c.
Sifat, struktur dan bidang kerja dari badan hukum tersebut. 10
3. Hambatan
penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup
Kerusakan
lingkungan hidup dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh
karena itu sumberdaya alam dan lingkungan hidup pun harus dilindungi. Namun
sayangnya kejahatan terhadap lingkungan hidup di Indonesia masih kerap terjadi.
Hukum terkait Lingkungan Hidup menjadi instrumen yang penting dalam usaha
menyelamatkan lingkungan hidup. Berikut ini merupakan Faktor Penghambat
Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia
10 Ibid,
a.
Kurangnya Sosialiasi Kepada Masyarakat Terkait Hukum
Lingkungan
Pemerintah
senantiasa memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas berkaitan penegakan
hukum lingkungan, karena penegakan hokum lingkungan ini jauh lebih rumit dari
pada delik lain, Seperti telah dikemukakan sebelumnya hukum lingkungan
menempati titik silang berbagai pendapat hukum klasik. Proses penegakan hukum
administratif akan lain dari pada proses penegakan hukum perdata maupuan hukum
pidana.
Pada umumnya masalah dimulai pada satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat, korban penegak hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan tidak dapat diproses. Tujuan tempat pelapor kepada Bapedal, LSM atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih jalan perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat (algemen belang, maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu memikul biaya perkara, berdasarkan Pasal 25 Keppres Nomor 55 tahun 1991, dapat meneruskan kepada jaksa yang akan menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Di kejaksaan terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.
Pada umumnya masalah dimulai pada satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat, korban penegak hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan tidak dapat diproses. Tujuan tempat pelapor kepada Bapedal, LSM atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih jalan perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat (algemen belang, maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu memikul biaya perkara, berdasarkan Pasal 25 Keppres Nomor 55 tahun 1991, dapat meneruskan kepada jaksa yang akan menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Di kejaksaan terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.
Disamping
itu, jika anggota masyarakat, korban, LSM, organisasi lingkungan hidup, bahkan
siapa saja dapat membuat laporan pidana kepada polisi. Siapa pun juga yang mengetahui
terjadinya kejahatan lingkungan wajib melapor kepada penyidik. Dari kepolisian
dapat diminta petunjuk jaksa secara teknis yuridis.
b.
Kendala Dalam Pembuktian
Kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya memberikan
dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran).
Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya,
sehingga pihak lain yang dirugikan. Hal ini akan merupakan kendala pada era
tinggal landas, karena kondisi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak
untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat. Masalah pencemaran ini jika
tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk
dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan pencemaran perlu
penyidikan, penyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI. Untuk itu di samping
diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga diperlukan suatu model
yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah memenuhi
unsur pasal (Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982), seperti halnya dengan kasus Kali
Surabaya. Polisi (penyidik) dalam penyidikan berkesimpulan bahwa telah terjadi
pencemaran karena kesengajaan, sehingga perkara ini diajukan ke Pengadilan
Negeri Sidoardjo, tetapi hakim memutuskan bahwa tidak terjadi pencemaran.
Sedangkan pada tingkat Mahkamah Agung menilai bahwa Hakim Pengadilan Negeri
Sidoardjo salah menerapkan hukum, selanjutnya MA memutuskan bahwa perbuatan
tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan mencemari lingkungan hidup karena
kelalaian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan hidup
merupakan permasalahan kompleks, rumit dalam segi pembuktian dan penerapan
pasal, serta subyektifitas pengambil keputusan cukup tinggi, sehingga perlu
suatu media untuk menyederhanakan, memudahkan dan meminimisasi unsur subyektifitas.
c.
Infrastruktur Penegakan Hukum
Kesulitan
utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum dalam
mengatasi tindak pidana lingkungan hidup adalah minimnya aparat pemantau, atau
minimnya alat bukti. Dalam hal tertangkap tangan maka yang dijerat adalah para
operator yang notabene adalah pekerja harian. Perusahaan selalu dapat lepas
dari jeratan hukum. Kompleksitas masalah lingkungan hidup bukan tanpa jalan
keluar. Negara harusnya memiliki power untuk mencabut izin operasi atau konsesi
atas perusahaan yang yang melanggar. Hanya ada dua kemungkinan jika terjadi perusakan/pencemaran
lingkungan hidup yaitu mereka sengaja atau mereka tidak serius menjaga kawasannya
agar bebas kerusakan. Jika ada kekuasaan pemerintah seperti itu, maka dapat
dipastikan angka pelanggaran lingkungan hidup akan turus secara drastis. Untuk
itu diperlukan suatu aturan hukum berupa Peraturan Pemerintah atau Perpu,
karena aturan hukum yang ada saat ini belumlah memadai.
d.
Budaya hukum yang masih buruk
Pada
beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun
DPR. Lobi-lobi illegal masih sering terjadi. Memang bukanlah pekerjaan yang
mudah untuk memberantas praktek KKN yang kerapkali terjadi, namun bukanlah
tidak mungkin.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a. Dinamika petumbuhan perekonomian di Indonesia
harus diiringi dengan pembangunan lingkungan hidup secara berkelanjutan (sustainable
development), hal ini disebabkan masalah lingkungan hidup dan pengelolaan
sumber daya alam mengalami tekanan yang sangat luar biasa misalnya terjadinya
pencemaran sebagai suatu tindakan melawan hukum sebagaimana telah digariskan
oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
b. Pertanggungjawaban pidana berkaitan
erat dengan unsur kesalahan. Unsur kesalahan merupakan jantung dari pertanggungjawaban
pidana. Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana, dijatuhi hukuman pidana
tanpa kesalahan. Pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang dilakukan
korporasi berdasarkan kesalahan (liability based on fault) atau pada prinsipnya
menganut asas kesalahan atau asas culpabilitas.
c. Faktor penghambat dalam penegakan hukum
lingkungan terletak kepada manusia yang hidup disekitarnya, baik itu sebagai
kamunitas masyarakat maupun sebagai aparat pemerintah yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk menegakan hukum / peraturan tentang lingkungan hidup.
2.
Saran
a.
Perlunya Sosialisasi dan
kesadaran masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup karena
lingkungan hidup adalah warisan untuk anak cucu nantinya
b.
Meningkatkan profesional
penyidik dalam menangani tindak pidana lingkungan hidup dalam mengungkap
danmemberikan keadilan bagi seluruh masyarakat.
c.
Mengefektifkan aparat
pemerintah lainnya dalam pengawasan lingkungan hidup.
d.
Semua pihak harus mempunyai
budaya malu jika melanggar hukum.