Rabu, 28 Januari 2015

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA LINGKUNGAN HIDUP YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI



BAB I
PENDAHULUAN


1.         Latar Belakang Permasalahan

Arah dan pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dilandasi oleh cara pandang (visi) yang luas dan tajam jauh ke depan dengan misi yang jelas dan program-program nyata yang bermanfaat dalam rangka mewujudkan suatu kebijaksanaan program pengelolaan lingkungan hidup dengan paradigma, mengintegrasikan tuntutan penerapan hak asasi, demokrasi dan lingkungan hidup dalam suatu kelestarian fungsi lingkungan yang menunjang pelestarian fungsi lingkungan. Banyak pihak berharap (seluruh elemen masyarakat) bahwa Undang-undang (UU) No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbuah manis. Pasalnya, sebelum dilakukannya revisi terhadap UU tersebut publik selalu dirugikan dan dikalahkan dalam kasus apapun yang bersentuhan dengan penegakan hukum lingkungan.
Masih hangat diingatan, bagaimana Lapindo, perusahaan milik mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie meluluhlantakkan hampir sebagian daratan Sidoarjo, Jawa Timur menjadi lautan Lumpur yang kita kenal dengan LUSI (lumpur sidoarjo). Kemudian ganasnya perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) PT. Freeport Indonesia yang menggerus alam Papua dan bopeng-bopengnya Bangka Belitung oleh mesin-mesin penggerus PT. Timah. Dinamika petumbuhan perekonomian di Indonesia harus diiringi dengan pembangunan lingkungan hidup secara berkelanjutan (sustainable development), hal ini disebabkan masalah lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam mengalami tekanan yang sangat luar biasa misalnya terjadinya pencemaran sebagai suatu tindakan melawan hukum.
Bahwa dalam sistem pertanggungjawaban pidana di dasarkan kepada schuld si pelaku tindak pidana. Dipidanannya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu melakukan perbuatan melawan hukum, memenuhi rumusan delik dan dapat di pertanggungjawabkan dengan dasar bahwa perbuatan itu subjektive guilt. sebagaimana telah digariskan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pencemaran terhadap tanah, air dan udara pada hakekatnya sebagai implikasi dari pesatnya aktivitas industri dan penggunaan pestisida merupakan persoalan yang tidak dapat terhindarkan. Kehancuran hutan dan lahan yang berdampak pada kekeringan panjang serta mengakibatkan banjir merupakan masalah susulan lainnya. Sampai saat ini, berbagai masalah yang ditimbulkan dari aktivitas perusahaan berdampak penting terhadap lingkungan hidup dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA). Untuk itu, berbagai masalah lingkungan memerlukan penanganan yang cepat, terencana, terukur dan terarah sehingga dapat mengimbangi pesatnya kegiatan pembangunan dan industrialisasi yang sering mengabaikan paradigma kelestarian fungsi lingkungan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui proses penegakan hukum untuk meminta pertanggungjawaban atas kesalahan pelaku.
Berbagai upaya yang dapat ditempuh untuk menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan manfaat Sumber Daya Alam mencakup tiga hal penting. Pertama, meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas perusahaan yang berkaitan pengrusakan lingkungan hidup dan melakukan penegakan hukum terhadap pencemar dan perusak lingkungan sebagai suatu kejahatan. Kedua, konsistensi dari seluruh stakeholders pembangunan dalam kepatuhannya terhadap berbagai produk legislasi di bidang lingkungan hidup dan PSDA. Ketiga, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan SDA yang berorientasi kepada pelestarian dan kelestarian lingkungan hidup.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan yang terdiri dari aturan umum (generalis rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP. di dalam hukum pidana berlaku asas legalitas (nullum delictum sine praevia poenali) artinya “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum kecuali atas kekuatan hukum pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu”. Apakah orang yang melakukan kesalahan itu dapat dipidana atau tidak hal itu tergantung apakah ia mempunyai kesalahan.
Untuk memberikan arti tentang kesalahan yang merupakan syarat untuk menjatuhkan pidana, delik merupakan pengertian psyikologis perhubungan antara keadaan jiwa sipembuat dengan terjadinya unsur-unsur delik karena perbuatannya, kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verantwoordelijkheid rechtens) dan sistem aturan hukum pidana materil untuk pemidanaan atau norma hukum pidana materil untuk pemberian/penjatuhan pidana berupa sanksi di dalam pengoperasionalannya.1 

Selanjutnya berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana di dalam sistem pemidanaan maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku yang mempunyai tiga tanda, yakni
1.  Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de dader).
2.  Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.
3.  Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu.




 
1 Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Dalam Ketentuan Umum Konsep RUU KUHP 2004, Bahan Sosialisasi RUU KUHP 2004, diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan HAM, tanggal 23-24 Maret 2005, di Hotel Sahid, Jakarta, hlm. 3

4.  Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu. 2

Penegakan hukum di dalam sistem pemidanan terhadap pelaku kejahatan di bidang lingkungan hidup dengan penggunaan hukum pidana oleh sistem peradilan pidana tidak dapat dipisahkan dari tujuan hukum pidana dan tujuan sistem peradilan pidana. Adapun tujuan dari hukum pidana ialah penjatuhan sanksi pidana yang merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan tujuan memberikan efek jera bagi pelaku. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccattum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).


2.         Permasalahan

Sehubungan dengan latar belakang tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam makalah yang berjudul “ Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan Hidup Yang Dilakukan oleh Korporasi “ adalah sebagai berikut :
a.         Bagaimana pengaturan kejahatan di bidang lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ?
b.         Bagaimana pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi ?
c.         Bagaimana hambatan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup ?


 
2 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung: Utomo, 2004, hlm. 34

3.         Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan diatas, adalah sebagai berikut :
a.         Untuk mengetahui pengaturan kejahatan di bidang lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ?
b.         Untuk menganalisa pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi ?
c.         Untuk mengetahui hambatan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup ?

4.         Kegunaan Penulisan

Semoga dalam penulisan makalah ini dapat berguna bagi semua pihak.  Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dan dapat berguna untuk menambah khazanah keilmuan terutama di bidang hukum dan semoga keberadaan makalah ini dapat memberi masukan bagi semua pihak.

5.         Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan pada makalah ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu berpedoman pada tinjauan kepustakaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Melalui penelitian normatif melalui study kepustakaan (library research) yaitu bahan-bahan yang diperoleh melalui buku-buku dan tulisan lainnya.




6.         Sistematika Penulisan

Dalam memudahkan memahami isi paper ini penulis menyusun makalah ini dalam beberapa bab, lebih jelasnya sebagai berikut :

BAB I  PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang Permasalahan
2.        Permasalahan
3.        Maksud Dan Tujuan
4.        Kegunaan Penulisan
5.        Metode Penulisan
6.        Sistematika Penulisan

BAB II  PEMBAHASAN
1.        Pengaturan kejahatan di bidang lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
2.        Pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi.
3.        Hambatan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup.

BAB III PENUTUP
1.        Kesimpulan
2.        Saran

DAFTAR PUSTAKA





BAB II
PEMBAHASAN


1.         Pengaturan kejahatan di bidang lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

 Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan pendayagunaan sumber daya alam sebagai suatu asset mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diperkenalkan suatu rumusan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Disebutkan dalam ketentuan berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Selanjutnya dalam UU ini dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu sistem pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menyatakan: “pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seluruhnya. Mengenai “asas berkelanjutan” penjelasan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan “asas berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam dimaksud diatur dalam Bab IV tentang wewenang pengelolaan lingkungan hidup. Secara umum dalam Pasal 1 angka (10) disebutkan bahwa sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan. Pasal 8 Undang-Undang ini menentukan sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup.
Penentuan kejahatan lingkungan hidup harus dimulai dari penempatan kejahatan lingkungan hidup di dalam undang-undang, yang lazim dikatakan sebagai Kriminalisasi. Sudarto menyatakan bahwa mengenai masalah kriminalisasi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur secara merata baik materil dan seprituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi keselamatan dan pengayoman masyarakat.
b.  Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugiaan (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat.
c.  Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tuga (overbelasting). 3 

Tindak pidana lingkungan hidup dikriminalisasi melalui perangkat hukum yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).


 
3Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981, hlm. 44-47,
Undang-undang tersebut merupakan payung hukum (umbrella act) dari undang-undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup. Pengaturan menyangkut lingkungan hidup sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terkait kejahatan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dapat dilihat dari perumusan Pasal 69 yang menyatakan bahwa:

 (1)    Setiap orang dilarang:
a.      melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
b.      memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c.      memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d.      memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e.      membuang limbah ke media lingkungan hidup.
f.       membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.
g.      melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan.
h.      melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
i.       menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal, dan/atau
j.        memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

Selain ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 di atas maka menyangkut kriminalisasi kejahatan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan juga diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 115. Adapun ketentuan dimaksud sebagai berikut :
Pasal 98 :
(1)     “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
(2)     “Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.
(3)     “Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Pasal 99 :
(1)     “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2)     ”Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”.
(3)     “Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah)”.

Pasal 100 :
 (1)    “Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2)     Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administrative yang telah di jatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali”.

Pasal 101 : “Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 102: “Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 103 : “Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 104: ”Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 105: ” Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.

Pasal 106: ” Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Pasal 107: “Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Pasal 108: “Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

Pasal 109: ” Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 110: ” Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 111: (1) “Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan ijin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2) “ Pejabat pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan ijin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada pasal 40 ayat (1) di dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 112: “ Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Pasal 113: “ Setiap orang yang memberikan informasi palsu, mennyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 114: “ Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 115:” Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah adanya penguatan yang terdapat dalam undang-undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan Beberapa point penting dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 antara lain :
a.         Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
b.         Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
c.         Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d.         Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
e.          Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
f.          Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
g.         Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h.        Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
i.           Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan
j.            Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.

Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mensyaratkan bahwa yang dimaksud perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam undang-undang meliputi:
a.         Aspek Perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH.
b.         Aspek Pemanfaatan Sumber daya Alama yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi dalam undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
c.         Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
d.         Dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: KLHS, tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, UKL-UPL, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
e.         Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian fungsi atmosfer.
f.          Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi:
                 
1)        Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetikan tanpa hak, pengelola limbah B3 tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan,
2)        Pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik pengawai negeri sipil (PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan fungsional.
3)        Ada pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dan perdata AMDAL Dalam UU NO. 32 TAHUN 2009. Dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang AMDAL. Pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009 berbeda dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya kalimat dampak besar. Jika dalam UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup , sedangkan pada UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa, AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan.
4)        Hal baru yang penting terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009, antara lain: Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL; Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi AMDAL; Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan; Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati.

Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijabarkan pula bahwa penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan memperhatikan azas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu penindakan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Menyangkut ultimum remedium Alvi Syahrin dalam buku “Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan” mengemukakan bahwa :
“hukum pidana dipandang sebagai ultimum remedium artinya hukum pidana hendaknya dipandang sebagai upaya yang terakhir dalam memperbaiki kelakukan manusia. Perkataan ultimum remedium ini pertama sekali dipergunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda yaitu Mr Modderman dalam menjawab pertanyaan Mr Mackay seorang anggota parlemen Belanda mengenai dasar hukum perlunya penjatuhan hukuman bagi seseorang yang telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Atas pertanyaan tersebut Modderman menyatakan:”... bahwa yang dapat dihukum itu pertama-tama adalah pelanggaran-pelanggaran hukum. Ini merupakan conditio sine qua non (syarat yang tidak boleh tidak ada). Kedua, yang dapat dihukum itu adalah pelanggaran-pelanggaran hukum, yang menurut pengalaman tidaklah dapat ditiadakan dengan cara-cara lain. Hukuman itu hendaknya merupakan suatu upaya terakhir (ultimum remedium). Memang terhadap setiap ancaman pidana ada keberatannya. Setiap orang yang berpikir sehat akan mengerti hal tersebut tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian ancaman pidana benar-benar menjadi upaya penyembuhan serta harus menjaga jangan sampai membuat penyakitnya lebih parah”. 4 

Dalam pelaksanaan penegakkan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang ini meliputi prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Melalui Peraturan Perundangan ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 yakni tindak pidana pencegahan pencemaran. Terkait tindak pidana lingkungan hidup undang-undang merumuskan berupa :
a.         melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.



 
4        Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Jakarta: PT. Sofmedia, 2009, hlm. 9  
b.         melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.
c.         melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: Pertama, melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di dan/atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air. Kedua, impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum.
d.         melakukan perbuatan berupa memberikan informasi palsu, atau menghilangkan informasi, atau menyembunyikan informasi atau merusak informasi yang diperlukan (dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di atas), yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
e.         melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.


2.         Pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh Korporasi

Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, di situ ada tindak pidana. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat dikurangi atau diminimalisir intensitasnya. Dijelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat dihapuskan sampai pada batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara sempurna. Disamping itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial. Dengan demikian sebelum menggunakan pidana sebagai alat, diperlukan permahaman terhadap alat itu sendiri. Pemahaman terhadap pidana sebagai alat merupakan hal yang sangat penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai.
Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.5 Bila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam.
R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana.6

Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat.7  Secara umum istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman.



 
5 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984, hlm. 2.
6 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor: Politeia, 1996, hlm 35,
7 Ibid,  
Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. Pembedaan antara kedua istilah di atas perlu diperhatikan, oleh karena penggunaannya sering dirancukan. Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.8 
Selanjutnya terkait penghukuman pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi di bidang lingkungan hidup (korporasi dapat dipidana) maka pemidanan terhadap korporasi di atur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya Pasal 98 ayat (1) mengandung beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam kerangka penerapan pemidanaan yakni: Pertama, unsur barang siapa. Kedua, secara melawan hukum. Ketiga, dengan sengaja. Keempat, melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan Pasal 116 ayat
(1) menyebutkan bahwa “apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: badan usaha; dan atau orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. jika tindak pidana sebagaimana di maksud dalam pasal ini, dilakukan oleh atau atas orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha maka sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam





 
8 Andi Hamzah, Stelsel Pidana dan pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hlm. 1.
tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Ayat (2) menyatakan bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Selanjutnya Pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Berdasarkan rumusan Pasal 116 ayat (1) di atas mensyaratkan bahwa pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan kerusakan lingkungan hidup dapat dijatuhkan kepada badan usaha; dan atau orang yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Oleh karenanya korporasi dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban untuk membuat kebijakan/langkah-langkah yang harus diambilnya yaitu :
a.         Merumuskan kebijakan di bidang lingkungan;
b.         Merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak (pantas) serta menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut;
c.         Merumuskan intruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktifitas-aktifitas yang menganggu lingkungan dimana juga harus diperhatikan pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yang diberlakukan perusahaan yang bersangkutan.
d.         Penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup;

Singgih dalam Mahmul Mulyadi  menyatakan bahwa kejahatan korporasi (corporate crime) dibagi dan didefenisikan dalam 6 (enam) kategori yaitu: 

1.      Defrauding the stock holders (perusahaan tidak melaporkan besar keuntungan yang sebenarnya kepada pemegang saham).
2.      Defrauding the public (mengelabui publik tentang produk-produk terutama yang berkaitan dengan mutu dan bahan).
3.      Defrauding the Government (membuat laporan pajak yang tidak benar).
4.      Endangering employess (perusahaan yang tidak memperhatikan keselamatan kerja para karyawan).
5.      Illegal intervention in the political process (berkolusi dengan partai politik dengan memberikan sumbangan kampanye).
6. Endangering the public welfare (proses produksi yang menimbulkan polusi yakni debu, limbah, suara dan lain sebagainya. 9

Berbagai fakta dan data tentang kejahatan korporasi di tingkat nasional, misalnya pencemaran kali Brantas yang dilakukan oleh pabrik tahu PT. Sidomakmur, kasus Indorayon Utama di Sumatera Utara dan bahkan kasus yang masih hangat dibicarakan dan menjadi perhatian sekarang ini bagi semua elemen lapisan masyarakat, dalam menggambarkan perilaku korporasi yang membahayakan dan merugikan masyarakat luas adalah ”kasus lumpur Lapindo Brantas” di Sidoharjo, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyrakat sekita, dimana lumpur ini telah menggenangi dua belas desa dan tiga kecamatan.



 
9Singgih dalam Mahmul Mulyadi, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Jakarta: PT. Sofmedia, 2010, hlm. 26-28,
Kasus lumpur Lapindo Brantas ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime). Jika terhadap kewajiban-kewajiban, korporasi tidak atau kurang memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa korporasi kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang. Selanjutnya, untuk menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan khususnya kejahatan korporasi (corporate crime), ada beberap faktor yang harus diperhatikan yaitu :

a.        Apakah kasus tersebut berkenaan dengan tindak pidana dimana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tindak pidana.
b.        Norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang mengganggu lingkungan.
c.         Sifat, struktur dan bidang kerja dari badan hukum tersebut. 10



3.      Hambatan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup

Kerusakan lingkungan hidup dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu sumberdaya alam dan lingkungan hidup pun harus dilindungi. Namun sayangnya kejahatan terhadap lingkungan hidup di Indonesia masih kerap terjadi. Hukum terkait Lingkungan Hidup menjadi instrumen yang penting dalam usaha menyelamatkan lingkungan hidup. Berikut ini merupakan Faktor Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia






 
10 Ibid,

a.         Kurangnya Sosialiasi Kepada Masyarakat Terkait Hukum Lingkungan

Pemerintah senantiasa memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas berkaitan penegakan hukum lingkungan, karena penegakan hokum lingkungan ini jauh lebih rumit dari pada delik lain, Seperti telah dikemukakan sebelumnya hukum lingkungan menempati titik silang berbagai pendapat hukum klasik. Proses penegakan hukum administratif akan lain dari pada proses penegakan hukum perdata maupuan hukum pidana.
Pada umumnya masalah dimulai pada satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat, korban penegak hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan tidak dapat diproses. Tujuan tempat pelapor kepada Bapedal, LSM atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih jalan perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat (algemen belang, maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu memikul biaya perkara, berdasarkan Pasal 25 Keppres Nomor 55 tahun 1991, dapat meneruskan kepada jaksa yang akan menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Di kejaksaan terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.
Disamping itu, jika anggota masyarakat, korban, LSM, organisasi lingkungan hidup, bahkan siapa saja dapat membuat laporan pidana kepada polisi. Siapa pun juga yang mengetahui terjadinya kejahatan lingkungan wajib melapor kepada penyidik. Dari kepolisian dapat diminta petunjuk jaksa secara teknis yuridis.



b.         Kendala Dalam Pembuktian

Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran). Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya, sehingga pihak lain yang dirugikan. Hal ini akan merupakan kendala pada era tinggal landas, karena kondisi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat. Masalah pencemaran ini jika tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan pencemaran perlu penyidikan, penyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI. Untuk itu di samping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga diperlukan suatu model yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah memenuhi unsur pasal (Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982), seperti halnya dengan kasus Kali Surabaya. Polisi (penyidik) dalam penyidikan berkesimpulan bahwa telah terjadi pencemaran karena kesengajaan, sehingga perkara ini diajukan ke Pengadilan Negeri Sidoardjo, tetapi hakim memutuskan bahwa tidak terjadi pencemaran. Sedangkan pada tingkat Mahkamah Agung menilai bahwa Hakim Pengadilan Negeri Sidoardjo salah menerapkan hukum, selanjutnya MA memutuskan bahwa perbuatan tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan mencemari lingkungan hidup karena kelalaian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan kompleks, rumit dalam segi pembuktian dan penerapan pasal, serta subyektifitas pengambil keputusan cukup tinggi, sehingga perlu suatu media untuk menyederhanakan, memudahkan dan meminimisasi unsur subyektifitas.

c.         Infrastruktur Penegakan Hukum

Kesulitan utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau aparat penegak hukum dalam mengatasi tindak pidana lingkungan hidup adalah minimnya aparat pemantau, atau minimnya alat bukti. Dalam hal tertangkap tangan maka yang dijerat adalah para operator yang notabene adalah pekerja harian. Perusahaan selalu dapat lepas dari jeratan hukum. Kompleksitas masalah lingkungan hidup bukan tanpa jalan keluar. Negara harusnya memiliki power untuk mencabut izin operasi atau konsesi atas perusahaan yang yang melanggar. Hanya ada dua kemungkinan jika terjadi perusakan/pencemaran lingkungan hidup yaitu mereka sengaja atau mereka tidak serius menjaga kawasannya agar bebas kerusakan. Jika ada kekuasaan pemerintah seperti itu, maka dapat dipastikan angka pelanggaran lingkungan hidup akan turus secara drastis. Untuk itu diperlukan suatu aturan hukum berupa Peraturan Pemerintah atau Perpu, karena aturan hukum yang ada saat ini belumlah memadai.

d.         Budaya hukum yang masih buruk

Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan, pemerintah maupun DPR. Lobi-lobi illegal masih sering terjadi. Memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memberantas praktek KKN yang kerapkali terjadi, namun bukanlah tidak mungkin.





BAB III
PENUTUP


1.         Kesimpulan

a.     Dinamika petumbuhan perekonomian di Indonesia harus diiringi dengan pembangunan lingkungan hidup secara berkelanjutan (sustainable development), hal ini disebabkan masalah lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam mengalami tekanan yang sangat luar biasa misalnya terjadinya pencemaran sebagai suatu tindakan melawan hukum sebagaimana telah digariskan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

b.    Pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan. Unsur kesalahan merupakan jantung dari pertanggungjawaban pidana. Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana, dijatuhi hukuman pidana tanpa kesalahan. Pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup yang dilakukan korporasi berdasarkan kesalahan (liability based on fault) atau pada prinsipnya menganut asas kesalahan atau asas culpabilitas.

c.    Faktor penghambat dalam penegakan hukum lingkungan terletak kepada manusia yang hidup disekitarnya, baik itu sebagai kamunitas masyarakat maupun sebagai aparat pemerintah yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk menegakan hukum / peraturan tentang lingkungan hidup.
 
2.         Saran

a.         Perlunya Sosialisasi dan kesadaran masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup karena lingkungan hidup adalah warisan untuk anak cucu nantinya
b.         Meningkatkan profesional penyidik dalam menangani tindak pidana lingkungan hidup dalam mengungkap danmemberikan keadilan bagi seluruh masyarakat.
c.         Mengefektifkan aparat pemerintah lainnya dalam pengawasan lingkungan hidup.
d.         Semua pihak harus mempunyai budaya malu jika melanggar hukum.