Kamis, 22 Januari 2015

PENERAPAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA





BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang

Sebagaimana evolusi yang terus berkembang dari sisi keilmuan, maka pemikiran untuk mengukuhkan keberadaan ilmu hukum untuk menjadi sebenar ilmu juga terus berkembang. Di Indonesia, muncul yang dinamakan hukum Progresif yang diawali pada sekitar tahun 2002. Hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan Hukum Progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengahan tahun 1997. Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi di Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut. Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical jurisprudence, Hukum Progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, asumsi dasar Hukum Progresif dimulai dari hakikat dasar “hukum adalah untuk manusia”. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif tetapi untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status “law in the making” (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).
Gagasan yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan dan logika. Bagi ilmu hukum positif (dogmatik), kebenaran terletak dalam tubuh peraturan. Ini yang dikritik oleh hukum progresif, sebab melihat hukum yang hanya berupa pasal-pasal, jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran dari hukum yang sangat kompleks. Ilmu yang tidak bisa menjelaskan kebenaran yang kompleks dari realitas-empirik jelas sangat diragukan posisinya sebagai ilmu hukum yang sebenarnya sebagai sebuah ilmu (genuine science).
Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat. Dalam posisi yang demikian ini, maka hukum progresif dapat dikaitkan dengan developmental model hukum dari Nonet dan Selznick. Hukum progresif juga berbagi paham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre. Meminjam istilah Nonet dan Selznick, Hukum Progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe yang demikian itu, hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Atau hukum responsif mencoba mengatasi kepicikan (prokialisme) dalam moralitas masyarakat serta mendorong pendekatan yang berorientasi pada masalah yang secara sosial terintegrasi.1
Terkait dengan Legal Realism dan Freirechtslehre, hukum progresif melihat hukum tidak dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan melihatnya dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Oleh sebab kehadiran hukum dikaitkan dengan tujuan sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound, yang menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan-peraturan.2 Dengan demikian dalam berolah ilmu, Hukum Progresif melampaui peraturan dan dokumen hukum yang positivistik. Hukum Progresif juga dekat dengan teori-teori Hukum Alam, yakni pada kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut ‘meta-juridical’. Dengan demikian,  Hukum  Progresif  mendahulukan  kepentingan  manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut ‘logika dan peraturan’. Hukum progresif tidak hanya berhenti pada kritik atas sistem hukum liberal. Hukum progresif mengetengahkan paham bahwa hukum itu tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum perundang-undangan, tetapi ia juga digerakkan pada arah non-formal. Oleh sebab hukum progresif berasumsi  dasar  bahwa hukum itu ada dan hadir untuk manusia.


Reformasi serta kritik-kritik negatif terhadap sistem dan penegakan hukum Indonesia memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan tentang apa yang akan kita lakukan untuk keluar dari situasi buruk. Tetapi, bagaimanapun suasana keterpurukan masih menyisakan berkah, yaitu memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan perubahan secara tidak tanggung-tanggung pada akar filsafatnya sekali.3 Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Hukum yang masih abstrak tersebut perlu untuk diwujudkan atau di jabarkan, pada tatanan inilah yang disebut dengan penegakan hukum. Penegakan hukum adalah rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan daripada hukum di atas ke dalam masyarakat . Ketika hukum itu dibuat dan wajib dilaksanakan maka penegakan hukum kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan, oleh sebab itu, hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis dari bekerjanya hukum. Hukum berada diantara dunia nilai-nilai atau ide-ide yang bersifat abstrak dengan dunia kenyataan. Oleh karena hukum bergerak diantara dua dunia yang berbeda, akibatnya sering terjadi ketegangan pada saat hukum diterapkan. Saat hukum yang sarat dengan nilai-nilai atau ide-ide hendak diwujudkan, maka hukum sangat terkait erat dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi dari lingkungan seperti politik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di mana hukum itu diberlakukan, seperti undang-undang pornografi yang mendapat tantangan dan penolakan oleh warga Papua dikarenakan kondisi budaya masyarakatnya berbeda dan bertolak belakang dengan undang-undang pornografi tersebut. Dalam proses penegakan hukum dibutuhkan sebuah organisasi yang bisa menerapkan atau mengkonkritkan hukum tersebut ke dalam masyarakat seperti kepolisian, pengadilan dan lain-lain. Karena pada dasarnya hukum tidak dapat dijalankan tanpa adanya sebuah organisasi yang berfungsi mewujudkan
atau merealisasikan hukum di dalam masyarakat. Penegakan hukum mengandung supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Namun semenjak hukum modern digunakan, pengadilan bukan lagi menjadi tempat untuk mencari keadilan (searching of justice) tetapi Pengadilan kemudian bergeser menjadi lembaga yang berkutat pada aturan main dan prosedur, dengan kata lain pengadilan hanya sebagai lembaga penerapan peraturan undang-undang dan prosedur saja. Dalam hukum modern, lembaga pengadilan telah kehilangan ruh nya sebagai house of justice. Hal ini sudah menjadi rahasia umum lagi, bahkan pada tatanan substansi hukum pun dibuat secara khusus oleh lembaga khusus dan mengikuti prosedur khusus yang disebut dengan legislasi. Metode yang dipakai juga unik yang didasarkan pada paham “peraturan dan logika” jadi wajar saja jika pengadilan sebagai organiasasi yang mewujudkan hukum yang bersifat abstrak itu ke konkritisasi kehidupan nyata menjadi bergeser fungsinya menjadi lembaga penerapan peraturan perundang-undangan atau dengan kata lain hakim adalah corong undang-undang yang kadang dibutakan oleh paham peraturan tadi. Menggunakan hukum modern, tidak begitu saja menjamin keadilan dapat diberikan secara otomatis. Hal ini sangat tergantung pada bagaimana aparat penegak hukum “menggunakan” atau “tidak menggunakan hukum”. Walaupun aparat penegak hukum terlihat begitu sibuk bekerja siang dan malam, namun situasi dunia berhukum kita tidak berubah dan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Hukum tetap gagal memberikan keadilan di tengah-tengah penderitaan dan kemiskinan yang hampir melanda sebagian besar masyarakat, supremasi hukum yang didengung-dengungkan hanyalah menjadi tanda atau symbol tanpa makna. Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (Language game) yang cenderung menipu dan mengecewakan karena lebih mementingkan kaum borjuis atau kaum setan pemuja kekayaan dan kekuasaan salah satunya adalah Gayus Tambunan yang bisa nonton tenis di Bali dan masih banyak lagi koruptor-koruptor lainnya yang tidur dan makan dengan nyenyak hasil merampok uang penguasa negeri ini. Lebih memalukan lagi korupsi sudah merajalela pada tingkatan lembaga penegak hukum yang melibatkan aktor penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera, dan advokat serta masyarakat pencari keadilan. Berbagai perilaku kolutif sudah menjadi ciri khas ketika orang berurusan dengan aparat penegak hukum, mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Kejahatan ini merupakan bagian kecil dari potret gelap dunia penegakan hukum kita, yang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan tumbangnya keadilan. Sehingga muncul perkataan atau pernyataan bahwa berikan saya jaksa dan hakim (penegak hukum) yang baik maka dengan jaksa dan hakim baik tersebut saya akan merubah hukum yang buruk. Relevan dengan hal tersebut B. M. Taverne mengatakan, “geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken” bahwasanya “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun”. Dengan kata lain, “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan.4 Artinya, bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung oleh aparatur penegak hukum yang baik, memilikki moralitas dan integritas yang tinggi, maka hasilnya akan buruk.

B.        Permasalahan
1.         Bagaimanakah konsep hukum progresif  ?
2.         Bagaimanakah penerapan hukum progresif dalam penegakan hukum di Indonesia ?

C.        Kegunaan Penulisan
Semoga dalam penulisan makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, terutama bagi penulis untuk menambah khazanah keilmuan di bidang hukum dalam mempelajari teori-teori hukum.





BAB II
PEMBAHASAN

A.        Konsep Hukum Progresif

Melihat realitas penggunaan hukum yang ada, maka pada tatanan penyelesaian hukum tidak dapat lagi menggunakan cara-cara yang biasa dan konvensional, tetapi membutuhkan cara berhukum yang luar biasa. Salah satu cara luar biasa yang di tawarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo untuk menghadapi kemelut dalam dunia penegakan hukum kita adalah suatu tipe penegakan hukum progresif. Seyogyanya hukum harus ditempatkan pada dimensi hakiki atau filosofisnya, sehingga hukum bisa menjadikan dirinya sebagai anak yang tidak durhaka atas masyarakat yang melahirkan serta membesarkannya. Penegakan hukum progresif mengajak kita untuk melihat hukum secara komprehensif atau utuh dan tidak memakai kacamata kuda atau parsial. Penegakan hukum progresif menekankan pada dua hal, yaitu hukum ada untuk manusia dan bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa bekerja sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya. Manusia merupakan suatu unikum, sehingga hukum tidak lagi bekerja seperti mesin otomat yang tinggal memencet tombol saja. Hukum bukan hanya urusan peraturan atau undang-undang semata, melainkan juga mengenai peranan manusia atau perilaku manusia sebagai bagian dari perwujudan hukum. Melibatkan peranan manusia adalah cara berhukum untuk keluar dari stagnasi dominan yang membabi buta kepada teks undang-undang.
Hukum seyogyanya tidak mempertahankan status quo. Kita tidak harus terpenjara dalam undang-undang, jika undang-undang memiliki kontradiksi dengan pencapaian keadilan maka menjadi mungkin pilihan mengesampingkan bisa dilakukan demi menciptakan keadilan hukum dalam masyarakat. Karena sesungguhnya semua teks tertulis membutuhkan penafsiran, maka menjadi keliru jika mengatakan hukum atau undang-undang itu sudah jelas. Undang-undang cacat sejak lahir, karena undang-undang memiliki banyak kelemahan terutama masalah penggunaan bahasa, bahasa tulisan tidak bisa mengakomodir semua gagasan, ide, cita hukum yang murni dalam masyarakat, yang sering disebut oleh Prof. Satjipto Rahardjo sebagai makna yang tercecer.
Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to the very meaning) dari undang-undang atau hukum.5 Penegakan hukum tidak hanya dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan. Ide penegakan hukum progresif lahir dari refleksi intelektual yang cukup panjang. Pembahasan penegakan hukum progresif di atas merupakan salah satu rekam jejak refleksi intelektual yang menjadi titik awal kenapa penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif. Tibalah kita pada sebuah kesimpulan bahwa “kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang“.
Hukum Progresif berarti hukum yang bersifat maju. Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Hal ini akibat dari rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan.6  Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasa atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sebab, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat. Pembebasan tersebut di dasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan  kemuliaan  manusia. Hukum progresif bukan sebatas dogmatis belaka. Secara spesifik hukum progresif bisa disebut sebagai hukum yang pro rakyat dan hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah :7
1.      Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
2.      Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.
3.      Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.
4.      Bersifat kritis dan fungsional.
Konsep hukum progresif yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo bila   diartikan   secara   sederhana   dapat   diartikan  sebagai  “bagaimana” membiarkan hukum tersebut mengalir untuk menuntaskan tugasnya mengabdi pada manusia dan kemanusiaan. Adapun pokok-pokok pemikiran model hukum progresif ini dapat diuraikan sebagai berikut ini : 
1.         Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada idealnya hukum;
2.         Hukum menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak berhati nurani, melainkan suatu institusi yang bermoral;
3.         Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia;
4.         Hukum progresif adalah, “hukum pro rakyat dan pro keadilan”;
5.         Asumsi dasar hukum progresif adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. berkaitan dengan hal ini, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar;
6.         Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process,  law in the making);
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk menguji kualitas dari hukum, tolak ukur yang dapat dijadikan pedoman antara lain keadilan, kesejahteraan dan keberpihakan kepada rakyat semakin jauh dari kenyataan, mengingat banyaknya persoalan hukum yang tidak terselesaikan dengan baik. Banyaknya kasus korupsi yang terkuak namun tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan menjadi pemicu utama lahirnya pemikiran hukum yang progresif. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin pudar sehingga hukum tidak lagi dianggap sebagai panglima dalam menyelesaikan persoalan. Sungguh sangat ironis bagi Negara yang mendasarkan dirinya pada hukum tetapi tidak dapat menegakkan hukum karena kepercayaan dari masyarakat tidak ada.8 Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang terus  berubah,  memunculkan  sebuah  stagnasi,  hukum saat ini tidak mampu memberikan solusi dalam zaman modren. Implikasinya ketika manusia dalam setiap proses perkembangannya selalu berubah sesuai dengan kebutuhan kehidupannya maka hukum pun harus mengikuti perubahan tersebut. Hal inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara hukum progresif dengan hukum positivis yang selama ini diterapkan di Indonesia. Jika selama ini hukum selalu tertinggal jauh terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat, maka hukum progresif lebih membuka diri dan respon  terhadap perubahan dan tidak terikat pada hukum tertulis. Dalam hal ini hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusiaan.9 Dengan demikian peran hukum lebih menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap keadilan dan kesejahteraan. Artinya keberadaan hukum sudah seharusnya mencerminkan standar baku dari apa yang baik dan tidak baik, adil dan yang tidak adil. Perihal tersebut dalam konteks ke Indonesiaan tidak boleh terlepas dari jati diri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai bangsa yang diterima semua lapisan masyarakat, semua generasi bahkan semua budaya sehingga sangat layak dijadikan standar utama dalam kehidupan hukum berbangsa dan bernegara.

B.        Peranan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di Indonesia

1.         Penegakan hukum oleh Kepolisian
Dalam rangka penegakan hukum pidana, upaya penyidikan yang dilakukan   oleh    Polri    tidak   hanya   di   dasarkan   pada   mengejar  diselesaikannya pemberkasan semata, namun harus di dasarkan pada nilai-nilai keilmiahan. Yang selanjutnya diterapkan  dalam  proses penyidikan melalui serangkaian proses yang dinamakan dengan scientific investigation. Proses scientific investigation yang dimaksudkan bukan hanya terbatas kepada pemanfaatan berbagai macam teknologi pendukung yang ada namun juga  kepada penerapan  berbagai macam
perkembangan teori-teori hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti dan fakta hukum.10 Menurut Hartono, bahwa dengan dilatarbelakangi oleh pemikiran yang maju dan tidak terbatas kepada apa yang tertulis dalam aturan perundang-undangan saja maka penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik dapat dikatakan sebagai model “penyidikan yang progresif”. Dan dengan perpaduan model “scientific investigation” dan“ penyidikan progresif” tersebut diharapkan dapat mewujudkan penegakan hukum yang proporsional, professional dan intelektual.11
Polri sebagai penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan. Setiap aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum (anggota Polri) itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu :12
a.            Institusi penegak hukum (Polri) beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
b.        Budaya kerja yang terkait dengan anggota Polri, termasuk mengenai kesejahteraan anggota Polri, dan
c.         Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaan Polri maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja Polri, baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya.
Upaya penegakan hukum oleh Polri secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum oleh Polri di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada tiga fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu :13
a.        Pembuatan hukum (the legislation of law atau law and rule making);
b.        Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law,) dan
c.         Penegakan hukum (the enforcement of law).
Ketiganya membutuhkan dukungan administrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri, terutama diatur dalam KUHAP, UU  Polri  dan  berbagai  Peraturan  Kepolisian  sebagai  dasar hukum dalam pelaksanaan penyidikan. Pada penyidikan oleh Penyidik Polri, acapkali terdapat atau terjadi kesenjangan (diskrepansi) antara karakteristik  pembentukan  perundang-undangan  dengan  


 karakteristik penafsiran hukum. Karakteristik penafsiran hukum juga dapat berbeda bahkan bertolak belakang dengan karakteristik pembentukan perundang-undangan. Pendekatan penelitian adalah yuridis normatif tentang karakteristik penafsiran hukum dihubungkan dengan pembentukan perundang-undangan pada penyidikan oleh Penyidik Polri, dengan menggunakan metode perundang-undangan, kasus, konseptual dan perbandingan hukum pidana, dengan logika deduktif dan induktif. Dihubungkan dengan karakteristik penafsiran hukum oleh Penyidik Polri, Positivisme Hukum atau aliran legalistik merupakan karakteristik yang utama dan dominan yang dalam praktiknya dapat memunculkan ketidakadilan. Penyidik Polri juga menggunakan karakteristik penafsiran hukum Sociological Jurisprudence atau Hukum Progresif, seperti penerapan alternatif penyelesaian perkara pidana atau konsep keadilan restoratif.
Mungkin kita masih ingat dengan terungkapnya oleh media massa proses penahanan 10 orang anak “penyemir sepatu” usia 11 tahun – 14 tahun oleh Polres Metro Bandara Tangerang pada 5 tahun yang lalu, karena kasus “bermain” yang disebut polisi sebagai perjudian (pasal 303). Penahanan di rutan anak tersebut mencapai 29 hari dan kemudian dilakukan penangguhan, dan selanjutnya kasusnya bergulir di pengadilan kemudian 10 anak-anak penyemir sepatu tersebut divonis bebas bersyarat oleh pengadilan. Kasus serupa terjadi di akhir Mei 2009, dimana untuk menunggu jam tayang siaran langsung sepak bola Liga Champions, sekelompok pedagang sayuran keliling yang mengontrak secara bertetangga kamar ukuran 2x3 meter, melakukan permainan kartu remi. Kemudian datang petugas polsek menangkap dan menahan 5 orang penjual sayuran keliling itu, dengan tuduhan berjudi, meskipun barang bukti yang ada hanyalah Rp.4.000,- (empat ribu rupiah). Contoh menarik lainnya. Suatu saat terjadi, seorang paruhbaya membelikan anaknya sepeda motor keluaran tahun 2004, demi menghemat biaya perjalanan ke sekolah. Singkat cerita karena tidak mampu membeli secara cash maka si penjual menahan BPKB dan STNK, yang sesungguhnya tidak dimiliki oleh si penjual karena sepeda motor tersebut hasil pencurian. Berselang seminggu ternyata pembeli tadi didatangi polisi, kemudian menyita sepeda motor dan menahannya karena tuduhan kasus penadahan (pasal 480).14
Kasus tersebut sekilas membedah dianutnya model hukum legalistic positivisme yang telah memakan “korban” yang sesungguhnya tidak perlu dan bisa dihindari. Satjipto Rahardjo menyindir bahwa praksis penegakan hukum ternyata hanya “mengeja undang-undang, dari pada menemukan hukum di dalam undang-undang”, atau seperti yang dikatakan ahli hukum Paul Scholten, bahwa  hukum  memang  ada  di  dalam undang-undang, tetapi hukum harus masih ditemukan dalam prakteknya.15 Menemukan hukum dalam peraturan atau UU adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya membacanya secara “datar” begitu saja. Satjipto Rahardjo menggunakan kata-kata (membaca atau mengeja), yang begitu halus untuk menyindir aparat yang melakukan penegakan hukum dengan lebih patuh kepada susunan kata dan prosedur dari pada taat kepada nilai keadilan. Membaca (atau mengeja) peraturan secara datar adalah memecahkan masalah tanpa melihat konteks, sehingga penegakan hukum tidak menghadirkan empati, komitmen dan dedikasi. Para ahli hukum lainnya, menyarankan agar para aparat penegak hukum memiliki ketrampilan “Moral Reading”, yaitu sebuah ketrampilan pembacaan bermakna dengan menyertai pemaknaannya secara filsafati, seperti keadilan dan tujuan diadakannya hukum.
Praksis polisi tersebut diatas adalah model penegakan hukum secara legalistic positivisme. Cara berfikir yang digunakan adalah mengeja undang-undang dan patuh prosedur dengan mengabaikan nilai keadilan substantive, dan prakteknya menanggalkan bahasa nurani. Mereka mendalihkan bahwa pekerjaan mereka membutuhkan kepastian, sehingga hukum digunakan sebagaimana stetoskop para dokter. Praksis hukum menjadi praksis yang lebih sibuk mengoperasikan skema-skema hukum (rule and logic) dari pada bertanya apakah fungsi hukum dalam masyarakat sudah berjalan dengan baik. Apabila itu terjadi, sesungguhnya  kita  sudah  terjebak  ke dalam paham “ manusia untuk hukum”, dan bila aparat penegak hukum berpegang pada keyakinan bahwa manusia untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan atau mungkin juga dipaksakan untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sehingga muncul anggapan bahwa “Keadilan di atas peraturan/ prosedur”.16
Sebaliknya penegakan hukum yang menghadirkan compassion empati, determinasi, nurani dan dedikasi terhadap kemanusiaan disebut  penegakan hukum progresif. Penegakan hukum seperti ini yang harus dilakukan, hukum mengabdi kepada manusia atau kemanusiaan, dan dalam prakteknya bersifat humanis. Paham ini adalah minoritas praksis hukum di Kepolisian. Para positivistik di Kepolisian sering lupa bahwa mereka mempunyai hak diskresionil, yang itu bisa menjadi pintu masuk bagi praksis penegakan hukum progresif. Seandainya mau mencermati lebih dalam, bagaimana melihat hukum tidak semata dengan optik hukum, maka gunakan optik “deep ecology”, yaitu suatu perspektif hukum yang melibatkan semua entitas kehidupan manusia (holistic) sebagai satu kesatuan kehidupan, dan itupun merupakan sumber pencerahan dalam berhukum progresif, bukan semata mengeja susunan kata dan mentaati prosedur. Kajian ini menjadi landasan bagi kearifan berfikir, bahwa hukum bukanlah bertujuan menciptakan kepastian hukum semata atau keadilan prosedur atau “legal justice”, tetapi “substantial justice”. Satu hal yang perlu dipegang teguh bahwa hukum tidak boleh melepaskan diri dari fungsi utamanya yaitu melayani manusia, dan setiap kali fungsi tersebut terusik maka kita perlu melakukan sesuatu yang kreatif untuk mengatasinya.
 Penangkapan dan penahanan, terhadap 10 anak penyemir sepatu usia 11 tahun – 14 tahun di Tangerang tidak perlu terjadi seandainya Polisi memahami secara sungguh-sungguh filosofi yang mendasari dari UU Perlindungan Anak, yaitu perlakuan terbaik bagi anak. Secara substansi, anak-anak juga tidaklah sedang berjudi tetapi sedang bermain sebuah permainan tanpa harus kehilangan kesempatan menyemir sepatu bila pelanggan lewat atau datang. Kalaupun hal permaianan anak-anak tersebut dianggap sebagai pidana, ada cara yang lebih humanis sebagai prevensi special, misalnya wajib lapor, dari pada menahannya yang dapat menimbulkan dampak traumatis dan menghancurkan masa depan anak-anak tersebut. Penahanan penjual sayuran keliling juga tidak perlu dilakukan jika polisi menggunakan moral reading tidak saja terhadap undang-undang tetapi terhadap konteksnya, sehingga cukup dengan wajib lapor saja. Penahan terhadap pembeli sepeda motor yang tertipu (sudah jatuh tertimpa tangga), juga tidak perlu dilakukan, karena semua alat bukti sudah disita dan ditangan Polisi.
Jika kasus tersebut “diselesaikan” oleh Polisi dengan diskresi yang dimiliki hasilnya akan lain. Diskresi  Kepolisian pada dasarnya merupakan kewenangan Kepolisian yang bersumber pada asas Kewajiban umum Kepolisian (Plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.17  Diskresi Kepolisian di Indonesia secara yuridis diatur pada pasal 18 UU No 2 tahun 2002 yaitu “Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”, hal tersebut mengandung maksud bahwa seorang anggota Polri yang melaksanakan tugasnya di tengah tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil   keputusaan   berdasarkan   penilaiannya   sendiri   apabila
terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum.
Diskresi Polisi dapat pula diartikan sebagai wewenang Pejabat Polisi untuk memilih bertindak atau tidak bertindak secara legal atau ilegal dalam menjalankan tugasnya. Contoh diskresi lainnya adalah membolehkan seorang Polisi untuk memilih diantara berbagai peran (memelihara ketertiban, menegakkan hukum atau melindungi masyarakat) taktik (menegakkan Undang-Undang Lalu Lintas dengan berpatroli atau berjaga pada suatu tempat) ataupun tujuan (menilang pelanggar atau menasehatinya) dalam pelaksanaan tugasnya. Penggunaan wewenang diskresi oleh Polisi baru akhir-akhir ini diakui sebagai suatu yang wajar dari kewenangan Polisi. Sebelumnya pimpinan Polisi dan masyarakat beranggapan bahwa Polisi harus menindak setiap pelanggar ketentuan hukum dan membiarkan atau tidak melaksanakan ketentuan tersebut merupakan pelanggaran hukum oleh Polisi. Sebagian kecil anggota DPR, Jaksa dan Hakim masih memegang anggapan yang demikian. Para pimpinan Polisi masih ragu-ragu untuk mengakui bahwa Pejabat Polisi selalu menggunakan diskresi dalam menegakkan hukum dan bahwa mereka secara diam-diam menetapkan kebijaksanaan untuk tidak melaksanakan penindakan secara penuh terhadap kejahatan-kejahatan kecil ataupun pelanggaran terhadap peraturan daerah.
Mereka khawatir masyarakat akan protes bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil atau timbulnya tuntutan ganti rugi da!am hal terjadinya kecelakaan sebagai akibat dibiarkannya pelanggaran lalu lintas. Oleh karena itu dalam Ilmu Hukum Kepolisian dikenal beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang anngota kepolisian akan melakukan diskresi yaitu :18
a.        Tindakan harus benar benar diperlukan (noodzakelijk notwendig) atau asas Keperluan;
b.      Tindakan yang diambil harus benar benar untuk kepentingan tugas kepolisian (zakelijk, sachlich).
c.    Tindakan yang paling tepat untuk mencapai saaran yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawaturkan.
d.  Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan (zweckmassig, doelmatig).
Selanjutnya, Penegakan hukum bukan menuruti pemuasan prosedur dengan spirit menang kalah sehingga polisi harus selalu memilih tindakan maksimal tanpa melihat konteks, dan melibatkan empati serta dedikasinya sebagai manusia yang bernurani. Penegakan hukum progresif tetaplah dalam bingkai melindungi dan mengangkat masyarakat untuk menikmati keberlakuannya hukum, yaitu kepastian, keadilan dan manfaat dari terciptanya keamanan/ketertiban. Polisi tidak boleh terbelenggu pada model penegakan hukum legalistik positivisme sehinga polisi akan kehilangan kesempatan untuk memberikan sumbangan bagi terciptanya kehidupan dan praksis hukum yang humanis.

2.         Penegakan hukum oleh Hakim
Keadilan bukan kaku/saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang. Keadilan bukan tugas rutin mengetuk palu digedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaannya. Yang dibutuhkan keadilan adalah keberanian tafsir atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Isu yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan yang diukur pada nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum UUD (ujung-ujungnya duit), pasal karet, 86 dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan dihayati sebagai pekerjaan mencari uang didalam institusi pengadilan. Dalam mecari keadilan di dalam Negara hukum suatu penentu yakni dalam palu sidang hakim yang dijatuhkan pada putusan akhir. Dalam hal ini perlunya menciptakan hakim yang sangat berani dalam menegakkan keadlilan hukum yang sesungguhnya dalam artian tidak hanya memutuskan suatu perkara dengan melihat pada fakta dalam persidangan semata. Dalam hal ini masyarakat hukum perlu mencari keadilan dengan penegasan pada para hakim sebagai kepanjangan tangan dari Tuhan.
Hal yang juga termasuk urgen dalam hukum progresif yakni bagaimana menuntut keberanian seorang hakim dalam menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa ini kearah yang lebih baik. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum, bagi kaum miskin karena hukum tak hanya melayani kaum kaya juga semua masyarakat yang berada di Negara Indonesia khusunya. Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak dan abadi sampai kapanpun. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan dan keadilan yang sesungguhnya. Tetapi melihat realitas Negara Indonesia khususnya telah menyatakan diri sebagai sebuah Negara hukum yang sudah tercantum di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khusunya pada pasal 1 ayat (3) yang berbunyai; “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dimana patokan dalam penyelesaian suatu permalahan yang terjadi di Negara Indonesia harus diselesaikan secara undang-undang tertulis, sehingga para hakim khusunya dalam menegakkan hukum untuk mencari suatu keadilan harus berkibalat pada suatu undang-undang yang sudah diratifikasi oleh para legislator. Pertanyaan yang paling mendasar dalam pembahasan ini apakah para hakim berani memasukkan hukum progresif dalam menempuh keadilan yang seutuhnya dalam suatu peradilan yang menganut sistem Negara hukum tertulis seperti Indonesia ini.19
Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata dan hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan Intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian hakim untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan dalam artian para hakim harus dapat memberikan keadilan social yang ada pada pelaku tindak pidana khususnya. Sehingga bila ide pengadilan progresif dikaitkan dengan tingkat kasasi. Kita tahu, pada tingkat kasasi pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan fakta (judic facti). Yang dilakukan adalah memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh pengadilan di tingkat bawah. Membaca sepintas, orang bisa berkesimpulan, yang diperlukan Mahkamah Agung hanya membaca teks undang-undang dan menggunakan logika hukum. Berdasarkan hal-hal yang terungkap dalam tingkat-tingkat persidangan sebelumnya, Mahkamah Agung akan memeriksa apakah peraturan yang digunakan  hakim  di  Pengadilan  Negeri  dan  Pengadilan Tinggi untuk menjatuhkan putusan sudah benar. Bila benar demikian, tidak akan ada pintu masuk bagi pengadilan progresif itu sendiri dalam rangka menegakkan hukum. Pengadilan progresif adalah proses yang sarat dengan compassion yang memuat empati, determinasi, nurani, dan sebagainya.
Karakteristik pengadilan yang demikian itu tentu akan bisa diekspresikan dengan baik manakala pengadilan sendiri memeriksa kenyataan yang terjadi, tidak hanya menggunakan peraturan dan logika. Di situ hakim akan bisa menyaksikan sendiri perkara yang diperiksa. Masalah menjadi gawat saat kita hanya melihat peraturan dan fakta yang tersaji tanpa mengorek lebih jauh dari beberapa sisi yang termasuk urgen dalam menyelesaikan suatu masalah tersebut. Di sini orang hakim lebih bertumpu pada bagaimana suatu teks Undang-undang tertulis akan dibaca untuk kemudian diterapkan terhadap kejadian yang sudah terekam dalam dokumen. Kita tidak tahu Apakah pada waktu membaca Undang-undang itu kepala hakim benar-benar (bisa) "dikosongkan". Apakah pembacaan teks oleh hakim sepenuhnya berlangsung secara bebas nilai. Tidak sesederhana itu. Selama hakim adalah manusia, kompleks atau predisposisi pilihan yang ada padanya akan menentukan bagaimana suatu teks itu dibaca dan diartikan secara aturan yang ada (aturan-aturan tertulis yang bersifat undang-undang). Kasasi linier dan nonlinier. Pikiran (mind-set) positif tekstual kurang lebih hanya akan "mengeja" suatu peraturan. Cara berpikir hukum seperti itu di sini disebut "linier". Memang itu amat mudah, tetapi dangkal. Di sini kita bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum Negara Belanda, yang mengatakan "hukum itu ada dalam Undang-Undang, tetapi masih harus ditemukan".20 Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila orang hanya "mengeja" peraturan. Cara lain adalah melakukan perenungan (contemplation) dan mencari makna lebih dalam dari suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten. Apabila "pintu perenungan makna" dibuka,  terbentanglah  panorama  baru  di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi subyektif, tetapi juga sosial dalam arti hukum progresif itu sendiri. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga subyektif, tetapi juga dengan "telinga sosial". Betapa kecil pun sudut masuk aspek pengadilan kasasi, ia tetap ada dan itu semua tergantung pada hakim-hakimnya yang memimpin persidangan tersebut “ mengapa demikian karena salah satu asas hukum pidana mengatakan” “ius curia novit” dengan arti dimana hakim orang yang dianggap paling tahu tentang hukum.
Dalam hakim progresif, pengadilan progresif harus menyatakan, "hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya". Bila rakyat adalah untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata Undang-undang. Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim menjadi lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya teknisi Undang-undang, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya. Menjadi makhluk sosial akan menempatkan hakim di tengah hiruk-pikuk masyarakat, keluar dari gedung pengadilan. Malah ada yang mengatakan, seorang hakim sudah tidak ada bedanya dengan wakil rakyat. Bila ia berada di tengah masyarakat, berarti ia berbagi sukaduka, kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang ada di masyarakat. Melalui putusanputusannya, hakim suka disebut mewakili suara mereka (suara rakyat) yang tak terwakili (unrepresented) dan kurang terwakili (under-represented).
Indonesia tidak kekurangan contoh menarik dalam dunia pengadilan dan hakim, khususnya dalam kaitan dengan gagasan penegakan hukum progresif. Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh, yaitu saat mengadili kasasi Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap Negara. Dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut Mahmakah Agung, para hakim di bawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena Indonesia sudah menjadi Negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak asasi manusia.21 Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim yang berpihak kepada masyarakat. Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang hakim agung berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di zamannya. Inilah yang ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini amat sulit dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya, dengan tujuan semata-mata hanya mencari keadilan karkayat. Sehingga perlu dikatakan  “moralitas  saja  tidak  cukup,  yang  paling  penting  adalah keberanian”. Memang untuk menciptakan pengadilan progresif tidak hanya dibutuhkan komitmen moral, tetapi juga keberanian. Hakim-hakim yang memiliki nurani kuat adalah satu hal dan yang memiliki keberanian untuk menampilkan komitmennya adalah hal lain. Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto yang mencoba melawan korupsi dalam tubuh Mahkamah Agung akhirnya harus menerima risiko pahit. Bangsa kita sebaiknya menaruh hormat kepada hakim-hakim yang akhirnya harus mental hanya karena keinginan untuk memperbaiki citra pengadilan. Dari beberapa contoh di atas ini memang sangat sulit menemukan hakim yang mempunyai keberanian dan mempunyai visi untuk menciptakan keadilan yang sesungguhnya yakni keadilan hukum. Dalam hal ini sudah saatnya Negara Indonesia tidak terpuruk pada hal-hal yang normative saja melainkan pada keadilan sosial itu sendiri sehingga tidak terjadinya penyimpangan dalam nilai keadialan memang dalam merumuskan konsep keadilan progresif bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Negara Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara yang menekankan pada  prosedur  atau  pada  substansi.  Keadilan  progresif  bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.
Unsur-unsur lembaga hukum yang meliputi : polisi, jaksa, hakim, aparat ketiga lembaga dan sarana prasarana akan menentukan penegakan hukum materiil, sehingga apabila unsur-unsur tersebut baik, maka penegakan hukum materiil akan berjalan baik. Maka diperlukan pembinaan dengan baik. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, setiap unsur aparat penegak hukum telah dilengkapi seperangkat peraturan dan kode etik profesi sebagai pedoman yang harus diikuti. Untuk aparat hakim harus memahami dengan baik tugas dan kewajibannya sebagaimana yang telah diatur secara normatif dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain : 22
a.        Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat 1)
b.            Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat 2)
c.         Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1)
d.        Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat 1)
e.        Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan (Pasal 22 ayat 1)
Disamping kelima hal di atas, terdapat hal prinsip yang menjadi ikatan yaitu irah-irah “Demi keadilan berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa”. Irah-irah ini wajib diucapkan saat memutus perkara, karena bila tidak atau lupa membacanya, putusannya batal demi hukum. Irah-irah tersebut menggambarkan rasa kebatinan bahwa sebelum hakim mengetukkan palu, maka berarti ia telah berkomunikasi intens dengan Tuhannya. Disamping hal tersebut di atas, untuk mewujudkan hakim yang progresif dalam menerapkan hukum, sudah seharusnya ia menyadari akan kedudukannya sebagai wakil penguasa yang mestinya terikat kontrak secara tidak langsung dengan masyarakat guna memberikan pengayoman, yaitu dengan memberikan putusan yang adil. Diluar dari semua yang terurai di atas, kiranya tak kalah pentingnya adalah masalah kesejahteraan   para   penegak   hukum   di   atas, agar  mereka  dapat menjalankan tugas sebaik-baiknya tanpa mudah terpengaruh oleh godaan uang dari pihak-pihak yang berkepentingan, sebagaimana yang hingga saat ini masih sering ditemukan kasus “mafia peradilan” melalui laporan masyarakat ke Mahkamah Agung.
BAB III
PENUTUP

A.        Kesimpulan

1.         Menurut Prof. Satjipto Rahardjo hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga hukum itu mampu menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia. Karena hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.
2.         Penegakan hukum oleh Polri masih berorientasi pada legalistic positivisme seperti mengeja undang-undang tanpa menemukan adanya hukum di dalam undang-undang secara formal.
3.        Hakim tidak sekedar bertugas menerapkan peraturan dengan apa adanya, tetapi bagaimana penerapan itu dapat mewujudkan keadilan. Sehingga tindakan kreativitas hakim itulah menjadi sangat menentukan.

B.        Saran

1.        Para aparat penegak hukum dapat menerapkan penemuan hukum progresif dengan tetap mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
2.        Penegakan hukum oleh Polri harus menggunakan penafsiran hukum Sociological Jurisprudence atau Hukum Progresif, seperti penerapan alternatif penyelesaian perkara pidana atau konsep keadilan restoratif dengan menggunakan diskresi kepolisian yang bertanggung jawab.
3.        Hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya, bahwa hakim tidak sekedar bertugas menerapkan peraturan dengan apa adanya, tetapi bagaimana penerapan itu dapat mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. 
  
REFERENSI : 

1 http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/hukum-progresif/ hukum progresif sebagai salah satu upaya untuk         mewujudkan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu, diakses tanggal 13 Oktober 2014. 
2 Ibid. 
3 Satjipto Raharadjo, Penegakan Hukum Progresif, PT. Kompas, Jakarta, 2006, hal. 36. 
4 Satjipto Rahardjo. Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas, Jakarta, 2006, hal. 6. 5 Ibid
6 Ibid
7 Ibid
8 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia & Hukum, PT Kompas, Jakarta, 2008, hal. 137.
9 A.M. Mujahidin, “Hukum Progresif : Jalan Keluar dari Keterpurukan Hukum di Indonesia”, Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 257, April, 2007, hal. 52.
10 Hartono, Penyidikan dan Penegakan hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 10.
11 Ibid.
13 Ibid
14 Taufiq Rohman, polisi-sholeh.blogspot.com/2009/07/hukum.html, diakses tanggal 15 Oktober 2014
15 Ibid
16 Ibid
17  Krisna, http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/diskresi kepolisian/, diakses tanggal 13 Oktober 2014.
18  Ibid
19 Arming, armingsh.blogspot.com/2010/11/hukum-progresif-dan-tindakan-hakim.html, diakses tanggal 16 Oktober 2014.
20 Ibid
20  Ibid
22   Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman