BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana
evolusi yang terus berkembang dari sisi keilmuan, maka pemikiran untuk
mengukuhkan keberadaan ilmu hukum untuk menjadi sebenar ilmu juga terus
berkembang. Di Indonesia, muncul yang dinamakan hukum Progresif yang diawali pada
sekitar tahun 2002. Hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum
positif (analytical jurisprudence)
yang dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan
Hukum Progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di
Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengahan tahun 1997. Jika
fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan
secara ideal, maka yang dialami dan terjadi di Indonesia sekarang ini adalah
sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut. Untuk mencari solusi
dari kegagalan penerapan analytical
jurisprudence, Hukum Progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum
dengan manusia. Progresivisme
bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik,
memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Dengan
demikian, asumsi dasar Hukum Progresif dimulai dari hakikat dasar “hukum adalah
untuk manusia”. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas
oleh ilmu hukum positif tetapi untuk manusia dalam rangka mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu
predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status “law in the making” (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).
Gagasan
yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang menggunakan
sarana analytical jurisprudence yang
bertolak dari premis peraturan dan logika. Bagi ilmu hukum positif (dogmatik),
kebenaran terletak dalam tubuh peraturan. Ini yang dikritik oleh hukum
progresif, sebab melihat hukum yang hanya berupa pasal-pasal, jelas tidak bisa
menggambarkan kebenaran dari hukum yang sangat kompleks. Ilmu yang tidak bisa
menjelaskan kebenaran yang kompleks dari realitas-empirik jelas sangat
diragukan posisinya sebagai ilmu hukum yang sebenarnya sebagai sebuah ilmu (genuine science).
Hukum
progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan
manusia dan masyarakat. Dalam posisi yang demikian ini, maka hukum progresif dapat
dikaitkan dengan developmental model hukum dari Nonet dan Selznick. Hukum progresif
juga berbagi paham dengan Legal Realism
dan Freirechtslehre. Meminjam istilah Nonet dan Selznick, Hukum Progresif
memiliki tipe responsif. Dalam tipe yang demikian itu, hukum selalu dikaitkan
pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Atau hukum
responsif mencoba mengatasi kepicikan (prokialisme) dalam moralitas masyarakat
serta mendorong pendekatan yang berorientasi pada masalah yang secara sosial
terintegrasi.1
Terkait
dengan Legal Realism dan Freirechtslehre,
hukum progresif melihat hukum tidak dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan
melihatnya dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang
timbul dari bekerjanya hukum. Oleh sebab kehadiran hukum dikaitkan dengan
tujuan sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound, yang menolak studi
hukum sebagai studi tentang peraturan-peraturan.2 Dengan demikian
dalam berolah ilmu, Hukum Progresif melampaui peraturan dan dokumen hukum yang
positivistik. Hukum Progresif juga dekat dengan teori-teori Hukum Alam,
yakni pada kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut ‘meta-juridical’. Dengan demikian, Hukum Progresif
mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan
hukum dari sudut ‘logika dan peraturan’. Hukum progresif tidak hanya berhenti
pada kritik atas sistem hukum liberal. Hukum progresif mengetengahkan paham
bahwa hukum itu tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum
perundang-undangan, tetapi ia juga digerakkan pada arah non-formal. Oleh sebab
hukum progresif berasumsi dasar bahwa hukum itu ada dan
hadir untuk manusia.
Reformasi
serta kritik-kritik negatif terhadap sistem dan penegakan hukum Indonesia
memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan tentang apa yang akan kita
lakukan untuk keluar dari situasi buruk. Tetapi, bagaimanapun suasana
keterpurukan masih menyisakan berkah, yaitu memberikan kesempatan kepada kita
untuk memikirkan perubahan secara tidak tanggung-tanggung pada akar filsafatnya
sekali.3 Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep
yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak
termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Hukum
yang masih abstrak tersebut perlu untuk diwujudkan atau di jabarkan, pada
tatanan inilah yang disebut dengan penegakan hukum. Penegakan hukum adalah rangkaian
proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi
tujuan daripada hukum di atas ke dalam masyarakat . Ketika hukum itu dibuat dan
wajib dilaksanakan maka penegakan hukum kemudian menjadi bagian yang tak
terpisahkan, oleh sebab itu, hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat
sebagai basis dari bekerjanya hukum. Hukum berada diantara dunia nilai-nilai
atau ide-ide yang bersifat abstrak dengan dunia kenyataan. Oleh karena hukum
bergerak diantara dua dunia yang berbeda, akibatnya sering terjadi ketegangan
pada saat hukum diterapkan. Saat hukum yang sarat dengan nilai-nilai atau
ide-ide hendak diwujudkan, maka hukum sangat terkait erat dengan berbagai macam
faktor yang mempengaruhi dari lingkungan seperti politik, sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat di mana hukum itu diberlakukan, seperti undang-undang
pornografi yang mendapat tantangan dan penolakan oleh warga Papua dikarenakan
kondisi budaya masyarakatnya berbeda dan bertolak belakang dengan undang-undang
pornografi tersebut. Dalam proses penegakan hukum dibutuhkan sebuah organisasi
yang bisa menerapkan atau mengkonkritkan hukum tersebut ke dalam masyarakat
seperti kepolisian, pengadilan dan lain-lain. Karena pada dasarnya hukum tidak
dapat dijalankan tanpa adanya sebuah organisasi yang berfungsi mewujudkan
atau merealisasikan
hukum di dalam masyarakat. Penegakan hukum mengandung supremasi nilai
substansial, yaitu keadilan. Namun semenjak hukum modern digunakan, pengadilan
bukan lagi menjadi tempat untuk mencari keadilan (searching of justice) tetapi Pengadilan kemudian bergeser menjadi
lembaga yang berkutat pada aturan main dan prosedur, dengan kata lain
pengadilan hanya sebagai lembaga penerapan peraturan undang-undang dan prosedur
saja. Dalam hukum modern, lembaga pengadilan telah kehilangan ruh nya sebagai house of justice. Hal ini sudah menjadi
rahasia umum lagi, bahkan pada tatanan substansi hukum pun dibuat secara khusus
oleh lembaga khusus dan mengikuti prosedur khusus yang disebut dengan
legislasi. Metode yang dipakai juga unik yang didasarkan pada paham “peraturan
dan logika” jadi wajar saja jika pengadilan sebagai organiasasi yang mewujudkan
hukum yang bersifat abstrak itu ke konkritisasi kehidupan nyata menjadi
bergeser fungsinya menjadi lembaga penerapan peraturan perundang-undangan atau
dengan kata lain hakim adalah corong undang-undang yang kadang dibutakan oleh paham
peraturan tadi. Menggunakan hukum modern, tidak begitu saja menjamin keadilan
dapat diberikan secara otomatis. Hal ini sangat tergantung pada bagaimana
aparat penegak hukum “menggunakan” atau “tidak menggunakan hukum”. Walaupun
aparat penegak hukum terlihat begitu sibuk bekerja siang dan malam, namun
situasi dunia berhukum kita tidak berubah dan jauh dari rasa keadilan
masyarakat. Hukum tetap gagal memberikan keadilan di tengah-tengah penderitaan
dan kemiskinan yang hampir melanda sebagian besar masyarakat, supremasi hukum
yang didengung-dengungkan hanyalah menjadi tanda atau symbol tanpa makna.
Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (Language
game) yang cenderung menipu dan mengecewakan karena lebih mementingkan kaum
borjuis atau kaum setan pemuja kekayaan dan kekuasaan salah satunya adalah
Gayus Tambunan yang bisa nonton tenis di Bali dan masih banyak lagi
koruptor-koruptor lainnya yang tidur dan makan dengan nyenyak hasil merampok
uang penguasa negeri ini. Lebih memalukan lagi korupsi sudah merajalela pada
tingkatan lembaga penegak hukum yang melibatkan aktor penegak hukum, mulai dari
polisi, jaksa, hakim, panitera, dan advokat serta masyarakat pencari keadilan.
Berbagai perilaku kolutif sudah menjadi ciri khas ketika orang berurusan dengan
aparat penegak hukum, mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai
peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Kejahatan ini merupakan bagian kecil dari
potret gelap dunia penegakan hukum kita, yang mengakibatkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap hukum dan tumbangnya keadilan. Sehingga muncul perkataan
atau pernyataan bahwa berikan saya jaksa dan hakim (penegak hukum) yang baik
maka dengan jaksa dan hakim baik tersebut saya akan merubah hukum yang buruk. Relevan dengan
hal tersebut B. M. Taverne mengatakan, “geef me goede rechter, goede rechter
commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie ambtenaren, en
ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken”
bahwasanya “berikan aku hakim, jaksa,
polisi dan advokat yang baik, maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa
secarik undang-undang pun”. Dengan kata lain, “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk
saya bisa mendatangkan keadilan.4 Artinya,
bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung oleh
aparatur penegak hukum yang baik, memilikki moralitas dan integritas yang
tinggi, maka hasilnya akan buruk.
B.
Permasalahan
1.
Bagaimanakah konsep hukum progresif ?
2.
Bagaimanakah penerapan hukum progresif dalam
penegakan hukum di Indonesia ?
C.
Kegunaan Penulisan
Semoga dalam penulisan makalah ini dapat
berguna bagi semua pihak, terutama bagi penulis untuk menambah khazanah
keilmuan di bidang hukum dalam mempelajari teori-teori hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Hukum Progresif
Melihat
realitas penggunaan hukum yang ada, maka pada tatanan penyelesaian hukum tidak
dapat lagi menggunakan cara-cara yang biasa dan konvensional, tetapi
membutuhkan cara berhukum yang luar biasa. Salah satu cara luar biasa yang di
tawarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo untuk menghadapi kemelut dalam dunia
penegakan hukum kita adalah suatu tipe penegakan hukum progresif. Seyogyanya
hukum harus ditempatkan pada dimensi hakiki atau filosofisnya, sehingga hukum
bisa menjadikan dirinya sebagai anak yang tidak durhaka atas masyarakat yang
melahirkan serta membesarkannya. Penegakan hukum progresif mengajak kita untuk
melihat hukum secara komprehensif atau utuh dan tidak memakai kacamata kuda
atau parsial. Penegakan hukum progresif menekankan pada dua hal, yaitu hukum
ada untuk manusia dan bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa bekerja
sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya. Manusia
merupakan suatu unikum, sehingga hukum tidak lagi bekerja seperti mesin otomat
yang tinggal memencet tombol saja. Hukum bukan hanya urusan peraturan atau
undang-undang semata, melainkan juga mengenai peranan manusia atau perilaku
manusia sebagai bagian dari perwujudan hukum. Melibatkan peranan manusia adalah
cara berhukum untuk keluar dari stagnasi dominan yang membabi buta kepada teks
undang-undang.
Hukum
seyogyanya tidak mempertahankan status quo.
Kita tidak harus terpenjara dalam undang-undang, jika undang-undang memiliki
kontradiksi dengan pencapaian keadilan maka menjadi mungkin pilihan
mengesampingkan bisa dilakukan demi menciptakan keadilan hukum dalam
masyarakat. Karena sesungguhnya semua teks tertulis membutuhkan penafsiran,
maka menjadi keliru jika mengatakan hukum atau undang-undang itu sudah jelas.
Undang-undang cacat sejak lahir, karena undang-undang memiliki banyak kelemahan
terutama masalah penggunaan bahasa, bahasa tulisan tidak bisa mengakomodir
semua gagasan, ide, cita hukum yang murni dalam masyarakat, yang sering disebut
oleh Prof. Satjipto Rahardjo sebagai makna yang tercecer.
Penegakan
hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata
hitam-putih dari peraturan (according to
the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari undang-undang
atau hukum.5 Penegakan hukum tidak hanya dengan kecerdasan
intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan
hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen
terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain
daripada yang biasa dilakukan. Ide penegakan hukum progresif lahir dari
refleksi intelektual yang cukup panjang. Pembahasan penegakan hukum progresif
di atas merupakan salah satu rekam jejak refleksi intelektual yang menjadi titik
awal kenapa penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum
alternatif. Tibalah kita pada sebuah kesimpulan bahwa “kebenaran hukum tidak
dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus
dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang“.
Hukum
Progresif berarti hukum yang bersifat maju. Istilah hukum progresif,
diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum
adalah untuk manusia. Hal ini akibat dari rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam
mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam
bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah
secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum,
serta melakukan berbagai terobosan.6 Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh
Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan
yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah
peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam
mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Secara
lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik
dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan
hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan
kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasa atau keberpihakan dalam menegakkan hukum.
Sebab, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua
rakyat. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk
manusia dan bukan sebaliknya dan prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan
bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk
sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan,
kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Hukum progresif bukan sebatas
dogmatis belaka. Secara spesifik hukum progresif bisa disebut sebagai hukum
yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, hukum progresif
meninggalkan tradisi analytical
jurisprudence atau rechtsdogmatiek.
Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk
menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan
manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada
untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada
status law in the making dan tidak
bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasar
asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah :7
1. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan
dan kebahagiaan manusia.
2.
Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan
dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan
juga teori.
4.
Bersifat kritis dan fungsional.
Konsep
hukum progresif yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo bila diartikan secara sederhana dapat diartikan sebagai “bagaimana” membiarkan hukum
tersebut mengalir untuk menuntaskan tugasnya mengabdi pada manusia dan
kemanusiaan. Adapun pokok-pokok pemikiran model hukum progresif ini dapat
diuraikan sebagai berikut ini :
1.
Hukum progresif ditujukan untuk melindungi
rakyat menuju kepada idealnya hukum;
2.
Hukum menolak status-quo, serta tidak ingin
menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak berhati nurani, melainkan suatu
institusi yang bermoral;
3.
Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia
bahagia;
4.
Hukum progresif adalah, “hukum pro rakyat dan
pro keadilan”;
5.
Asumsi dasar hukum progresif adalah untuk
manusia, bukan sebaliknya. berkaitan dengan hal ini, maka hukum tidak ada untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar;
6.
Hukum selalu berada dalam proses untuk
terus menjadi (law as a process, law in the making);
Sebagaimana
disebutkan diatas, untuk menguji kualitas dari hukum, tolak ukur yang dapat
dijadikan pedoman antara lain keadilan, kesejahteraan dan keberpihakan kepada rakyat
semakin jauh dari kenyataan, mengingat banyaknya persoalan hukum yang tidak
terselesaikan dengan baik. Banyaknya kasus korupsi yang terkuak namun tidak mendapatkan
penyelesaian yang memuaskan menjadi pemicu utama lahirnya pemikiran hukum yang
progresif. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin pudar sehingga hukum
tidak lagi dianggap sebagai panglima dalam menyelesaikan persoalan. Sungguh
sangat ironis bagi Negara yang mendasarkan dirinya pada hukum tetapi tidak
dapat menegakkan hukum karena kepercayaan dari masyarakat tidak ada.8
Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang terus berubah, memunculkan sebuah stagnasi,
hukum saat ini tidak mampu memberikan solusi
dalam zaman modren. Implikasinya
ketika manusia dalam setiap proses perkembangannya selalu berubah sesuai dengan
kebutuhan kehidupannya maka hukum pun harus mengikuti perubahan tersebut. Hal
inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara hukum progresif dengan hukum
positivis yang selama ini diterapkan di Indonesia. Jika selama ini hukum selalu
tertinggal jauh terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat, maka hukum
progresif lebih membuka diri dan respon
terhadap perubahan dan tidak terikat pada hukum tertulis. Dalam hal ini
hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusiaan.9
Dengan demikian peran hukum lebih menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat
terhadap keadilan dan kesejahteraan. Artinya keberadaan hukum sudah seharusnya
mencerminkan standar baku dari apa yang baik dan tidak baik, adil dan yang
tidak adil. Perihal tersebut dalam konteks ke Indonesiaan tidak boleh terlepas
dari jati diri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila
merupakan nilai bangsa yang diterima semua lapisan masyarakat, semua generasi
bahkan semua budaya sehingga sangat layak dijadikan standar utama dalam
kehidupan hukum berbangsa dan bernegara.
B.
Peranan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum
di Indonesia
1.
Penegakan hukum oleh Kepolisian
Dalam
rangka penegakan hukum pidana, upaya penyidikan yang dilakukan oleh Polri tidak hanya di dasarkan pada mengejar
diselesaikannya pemberkasan semata,
namun harus di dasarkan pada nilai-nilai keilmiahan. Yang selanjutnya
diterapkan dalam proses penyidikan melalui serangkaian proses yang
dinamakan dengan scientific
investigation. Proses scientific
investigation yang dimaksudkan bukan hanya terbatas kepada pemanfaatan
berbagai macam teknologi pendukung yang ada namun juga kepada penerapan berbagai macam
perkembangan
teori-teori hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti dan fakta hukum.10
Menurut Hartono, bahwa dengan dilatarbelakangi oleh pemikiran yang maju dan
tidak terbatas kepada apa yang tertulis dalam aturan perundang-undangan saja
maka penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik dapat dikatakan sebagai model
“penyidikan yang progresif”. Dan dengan perpaduan model “scientific investigation” dan“ penyidikan progresif” tersebut diharapkan
dapat mewujudkan penegakan hukum yang proporsional, professional dan
intelektual.11
Polri
sebagai penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan
aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang
terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat
hukum, jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan. Setiap aparatur
terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya
yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi,
serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Dalam proses
bekerjanya aparatur penegak hukum (anggota Polri) itu, terdapat tiga elemen
penting yang mempengaruhi, yaitu :12
a.
Institusi
penegak hukum (Polri) beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung
dan mekanisme kerja kelembagaannya;
b.
Budaya kerja yang terkait dengan anggota
Polri, termasuk mengenai kesejahteraan anggota Polri, dan
c.
Perangkat peraturan yang mendukung baik
kinerja kelembagaan Polri maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan
standar kerja Polri, baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya.
Upaya
penegakan hukum oleh Polri secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek
itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri
secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Namun, selain ketiga faktor di
atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum oleh Polri di negara
kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh
lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan
kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak,
jika hukum itu sendiri belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan
yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika
materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi
dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan
dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum
baru. Karena itu, ada tiga fungsi penting yang memerlukan perhatian yang
seksama, yaitu :13
a.
Pembuatan hukum (the legislation of law atau law
and rule making);
b.
Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan
pembudayaan hukum (socialization and
promulgation of law,) dan
c.
Penegakan hukum (the enforcement of law).
Ketiganya
membutuhkan dukungan administrasi hukum (the
administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh
pemerintahan (eksekutif) yang
bertanggungjawab (accountable). Penyidikan
yang dilakukan oleh Penyidik Polri, terutama diatur dalam KUHAP, UU Polri dan
berbagai Peraturan Kepolisian sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan penyidikan. Pada
penyidikan oleh Penyidik Polri, acapkali terdapat atau terjadi kesenjangan
(diskrepansi) antara karakteristik pembentukan
perundang-undangan dengan
karakteristik penafsiran hukum.
Karakteristik penafsiran hukum juga dapat berbeda bahkan bertolak belakang
dengan karakteristik pembentukan perundang-undangan. Pendekatan penelitian
adalah yuridis normatif tentang karakteristik penafsiran hukum dihubungkan
dengan pembentukan perundang-undangan pada penyidikan oleh Penyidik Polri,
dengan menggunakan metode perundang-undangan, kasus, konseptual dan
perbandingan hukum pidana, dengan logika deduktif dan induktif. Dihubungkan
dengan karakteristik penafsiran hukum oleh Penyidik Polri, Positivisme Hukum
atau aliran legalistik merupakan karakteristik yang utama dan dominan yang
dalam praktiknya dapat memunculkan ketidakadilan. Penyidik Polri juga
menggunakan karakteristik penafsiran hukum Sociological
Jurisprudence atau Hukum Progresif, seperti penerapan alternatif
penyelesaian perkara pidana atau konsep keadilan restoratif.
Mungkin
kita masih ingat dengan terungkapnya oleh media massa proses penahanan 10 orang
anak “penyemir sepatu” usia 11 tahun – 14 tahun oleh Polres Metro Bandara
Tangerang pada 5 tahun yang lalu, karena kasus “bermain” yang disebut polisi
sebagai perjudian (pasal 303). Penahanan di rutan anak tersebut mencapai 29
hari dan kemudian dilakukan penangguhan, dan selanjutnya kasusnya bergulir di
pengadilan kemudian 10 anak-anak penyemir sepatu tersebut divonis bebas
bersyarat oleh pengadilan. Kasus serupa terjadi di akhir Mei 2009, dimana untuk
menunggu jam tayang siaran langsung sepak bola Liga Champions, sekelompok
pedagang sayuran keliling yang mengontrak secara bertetangga kamar ukuran 2x3
meter, melakukan permainan kartu remi. Kemudian datang petugas polsek menangkap
dan menahan 5 orang penjual sayuran keliling itu, dengan tuduhan berjudi,
meskipun barang bukti yang ada hanyalah Rp.4.000,- (empat ribu rupiah). Contoh
menarik lainnya. Suatu saat terjadi, seorang paruhbaya membelikan anaknya
sepeda motor keluaran tahun 2004, demi menghemat biaya perjalanan ke sekolah.
Singkat cerita karena tidak mampu membeli secara cash maka si penjual menahan
BPKB dan STNK, yang sesungguhnya tidak dimiliki oleh si penjual karena sepeda
motor tersebut hasil pencurian. Berselang seminggu ternyata pembeli tadi
didatangi polisi, kemudian menyita sepeda motor dan menahannya karena tuduhan
kasus penadahan (pasal 480).14
Kasus
tersebut sekilas membedah dianutnya model hukum legalistic positivisme yang telah memakan “korban” yang
sesungguhnya tidak perlu dan bisa dihindari. Satjipto Rahardjo menyindir bahwa
praksis penegakan hukum ternyata hanya “mengeja undang-undang, dari pada
menemukan hukum di dalam undang-undang”, atau seperti yang dikatakan ahli hukum
Paul Scholten, bahwa hukum memang ada
di dalam undang-undang, tetapi hukum harus masih ditemukan
dalam prakteknya.15 Menemukan hukum dalam peraturan atau UU adalah
menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya
membacanya secara “datar” begitu saja. Satjipto Rahardjo menggunakan kata-kata
(membaca atau mengeja), yang begitu halus untuk menyindir aparat yang melakukan
penegakan hukum dengan lebih patuh kepada susunan kata dan prosedur dari pada
taat kepada nilai keadilan. Membaca (atau mengeja) peraturan secara datar
adalah memecahkan masalah tanpa melihat konteks, sehingga penegakan hukum tidak
menghadirkan empati, komitmen dan dedikasi. Para ahli hukum lainnya,
menyarankan agar para aparat penegak hukum memiliki ketrampilan “Moral Reading”, yaitu sebuah
ketrampilan pembacaan bermakna dengan menyertai pemaknaannya secara filsafati,
seperti keadilan dan tujuan diadakannya hukum.
Praksis
polisi tersebut diatas adalah model penegakan hukum secara legalistic positivisme. Cara berfikir yang digunakan adalah mengeja
undang-undang dan patuh prosedur dengan mengabaikan nilai keadilan substantive,
dan prakteknya menanggalkan bahasa nurani. Mereka mendalihkan bahwa pekerjaan
mereka membutuhkan kepastian, sehingga hukum digunakan sebagaimana stetoskop
para dokter. Praksis hukum menjadi praksis
yang lebih sibuk mengoperasikan skema-skema hukum (rule and logic) dari pada bertanya apakah fungsi hukum dalam masyarakat
sudah berjalan dengan baik. Apabila itu terjadi, sesungguhnya kita sudah
terjebak ke dalam paham “ manusia untuk hukum”, dan
bila aparat penegak hukum berpegang pada keyakinan bahwa manusia untuk hukum,
maka manusia itu akan selalu diusahakan atau mungkin juga dipaksakan untuk bisa
masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sehingga muncul
anggapan bahwa “Keadilan di atas peraturan/ prosedur”.16
Sebaliknya
penegakan hukum yang menghadirkan compassion
empati, determinasi, nurani dan
dedikasi terhadap kemanusiaan disebut penegakan
hukum progresif. Penegakan hukum seperti ini yang harus dilakukan, hukum
mengabdi kepada manusia atau kemanusiaan, dan dalam prakteknya bersifat
humanis. Paham ini adalah minoritas praksis hukum di Kepolisian. Para positivistik
di Kepolisian sering lupa bahwa mereka mempunyai hak diskresionil, yang itu
bisa menjadi pintu masuk bagi praksis penegakan hukum progresif. Seandainya mau
mencermati lebih dalam, bagaimana melihat hukum tidak semata dengan optik hukum,
maka gunakan optik “deep ecology”,
yaitu suatu perspektif hukum yang melibatkan semua entitas kehidupan manusia (holistic) sebagai satu kesatuan
kehidupan, dan itupun merupakan sumber pencerahan dalam berhukum progresif,
bukan semata mengeja susunan kata dan mentaati prosedur. Kajian ini menjadi
landasan bagi kearifan berfikir, bahwa hukum bukanlah bertujuan menciptakan
kepastian hukum semata atau keadilan prosedur atau “legal justice”, tetapi “substantial
justice”. Satu hal yang perlu dipegang teguh bahwa hukum tidak boleh
melepaskan diri dari fungsi utamanya yaitu melayani manusia, dan setiap kali
fungsi tersebut terusik maka kita perlu melakukan sesuatu yang kreatif untuk
mengatasinya.
Penangkapan
dan penahanan, terhadap 10 anak penyemir sepatu usia 11 tahun – 14 tahun di
Tangerang tidak perlu terjadi seandainya Polisi memahami secara sungguh-sungguh
filosofi yang mendasari dari UU Perlindungan Anak, yaitu perlakuan terbaik bagi
anak. Secara substansi, anak-anak juga tidaklah sedang berjudi tetapi sedang
bermain sebuah permainan tanpa harus kehilangan kesempatan menyemir sepatu bila
pelanggan lewat atau datang. Kalaupun hal permaianan anak-anak tersebut
dianggap sebagai pidana, ada cara yang lebih humanis sebagai prevensi special,
misalnya wajib lapor, dari pada menahannya yang dapat menimbulkan dampak
traumatis dan menghancurkan masa depan anak-anak tersebut. Penahanan penjual
sayuran keliling juga tidak perlu dilakukan jika polisi menggunakan moral
reading tidak saja terhadap undang-undang tetapi terhadap konteksnya, sehingga
cukup dengan wajib lapor saja. Penahan terhadap pembeli sepeda motor yang
tertipu (sudah jatuh tertimpa tangga), juga tidak perlu dilakukan, karena semua
alat bukti sudah disita dan ditangan Polisi.
Jika
kasus tersebut “diselesaikan” oleh Polisi dengan diskresi yang dimiliki hasilnya
akan lain. Diskresi Kepolisian pada
dasarnya merupakan kewenangan Kepolisian yang bersumber pada asas Kewajiban
umum Kepolisian (Plichtmatigheids
beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat
kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri,
dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin
keamanan umum.17 Diskresi
Kepolisian di Indonesia secara yuridis diatur pada pasal 18 UU No 2 tahun 2002
yaitu “Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri”, hal tersebut mengandung maksud bahwa seorang anggota Polri yang
melaksanakan tugasnya di tengah tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil
keputusaan berdasarkan penilaiannya
sendiri apabila
terjadi gangguan
terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila timbul bahaya bagi ketertiban
dan keamanan umum.
Diskresi
Polisi dapat pula diartikan sebagai wewenang Pejabat Polisi untuk memilih
bertindak atau tidak bertindak secara legal atau ilegal dalam menjalankan
tugasnya. Contoh diskresi lainnya adalah membolehkan seorang Polisi untuk
memilih diantara berbagai peran (memelihara ketertiban, menegakkan hukum atau
melindungi masyarakat) taktik (menegakkan Undang-Undang Lalu Lintas dengan
berpatroli atau berjaga pada suatu tempat) ataupun tujuan (menilang pelanggar
atau menasehatinya) dalam pelaksanaan tugasnya. Penggunaan wewenang diskresi
oleh Polisi baru akhir-akhir ini diakui sebagai suatu yang wajar dari
kewenangan Polisi. Sebelumnya pimpinan Polisi dan masyarakat beranggapan bahwa
Polisi harus menindak setiap pelanggar ketentuan hukum dan membiarkan atau
tidak melaksanakan ketentuan tersebut merupakan pelanggaran hukum oleh Polisi.
Sebagian kecil anggota DPR, Jaksa dan Hakim masih memegang anggapan yang
demikian. Para pimpinan Polisi masih ragu-ragu untuk mengakui bahwa Pejabat
Polisi selalu menggunakan diskresi dalam menegakkan hukum dan bahwa mereka
secara diam-diam menetapkan kebijaksanaan untuk tidak melaksanakan penindakan
secara penuh terhadap kejahatan-kejahatan kecil ataupun pelanggaran terhadap
peraturan daerah.
Mereka
khawatir masyarakat akan protes bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil atau
timbulnya tuntutan ganti rugi da!am hal terjadinya kecelakaan sebagai akibat
dibiarkannya pelanggaran lalu lintas. Oleh karena itu dalam Ilmu
Hukum Kepolisian dikenal beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila
seorang anngota kepolisian akan melakukan diskresi yaitu :18
a.
Tindakan harus benar benar diperlukan
(noodzakelijk notwendig) atau asas Keperluan;
b. Tindakan yang diambil harus benar benar untuk
kepentingan tugas kepolisian (zakelijk, sachlich).
c. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai
saaran yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang
dikhawaturkan.
d. Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran
yaitu tercapainya tujuan (zweckmassig, doelmatig).
Selanjutnya,
Penegakan hukum bukan menuruti pemuasan prosedur dengan spirit menang kalah
sehingga polisi harus selalu memilih tindakan maksimal tanpa melihat konteks,
dan melibatkan empati serta dedikasinya sebagai manusia yang bernurani.
Penegakan hukum progresif tetaplah dalam bingkai melindungi dan mengangkat
masyarakat untuk menikmati keberlakuannya hukum, yaitu kepastian, keadilan dan
manfaat dari terciptanya keamanan/ketertiban. Polisi tidak boleh terbelenggu
pada model penegakan hukum legalistik
positivisme sehinga polisi akan kehilangan kesempatan untuk memberikan
sumbangan bagi terciptanya kehidupan dan praksis hukum yang humanis.
2.
Penegakan hukum oleh Hakim
Keadilan
bukan kaku/saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan dalam
pasal-pasal Undang-Undang. Keadilan bukan tugas rutin mengetuk palu digedung
pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa
kemanusiaannya. Yang dibutuhkan keadilan adalah keberanian tafsir atas
Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Isu yang
terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan
yang diukur pada nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan
dengan makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti mafia
hukum UUD (ujung-ujungnya duit), pasal karet, 86 dan penyelesaian dibalik meja.
Keadilan dihayati sebagai pekerjaan mencari uang didalam institusi pengadilan.
Dalam mecari keadilan di dalam Negara hukum suatu penentu yakni dalam palu
sidang hakim yang dijatuhkan pada putusan akhir. Dalam hal ini perlunya
menciptakan hakim yang sangat berani dalam menegakkan keadlilan hukum yang
sesungguhnya dalam artian tidak hanya memutuskan suatu perkara dengan melihat
pada fakta dalam persidangan semata. Dalam hal ini masyarakat hukum perlu
mencari keadilan dengan penegasan pada para hakim sebagai kepanjangan tangan
dari Tuhan.
Hal
yang juga termasuk urgen dalam hukum progresif yakni bagaimana menuntut
keberanian seorang hakim dalam menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa ini
kearah yang lebih baik. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun
dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan
bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak
terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi
dskriminasi hukum, bagi kaum miskin karena hukum tak hanya melayani kaum kaya
juga semua masyarakat yang berada di Negara Indonesia khusunya. Apabila
kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak dan abadi
sampai kapanpun. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi
juga untuk kebahagiaan dan keadilan yang sesungguhnya. Tetapi melihat realitas
Negara Indonesia khususnya telah menyatakan diri sebagai sebuah Negara hukum
yang sudah tercantum di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 khusunya pada pasal 1 ayat (3) yang berbunyai; “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum” dimana patokan dalam penyelesaian suatu permalahan yang
terjadi di Negara Indonesia harus diselesaikan secara undang-undang tertulis,
sehingga para hakim khusunya dalam menegakkan hukum untuk mencari suatu
keadilan harus berkibalat pada suatu undang-undang yang sudah diratifikasi oleh
para legislator. Pertanyaan yang paling mendasar dalam pembahasan ini apakah
para hakim berani memasukkan hukum progresif dalam menempuh keadilan yang
seutuhnya dalam suatu peradilan yang menganut sistem Negara hukum tertulis
seperti Indonesia ini.19
Penegakan
hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata dan
hitam-putih dari peraturan (according to
the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang
atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan Intelektual, melainkan
dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan
dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan
bangsa dan disertai keberanian hakim untuk mencari jalan lain daripada yang
biasa dilakukan dalam artian para hakim harus dapat memberikan keadilan social
yang ada pada pelaku tindak pidana khususnya. Sehingga bila ide pengadilan
progresif dikaitkan dengan tingkat kasasi. Kita tahu, pada tingkat kasasi pengadilan
tidak lagi melihat dan membicarakan fakta (judic
facti). Yang dilakukan adalah memeriksa apakah hukum telah dijalankan
dengan benar oleh pengadilan di tingkat bawah. Membaca sepintas, orang bisa
berkesimpulan, yang diperlukan Mahkamah Agung hanya membaca teks undang-undang
dan menggunakan logika hukum. Berdasarkan hal-hal yang terungkap dalam
tingkat-tingkat persidangan sebelumnya, Mahkamah Agung akan memeriksa apakah
peraturan yang digunakan hakim di Pengadilan
Negeri dan Pengadilan
Tinggi untuk menjatuhkan putusan sudah benar. Bila benar demikian, tidak akan
ada pintu masuk bagi pengadilan progresif itu sendiri dalam rangka menegakkan
hukum. Pengadilan progresif adalah proses yang sarat dengan compassion yang
memuat empati, determinasi, nurani, dan sebagainya.
Karakteristik
pengadilan yang demikian itu tentu akan bisa diekspresikan dengan baik manakala
pengadilan sendiri memeriksa kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan
peraturan dan logika. Di situ hakim akan bisa menyaksikan sendiri perkara yang
diperiksa. Masalah menjadi gawat saat kita hanya melihat peraturan dan fakta
yang tersaji tanpa mengorek lebih jauh dari beberapa sisi yang termasuk urgen
dalam menyelesaikan suatu masalah tersebut. Di sini orang hakim lebih bertumpu
pada bagaimana suatu teks Undang-undang tertulis akan dibaca untuk kemudian
diterapkan terhadap kejadian yang sudah terekam dalam dokumen. Kita tidak tahu Apakah
pada waktu membaca Undang-undang itu kepala hakim benar-benar (bisa)
"dikosongkan". Apakah pembacaan teks oleh hakim sepenuhnya
berlangsung secara bebas nilai. Tidak sesederhana itu. Selama hakim adalah
manusia, kompleks atau predisposisi pilihan yang ada padanya akan menentukan
bagaimana suatu teks itu dibaca dan diartikan secara aturan yang ada
(aturan-aturan tertulis yang bersifat undang-undang). Kasasi linier dan
nonlinier. Pikiran (mind-set) positif tekstual kurang lebih hanya akan
"mengeja" suatu peraturan. Cara berpikir hukum seperti itu di sini
disebut "linier". Memang itu amat mudah, tetapi dangkal. Di sini kita
bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum
Negara Belanda, yang mengatakan "hukum itu ada dalam Undang-Undang, tetapi
masih harus ditemukan".20 Maka menjadi salah sekaligus dangkal
bila orang hanya "mengeja" peraturan. Cara lain adalah melakukan
perenungan (contemplation) dan
mencari makna lebih dalam dari suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul
Scholten. Apabila "pintu perenungan makna" dibuka, terbentanglah panorama baru di
hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi subyektif, tetapi
juga sosial dalam arti hukum progresif itu sendiri. Hakim tidak hanya
mendengarkan dengan telinga subyektif, tetapi juga dengan "telinga
sosial". Betapa kecil pun sudut masuk aspek pengadilan kasasi, ia tetap ada
dan itu semua tergantung pada hakim-hakimnya yang memimpin persidangan tersebut
“ mengapa demikian karena salah satu asas hukum pidana mengatakan” “ius curia novit” dengan arti dimana
hakim orang yang dianggap paling tahu tentang hukum.
Dalam
hakim progresif, pengadilan progresif harus menyatakan, "hukum adalah
untuk rakyat bukan sebaliknya". Bila rakyat adalah untuk hukum, apa pun
yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah
kata-kata Undang-undang. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim menjadi lebih
kompleks. Seorang hakim bukan hanya teknisi Undang-undang, tetapi juga makhluk
sosial. Karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia
karena ia bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya. Menjadi makhluk
sosial akan menempatkan hakim di tengah hiruk-pikuk masyarakat, keluar dari
gedung pengadilan. Malah ada yang mengatakan, seorang hakim sudah tidak ada
bedanya dengan wakil rakyat. Bila ia berada di tengah masyarakat, berarti ia
berbagi sukaduka, kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang ada di
masyarakat. Melalui putusanputusannya, hakim suka disebut mewakili suara mereka
(suara rakyat) yang tak terwakili (unrepresented)
dan kurang terwakili (under-represented).
Indonesia
tidak kekurangan contoh menarik dalam dunia pengadilan dan hakim, khususnya
dalam kaitan dengan gagasan penegakan hukum progresif. Hakim Agung Adi Andojo
Soetjipto adalah salah satu contoh, yaitu saat mengadili kasasi Muchtar
Pakpahan di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Oleh pengadilan di bawah,
Pakpahan dijatuhi pidana atas tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap
Negara. Dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung mengatakan, Pakpahan tidak
melakukan perbuatan makar. Menurut Mahmakah Agung, para hakim di bawah telah
melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang
sudah ada sejak zaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena
Indonesia sudah menjadi Negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi
dan memperhatikan hak asasi manusia.21 Hakim Agung Adi Andojo
Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim yang berpihak kepada masyarakat.
Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu
masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang hakim agung
berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di zamannya. Inilah yang ingin
dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini amat
sulit dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya, dengan
tujuan semata-mata hanya mencari keadilan karkayat. Sehingga perlu dikatakan “moralitas saja tidak cukup,
yang paling penting
adalah keberanian”. Memang
untuk menciptakan pengadilan progresif tidak hanya dibutuhkan komitmen moral,
tetapi juga keberanian. Hakim-hakim yang memiliki nurani kuat adalah satu hal
dan yang memiliki keberanian untuk menampilkan komitmennya adalah hal lain.
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto yang mencoba melawan korupsi dalam tubuh
Mahkamah Agung akhirnya harus menerima risiko pahit. Bangsa kita sebaiknya menaruh
hormat kepada hakim-hakim yang akhirnya harus mental hanya karena keinginan
untuk memperbaiki citra pengadilan. Dari beberapa contoh di atas ini memang
sangat sulit menemukan hakim yang mempunyai keberanian dan mempunyai visi untuk
menciptakan keadilan yang sesungguhnya yakni keadilan hukum. Dalam hal ini
sudah saatnya Negara Indonesia tidak terpuruk pada hal-hal yang normative saja
melainkan pada keadilan sosial itu sendiri sehingga tidak terjadinya
penyimpangan dalam nilai keadialan memang dalam merumuskan konsep keadilan
progresif bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur.
Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek
prosedur, maka hukum di Negara Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar
antara yang menekankan pada prosedur atau pada
substansi. Keadilan progresif
bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan
substantif.
Unsur-unsur
lembaga hukum yang meliputi : polisi, jaksa, hakim, aparat ketiga lembaga dan
sarana prasarana akan menentukan penegakan hukum materiil, sehingga apabila
unsur-unsur tersebut baik, maka penegakan hukum materiil akan berjalan baik. Maka
diperlukan pembinaan dengan baik. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, setiap
unsur aparat penegak hukum telah dilengkapi seperangkat peraturan dan kode etik
profesi sebagai pedoman yang harus diikuti. Untuk aparat hakim harus memahami
dengan baik tugas dan kewajibannya sebagaimana yang telah diatur secara
normatif dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
antara lain : 22
a.
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat 1)
b.
Pengadilan
membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan
(Pasal 4 ayat 2)
c.
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat (Pasal 5 ayat 1)
d.
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya
(Pasal 10 ayat 1)
e.
Mahkamah Agung dapat memberi keterangan,
pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga
pemerintahan (Pasal 22 ayat 1)
Disamping
kelima hal di atas, terdapat hal prinsip yang menjadi ikatan yaitu irah-irah
“Demi keadilan berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa”. Irah-irah ini wajib
diucapkan saat memutus perkara, karena bila tidak atau lupa membacanya,
putusannya batal demi hukum. Irah-irah tersebut menggambarkan rasa kebatinan
bahwa sebelum hakim mengetukkan palu, maka berarti ia telah berkomunikasi intens
dengan Tuhannya. Disamping hal tersebut di atas, untuk mewujudkan hakim yang
progresif dalam menerapkan hukum, sudah seharusnya ia menyadari akan
kedudukannya sebagai wakil penguasa yang mestinya terikat kontrak secara tidak
langsung dengan masyarakat guna memberikan pengayoman, yaitu dengan memberikan
putusan yang adil. Diluar dari semua yang terurai di atas, kiranya tak kalah
pentingnya adalah masalah kesejahteraan para penegak hukum di atas,
agar mereka dapat menjalankan tugas sebaik-baiknya tanpa
mudah terpengaruh oleh godaan uang dari pihak-pihak yang berkepentingan,
sebagaimana yang hingga saat ini masih sering ditemukan kasus “mafia peradilan”
melalui laporan masyarakat ke Mahkamah Agung.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo hukum
progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem
hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih
berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia, melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun
bertindak dalam hukum, sehingga hukum itu mampu menuntaskan tugasnya mengabdi
kepada manusia. Karena hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga
bangunan ide, kultur, dan cita-cita.
2.
Penegakan hukum oleh Polri masih berorientasi
pada legalistic positivisme seperti
mengeja undang-undang tanpa menemukan adanya hukum di dalam undang-undang
secara formal.
3.
Hakim tidak sekedar bertugas menerapkan
peraturan dengan apa adanya, tetapi bagaimana penerapan itu dapat mewujudkan
keadilan. Sehingga tindakan kreativitas hakim itulah menjadi sangat menentukan.
B.
Saran
1.
Para aparat penegak hukum dapat menerapkan
penemuan hukum progresif dengan tetap mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila
sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
2.
Penegakan hukum oleh Polri harus menggunakan
penafsiran hukum Sociological
Jurisprudence atau Hukum Progresif,
seperti penerapan alternatif penyelesaian perkara pidana atau konsep keadilan
restoratif dengan menggunakan diskresi kepolisian yang bertanggung jawab.
3.
Hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai
hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, bahwa hakim tidak
sekedar bertugas menerapkan peraturan dengan apa adanya, tetapi bagaimana
penerapan itu dapat mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
REFERENSI :
1 http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/hukum-progresif/ hukum
progresif sebagai salah satu upaya
untuk mewujudkan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu, diakses tanggal 13 Oktober 2014.
2 Ibid.
3 Satjipto Raharadjo, Penegakan Hukum Progresif, PT. Kompas,
Jakarta, 2006, hal. 36.
4 Satjipto
Rahardjo. Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas, Jakarta, 2006, hal. 6.
5 Ibid
6 Ibid
7 Ibid
8 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis
tentang Pergulatan Manusia & Hukum, PT Kompas, Jakarta, 2008, hal. 137.
9 A.M. Mujahidin, “Hukum Progresif : Jalan Keluar dari
Keterpurukan Hukum di Indonesia”, Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 257,
April, 2007, hal. 52.
10 Hartono, Penyidikan dan Penegakan hukum Pidana
Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 10.
11 Ibid.
12 http://bunga-legal.blogspot.com/2010/02/teori-tujuan-hukum.html
diakses tanggal 15 Oktober 2014.
13 Ibid
14 Taufiq Rohman, polisi-sholeh.blogspot.com/2009/07/hukum.html,
diakses tanggal 15 Oktober 2014
15
Ibid
16 Ibid
17 Krisna, http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/diskresi
kepolisian/, diakses tanggal 13 Oktober 2014.
18 Ibid
19 Arming, armingsh.blogspot.com/2010/11/hukum-progresif-dan-tindakan-hakim.html,
diakses tanggal 16 Oktober 2014.
20 Ibid
20 Ibid
22 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman