PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PERIKANAN
DALAM RANGKA PEMBERANTASAN ILEGAL FISHING
Dr. Eko Budi S, S.H., M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi
Email :
ekobudi1999@yahoo.co.id
ABSTRAK
Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
perikanan pada dasarnya diarahkan pada pertanggungjawaban pelaku tindak pidana perikanan (illegal fishing). Dampak illegal fishing menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan
sosial di masyarakat perikanan Indonesia. Undang-undang RI No.45 tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-undang
RI No.31 tahun 2004 tentang
Perikanan telah mengatur
tentang tindak pidana (delik) di bidang perikanan yang dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
kategori pelanggaran dan kejahatan. Efektifitas penegakan hukum masih kurang dikarenakan masih ada beberapa hambatan antara
lain faktor substansi, struktural, sarana prasarana pendukung, masyarakat dan budaya masyarakat
itu sendiri. Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya dalam meminimalkan
hambatan tersebut melalui beberapa strategi dalam rangka memberantas praktik ilegal fishing di perairan Indonesia.
Kata kunci : Penegakan hukum, illegal fishing.
1. PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan Negara Kepulauan,
yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari wilayah perairan (laut) yang sangat
luas
dengan potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang
dimiliki merupakan kekayaan negara dan sebagai potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai
tulang punggung pembangunan nasional. Diantara sekian
banyak masalah ekonomi ilegal, praktik pencurian ikan atau IUU (Illegal, Unregulated and Unreported fishing practices) oleh nelayan-nelayan
menggunakan armada kapal ikan asing adalah yang paling banyak merugikan negara.
Luasnya wilayah perairan Indonesia, dan lemahnya pengawasan pihak
berwenang terhadap kegiatan perikanan, seringkali dimanfaatkan nelayan asing
untuk melakukan illegal fishing di laut teritorial Indonesia. Sebagian pelaku
memang dibawa ke proses hukum. Namun, sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku illegal fishing masih terbilang rendah.
Indonesia
memiliki perairan seluas 3.273.810 km² yang menjadi habitat paling ideal bagi
satwa dan biota laut untuk hidup dan berkembang biak seperti ikan, terumbu
karang, lobster, rumput laut dan lainnya. Dengan garis pantai 95.181 km² dan
merupakan terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, Indonesia memiliki potensi
ekonomi laut senilai US$ 1,2 triliun per tahun, namun sayang selama puluhan
tahun perairan luas nan kaya ikan itu dicuri menggunakan kapal-kapal asing
penangkap ikan. Pada tahun 2011 data ekspor sektor perikanan Indonesia hanya
senilai US$ 3,34 miliar, kalah jauh dibandingkan Vietnam yang pada tahun sama
senilai US$ 25 miliar, padahal dalam hal luas perairan dan
panjang garis pantai, Vietnam tidak ada apa-apanya dibandingkan Indonesia,1 sedangkan
pada tahun 2014 mengalami kenaikan menjadi US$ 3,1 miliar. Lalu pada kuartal I
2015 nilai ekspor perikanan sudah menembus US$ 906,77 juta.2 Namun, menurut data dari Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan sejak Januari sampai Agustus 2014 jumlah pencurian ikan
menggunakan kapal-kapal nelayan asing diperkirakan telah merugikan negara Rp
101 triliun.3
Dalam
pidato pertamanya pada saat pelantikannya
sebagai presiden, Joko Widodo mengajak semua kalangan bekerja keras mengembalikan
Indonesia sebagai negara maritim dan memandang samudera, laut, selat dan teluk
sebagai masa depan peradaban Indonesia. Laut
adalah masa depan Indonesia sekaligus bagian dari peradaban. Jika tidak tegas
dari sekarang, pencurian ikan akan semakin menjadi-jadi dan kekayaan ikan
tinggal cerita.
Pemberantasan illegal
fishing dengan menggunakan aturan hukum UU RI
No. 31 tahun 2004 yang telah dirubah menjadi UU RI No. 34 tahun 2009 tentang perikanan
diharapkan mampu memberantas mafia illegal
fishing dalam rangka menyelamatkan kekayaan negara di sektor perikanan. Pemberantasan
illegal fishing menggunakan instrumen
tersebut telah mengatur pemidanaan terhadap para pelakunya. Pada dasarnya pemidanaan
dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan
konkritisasi atau realisasi dari ketentuan pidana dalam undang-undang yang
merupakan sesuatu yang abstrak. Pemidanaan adalah hal yang berkenaan dengan
pidana/hukuman seperti tujuan atau maksud dijatuhkannya pidana.4 Lebih lanjut menurut
Muladi unsur-unsur yang terkandung dalam suatu pidana antara lain : 1) Pidana itu pada
hakikatnya merupakan sesuatu pengenaan atau penderitaan atau nestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan, 2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau
badan yang mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang), 3) Pidana itu
dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.5
2. PERMASALAHAN
Di Indonesia,
keseriusan upaya pemberantasan
tindak pidana perikanan tampak dari upaya pembaharuan Undang-Undang
Perikanan. Hal tersebut terlihat dengan diundangkannya UU No.45 Tahun 2009
menggantikan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Tujuan utama
diundangkannya UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan adalah untuk ditegakkan
dalam rangka pemberantasan tindak
pidana perikanan. Oleh karena
itu, penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan adalah
merupakan konsekuensi yuridis yang logis dari penegakan ketentuan
perundang-undangan tersebut. Namun demikian, praktek penjatuhan pidana
(pemidanaan) terhadap pelaku tindak pidana perikanan terutama pelaku asing seringkali terlalu ringan sehingga
tidak menimbulkan efek jera.
3. PEMBAHASAN
3.1. Definisi Illegal Fishing
Yang dimaksud dengan IUU fishing (Illegal Unreported and unregulated)
adalah kegiatan penangkapan ikan yang illegal/tidak sah, unreported/tidak
dilaporkan dan unregulated/ tidak sesuai aturan. Berdasarkan International
Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing (IPOA-IUU Fishing)
tahun 2001, yang dimaksud kegiatan perikanan yang dianggap melakukan
illegal fishing antara lain :6 kegiatan
perikanan oleh orang atau kapal asing di perairan yang menjadi yurisdiksi suatu
negara, tanpa izin dari negara tersebut, atau bertentangan dengan hukum dan
peraturan perundang-undangan; kegiatan perikanan yang dilakukan oleh kapal yang
mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi
anggota dari satu organisasi
pengelolaan perikanan regional, akan tetapi dilakukan melalui cara yang
bertentangan dengan pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya
yang diadopsi oleh organisasi tersebut, dimana ketentuan tersebut mengikat bagi
negara-negara yang menjadi anggotanya, ataupun bertentangan dengan hukum
internasional lainnya yang relevan; kegiatan perikanan yang bertentangan dengan
hukum nasional atau kewajiban internasional, termasuk juga kewajiban negara-negara
anggota organisasi pengelolaan perikanan regional terhadap organisasi tersebut
dan kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum yang paling umum terjadi di wilayah
pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPP-NRI) adalah pencurian ikan
oleh kapal penangkap ikan berbendera asing, khususnya dari beberapa negara
tetangga.
Sedangkan yang dimaksud
kegiatan perikanan yang dianggap melakukan Unreported Fishing adalah :7 kegiatan perikanan yang
tidak dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, kepada otoritas nasional
yang berwenang, yang bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan
dan kegiatan perikanan yang dilakukan di area kompetensi RFMO yang belum
dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, yang bertentangan dengan
prosedur pelaporan dari organisasi tersebut. Jenis-jenis kegiatan perikanan
yang tidak dilaporkan, antara lain : pelaporan data hasil tangkapan, sea
transhipment tanpa
didata/dilaporkan kepada aparat yang berwenang; tidak melaporkan hasil
tangkapannya, untuk menghindari pembayaran pungutan atas usaha yang dilakukan;
kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan tidak melapor di pelabuhan
pangkalan kapal sesuai izin yang diberikan dan kapal penangkap ikan langsung
dari laut membawa ikan hasil tangkapan ke luar negeri.
Adapun
kegiatan perikanan yang dianggap melakukan Unregulated Fishing adalah :8 kegiatan perikanan yang
dilakukan di area kompetensi RFMO yang relevan yang dilakukan oleh kapal
tanpa kebangsaan, atau oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang
tidak menjadi anggota dari organisasi tersebut, atau oleh perusahaan perikanan,
yang dilakukan melalui cara yang bertentangan dengan pengaturan konservasi dan
pengelolaan organisasi tersebut; kegiatan perikanan yang dilakukan di wilayah
perairan atau untuk sediaan ikan dimana belum ada pengaturan konservasi dan
pengelolaan yang dapat diterapkan, yang dilakukan melalui cara yang
bertentangan dengan tanggung jawab negara untuk melakukan konservasi dan
pengelolaan sumber daya alam hayati laut sesuai dengan ketentuan hukum
internasional. Kegiatan IUU Fishing ini mencakup pelanggaran terkait
pengelolaan dan pelestarian sumberdaya perikanan di perairan nasional maupun
internasional.
3.2. Faktor-Faktor
Penyebab
Faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya Illegal
fishing di perairan Indonesia tidak terlepas dari lingkungan strategis
global terutama kondisi perikanan di negara lain yang memiliki perbatasan laut
dan sistem pengelolaan perikanan di Indonesia itu sendiri. Secara garis besar
faktor-faktor penyebab tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) faktor, antara
lain :9 Pertama,
Kebutuhan ikan dunia (demand)
meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun, terjadi overdemand terutama
jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini mendorong armada perikanan dunia
berburu ikan di manapun dengan cara legal atau illegal. Kedua, Disparitas
(perbedaan) harga ikan segar utuh (whole
fish) di negara lain dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga
membuat masih adanya surplus pendapatan. Ketiga, Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara
di Indonesia masih menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan pasokan
ikan untuk konsumsi mereka dan harus mempertahankan produksi pengolahan di negara
tersebut tetap bertahan. Keempat, Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di
sisi lain kemampuan pengawasan khususnya armada pengawasan nasional (kapal patroli/pengawas)
masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan untuk mengawasai daerah rawan. Luasnya
wilayah laut yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat
terbukanya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-kapal ikan
asing maupun lokal untuk melakukan illegal fishing. Kelima, Sistem pengelolaan
perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka (open acces), pembatasannya hanya
terbatas pada alat tangkap (input
restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual
geografi Indonesia, khususnya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas. Keenam,
Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta sumber daya manusia
pengawasan khususnya dari sisi kuantitas. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun
ini baru terdapat 578 Penyidik Perikanan (PPNS Perikanan) dan 340 ABK (Anak
Buah Kapal) Kapal Pengawas Perikanan. Jumlah tersebut, tentunya sangat belum
sebanding dengan cakupan luas wilayah laut yang harus diawasi. Hal ini, lebih
diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan. Ketujuh,
Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam penanganan
perkara tindak pidana perikanan masih belum solid, terutama dalam hal pemahaman
tindakan hukum, dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.
Kegiatan Illegal Fishing di WPP-RI telah
mengakibatkan kerugian yang besar bagi Indonesia. Overfising, overcapacity, ancaman terhadap kelestarian sumberdaya
ikan, iklim usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing
perusahaan dan kelemahan nelayan merupakan dampak nyata dari kegiatan IUU fishing. Kerugian lain yang tidak
dapat di nilai secara materil namun sangat terkait dengan harga diri bangsa,
adalah rusaknya citra Indonesia pada kancah International karena dianggap tidak
mampu untuk mengelola perikanannya dengan baik. Untuk dapat mengetahui,
kerugian materil yang diakibatkan oleh Illegal
fishing perlu ditetapkan angka asumsi dasar antara lain : diperkirakan
jumlah kapal asing dan eks asing yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang dicuri dari kegiatan IUU fishing dan dibuang (discarded) sebesar 25% dari stok
(estimasi FAO, 2001). Dengan asumsi tersebut, jika MSY (maximum sustainable yield = tangkapan lestari maksimum) ikan = 6,4
juta ton/th, maka yang hilang di curi dan dibuang sekitar 1,6 juta ton/th. Jika
harga jual ikan di luar negeri rata-rata 2 USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa
mencapai Rp 30 trilyun. Negara-negara yang (warganya) mencuri ikan di wilayah
laut Indonesia antara lain : Thailand,
Filipina, Vietnam, Malaysia, RRC, dan Taiwan yang potensi sumber daya ikan
lautnya jauh lebih kecil.10
3.3. Pengaturan
Hukum Terhadap Tindak Pidana Perikanan
Secara subtansial, perubahan yang signifikan pada Undang-Undang RI No. 45 tahun 2009
dibandingkan dengan Undang-Undang RI No. 31 tahun 2004 yang terdahulu, adalah
penekanan pada ketentuan sanksi pidana berat terhadap kapal asing yang
melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Sejarah
lahirnya Undang-Undang RI No. 45 Tahun 2009 ini ada tersirat bahwa
undang-undang terdahulu dirubah karena terdapat kekurangan. Beberapa hal yang
dapat kita cermati tentang perubahan-perubahan substansial antara undang-undang
nomor 31 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 antara lain pada :11 1) Hal pembatasan penangkapan kapal penangkap
ikan berbendera asing tidak diperbolehkan menangkap ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tanpa
memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Indonesia. 2) Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 93 tidak menyebutkan secara jelas mengenai
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), melainkan Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia. Melalui Undang-Undang RI No. 45 tahun 2009, penyebutan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia sudah sangat tegas dan jelas. Penegasan itu dapat dilihat
pada Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 93 ayat (2) menyatakan, “Setiap orang yang
memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing
melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar
rupiah). 3) Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang di emban TNI-AL dan
Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan
dan Perikanan. Kewenangan besar bagi TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diberikan Undang-Undang RI No. 45 tahun
2009 untuk mencegah dan memberantas pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
merupakan salah satunya tugas berat yang harus dilaksanakan. Dalam melaksanakan
fungsi dan tugasnya, penyidik dan pengawas perikanan dapat melakukan tindakan
khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera
asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 4) Putusan perampasan benda dan/atau alat yang
dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan. Pasal
104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan digunakan untuk menempatkan
benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari
tindak pidana pencurian ikan menjadi rampasan melalui putusan pengadilan. 5) Peran
serta masyarakat diperlukan. Selain TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Penegak Hukum lainnya, Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan, juga diikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia. 6) Tidak mementingkan unsur
kesengajaan. Tindak pidana pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia “setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan “ dalam beberapa
pasal Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang
memang sebenarnya tidak mempunyai niat melakukan tindak pidana pencurian ikan
di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.7) Penggunaan sistem pidana, penggunaan
sistem pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian ikan oleh nelayan
asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia tidak diberlakukan. Penahanan pun tidak boleh dilakukan oleh
penyidik. Ketika ditangkap di Tempat Kejadian Perkara, selanjutnya tersangka di
bawa untuk diproses dengan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Setelah
selesai diperiksa, tersangka harus secepatnya dipulangkan ke negara asalnya
tanpa ditahan terlebih dahulu. 8) Persamaan Hukuman Bagi Percobaan dan Tindak
Pidana sesuai Undang-Undang RI No. 45 tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang RI No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyamakan hukuman pidana
bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan. Tindak
Pidana Pencurian Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI ) adalah suatu
kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang sangat besar yaitu
merugikan Negara lebih kurang 30 trilyun rupiah per tahun.
Dari ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XV
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan dapat dikelompokkan dari segi bentuk perbuatannya
yaitu Kejahatan dan pelanggaran. 1)
Bentuk perbuatan yang dikategorikan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal,
84, 85, 86, 88, 91, 92, 93, 94, dan 94A. 2) Bentuk perbuatan yang dikategorikan
Pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal, 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 100A, 100B, 100C,
dan 100D. Klasifikasi kejahatan dan pelanggaran dalam tindak pidana perikanan
tersebut di atas sesuai rumusan hukum pidana yang menyatakan hal-hal sebagai
berikut :12 a) Hukum
Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara. b)
Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana. c) Hukum
pidana menentukan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana. d)
Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana. e) Hukum pidana mengatur tentang pertanggungjawaban
hukum pidana (criminal liability/
criminal responsibility). f) Beberapa pendapat tentang pengertian hukum
pidana. g) Hal-hal yang perlu ditegaskan sehubungan pengertian kita kepada
hukum pidana.Berdasarkan rumusan tersebut, dalam tindak pidana perikanan dapat
dengan jelas terlihat apakah itu berupa kejahatan ataupun pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencurian ikan dan pidana apa yang akan
diberikan kepada pelanggar peraturan perikanan yang ada.
Dalam pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana
perikanan harus dapat dipahami lebih mendalam dan harus diketahui dasar dari
pemidanaan tersebut. Sistem pidana dan pemidanaan pada aliran klasik sangat
menekankan pemidanaan terhadap perbuatan, bukan pada pelakunya. Artinya
penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem peringanan atau
pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku,
kejahatan-kejahatan yang dilakukan terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari
perbuatan/kejahatan yang dilakukan.13
Aliran modern yang mencari sebab kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan
bermaksud untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat secara positif
sejauh dia masih dapat diperbaiki. Karenanya aliran ini bertitik tolak dari
pandangan determinisme dan menghendaki adanya individualism pidana yang
bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.
Tujuan dari pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro,
yaitu : 1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik
secara menakut-nakuti orang banyak (general preventif) maupun menakut-nakuti
orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar kemudian hari tidak
melakukan kejahatan lagi (special preventif), atau 2) Untuk mendidik atau
memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga
bermanfaat bagi masyarakat.14
P.A.F. Lamintang menyatakan pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang
tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu : 1) Untuk memperbaiki
pribadi dari penjahat itu sendiri 2) Untuk membuat orang menjadi jera dalam
melakukan kejahatan-kejahatan, dan 3) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu
menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni
penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.15
3.4. Dampak Perikanan Ilegal
Maraknya
perikanan ilegal di perairan Indonesia berdampak terhadap stok ikan nasional
dan global. Hal ini juga menyebabkan keterpurukan ekonomi nasional dan
meningkatnya permasalahan sosial di masyarakat perikanan Indonesia. Sedikitnya terdapat sepuluh masalah pokok dari aktivitas
perikanan ilegal yang telah memberi dampak serius bagi Indonesia.16 Pertama, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengancam
kelestarian stok ikan nasional bahkan dunia. Praktek perikanan yang tidak
dilaporkan atau laporannya salah (misreported),
atau laporannya di bawah standar (under
reported), dan praktek perikanan yang tidak diatur (unregulated) akan
menimbulkan masalah akurasi data tentang stok ikan yang tersedia. Jika data stok ikan tidak akurat, hampir dipastikan
pengelolaan perikanan tidak akan tepat dan akan mengancam kelestarian stok ikan
nasional dan global. Hal ini dapat dikategorikan melakukan praktek IUU fishing.
Dengan kata lain, jika pemerintah Indonesia tidak serius untuk mengantisipasi
dan mereduksi kegiatan IUU diperairan Indonesia, maka dengan sendirinya Indonesia “terkesan” memfasilitasi kegiatan
IUU, dan terbuka kemungkinan untuk mendapat sanksi internasional.
Kedua,
perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan
tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB).
Disamping juga mendorong hilangnya rente sumberdaya perikanan yang seharusnya
dinikmati oleh Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa kerugian dari praktek
perikanan ilegal mencapai US$ 4 milyar per tahun. Jika diasumsikan harga ikan
ilegal berkisar antara US$ 1.000-2.000 per ton maka setiap tahunnya Indonesia
kehilangan sekitar 2-4 juta ton ikan. Perhitungan lain menyebutkan, bahwa total
kerugian negara akibat perikanan ilegal mencapai US$ 1,924 miliar per tahun.
Angka ini terdiri dari pelanggaran daerah operasi sebesar US$ 537,75 juta;
dokumen palsu US$ 142,5 juta kapal tanpa dokumen atau liar US$ 1,2 juta dan
penggunaan ABK asing US$ 780 juta.
Ketiga,
perikanan illegal mendorong ke arah penurunan tenaga kerja pada sektor
perikanan nasional, seperti usaha pengumpulan dan pengolahan ikan. Apabila hal
ini tidak secepatnya diselesaikan maka akan mengurangi peluang generasi muda
nelayan untuk mengambil bagian dalam usaha penangkapan ikan. Keempat, perikanan ilegal akan mengurangi peran tempat
pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan penerimaan uang
pandu pelabuhan. Karena kapal penangkapan ikan ilegal umumnya tidak mendaratkan
ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Hal ini akan berdampak
secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan nasional dari sektor perikanan.
Kelima,
perikanan ilegal akan mengurangi pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi
yang sah. Perikanan ilegal akan mengurangi sumberdaya perikanan, yang pada
gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin
penangkapan yang sah. Keenam, baik secara
langsung maupun tidak langsung, multiplier effects dari perikanan ilegal
memilikib hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas
penangkapan ikan nasional akan otomotis berkurang sejalan dengan hilangnya
potensi sumberdaya ikan akibat aktivitas perikanan ilegal. Apabila potensi ikan
yang dicuri dapat dijala oleh armada perikanan nasional, maka sedikitnya dapat
menjamin bahan baku yang cukup bagi industri pengolahan hasil perikanan,
misalnya pengalengan tuna. Pada umumnya ikan yang dicuri dari perairan
Indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis besar lainnya. Jika setiap industri
pengalengan ikan tuna memerlukan bahan baku minimal 80-100 ton per hari atau
sekitar 28.000-36.000 ton per tahun, maka ikan yang dicuri tersebut sedikitnya
dapat menghidupi 42 industri pengalengan ikan tuna nasional.
Ketujuh,
perikanan ilegal akan berdampak pada kerusakan ekosistem, akibat hilangnya
nilai dari kawasan pantai, misalnya udang yang dekat ke wilayah penangkapan
ikan pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusak oleh perikanan ilegal.
Selanjutnya akan berdampak pada pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang
melakukan penangkapan ikan di wilayah pantai. Kedelapan, perikanan ilegal akan meningkatkan konflik
dengan armada nelayan tradisional. Maraknya perikanan ilegal mengganggu
keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan
di perairan Indonesia. Nelayan asing selain melakukan penangkapan secara
ilegal, mereka juga sering menembaki nelayan tradisional yang sedang melakukan
penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) yang sama. Selain itu
perikanan illegal juga akan mendorong ke arah pengurangan pendapatan rumah
tangga nelayan dan selanjutnya akan memperburuk situasi kemiskinan.
Kesembilan,
perikanan ilegal berdampak negatif pada stok ikan dan ketersediaan ikan, yang
merupakan sumber protein penting bagi Indonesia. Pengurangan ketersediaan ikan
pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan
nasional. Hal ini akan meningkatkan risiko kekurangan gizi dalam masyarakat,
dan berdampak pada rencana pemerintah untuk meningkatkan nilai konsumsi ikan. Kesepuluh, perikanan ilegal akan berdampak negative pada
isu kesetaraan gender dalam penangkapan ikan dan pengolahan serta pemasaran
hasil penangkapan ikan. Fakta di beberapa daerah menunjukkan bahwa istri
nelayan memiliki peranan penting dalam aktivitasb penangkapan ikan di pantai
dan pengolahan hasil tangkapan, termasuk untuk urusan pemasaran hasil
perikanan.
3.5. Hambatan
Suatu perbuatan yang
dikategorikan sebagai tindak pidana pada dasarnya merupakan perbuatan yang
dicela dan dilarang untuk dilakukan sebab dapat merugikan kepentingan orang
lain maupun kepentingan umum.
Dengan demikian suatu perbuatan yang dikategorikan
sebagai tindak pidana adalah apabila perbuatan tersebut dilarang oleh
Undang-Undang dan diancam dengan pidana. Oleh karena itu segala perbuatan
ataupun aktivitas yang dilakukan secara illegal diwilayah perairan laut Indonesia yang dengan tegas dinyatakan sebagai
keharusan atau larangan oleh undang-undang dan harus diberantas karena merupakan suatu tindak pidana. Dalam rangka pemberantasan illegal fishing oleh nelayan asing cara yang
lebih efektif adalah dengan penagakan hukum.
Mengenai
faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum meliputi hukum itu sendiri
(sustansi hukum), aparat hukum (Struktural), sarana prasarana, masyarakat dan
kebudayaan.17 Faktor penghambat tersebut antara lain : Pertama,
Hambatan yang berkaitan dengan substansi hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam UU RI No. 31 tahun 2004 yang telah
dirubah menjadi UU RI No. 34 tahun 2009 tentang perikanan secara yuridis formal terdapat tiga instansi yang
diberi wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana perikanan diwilayah
perairan laut Indonesia yakni Perwira TNI Angkatan Laut, Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan.
Meskipun demikian undang-undang tersebut tidak mengatur secara tegas dan jelas
pembagian kewenangan, serta pengaturan mekanisme kerja yang pasti, sehingga
ketiga instansi tersebut dapat menyatakan berwenang dalam penegakan hukum tanpa
adanya keterpaduan sistem dalam pelaksanaannya. Pengaturan yang demikian ini
dapat menimbulkan kerawanan adanya perbedaan penafsiran peraturan
perundang-undangan dan perbedaan pola penegakan hukum diantara sesama aparat,
bahkan timbul kekhawatiran akan adanya ketidak harmonisan atau gesekan antar
aparat dalam pelaksanaan pemberantasan illegal fishing.18 Keadaan ini sangat potensial untuk menimbulkan
konflik kewenangan dalam penegakan hukum. Padahal Konflik kewenangan merupakan keadaan yang sangat
tidak menguntungkan dan mencerminkan penegakan hukum yang lemah dan tidak
optimal, sehingga berdampak kepada eksistensi tindak pidana diwilayah perairan
laut dengan frekuensi yang cukup tinggi dan tetap terus berlangsung. Selain
menimbulkan konflik kewenangan, keadaan ini juga merupakan kelemahan dalam
hukum acara, dimana pengaturan kewenangan yang demikian ini memberikan celah
yang jelas dalam proses pidana untuk melakukan praperadilan guna menguji
keabsahan kewenangan penyidik yang melakukan proses penyidikan sehingga proses
peradilan menyita waktu yang lama. Sementara itu sering dipermasalahkan tindakan hukum berupa penangkapan, penahanan
dan penyidikan yang dilakukan penyidik. Permasalahan lain adalah obyek penegak
hukum sulit ditembus hukum. Obyek yang dimaksud disini adalah pelaku yang
terlibat dalam kejahatan Illegal Fishing yaitu pelaku yang menjadi otak dari
kegiatan tersebut. Terutama dalam hal ini adalah oknum Pejabat Penyelenggara
Negara, oknum Aparat Penegak Hukum atau oknum Pegawai Negeri Sipil yang tidak
diatur secara khusus dalam Undang–Undang tentang Perikanan tersebut.Penerapan
Pasal 56 ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai
orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan
perbuatan pidana dapat juga diterapkan dalam kejahatan Illegal Fishing yang
melibatkan banyak pihak. Namun demikian beban pidana yang harus ditanggung
secara bersama dalam terjadinya tindak pidana Illegal Fishing juga dapat
mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat
perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidanakan
maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHP,
sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditemukan.
Kedua,
Hambatan yang berkaitan dengan sumber daya manusia aparat penegak hukum
terdapat beberapa kelemahan yang melekat kepada aparat penegak hukum selaku
individu dan kelembagaan, yakni : Aspek intelektual yang mendorong
dan melahirkan profesionalisme (khususnya dalam penegakan hukum) patut
dipertanyakan serta belum mampu mengikuti perkembangan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang cenderung dinamis, motivasi dan kesejahteraan aparat
penegak hukum masih rendah, sehingga tidak akan mampu memberikan arah
pengabdian yang jelas, dedikasi sebagai bobot pengabdian terasa semakin
menipis, oleh karena itu pandangan tentang keamanan nasional perlu digalakkan
dalam rangka berpikir secara komprehensif integral, artinya bahwa penegakan
hukum dan menjaga keamanan di laut menjadi tugas bersama. Sebagaimana diketahui
bahwa prosedur dan tata cara pemeriksaan
tindak pidana di laut sebagai bagian dari penegakan hukum di laut
mempunyai ciri dan cara yang khas serta mempunyai beberapa perbedaan dengan
pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini disebabkan karena di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional,
akan tetapi terdapat pula kepentingan-kepentingan internasional yang harus
dihormati, selian itu hampir semua tindak pidana diwilayah perairan laut merupakan
tindak pidana yang terorganisir, sehingga diperluakan keterampilan hukum yang
mumpuni dan professional dalam mengungkapnya. Oleh karena itu diperlukan
kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia aparat penegak hukum yang
profesional dan berintegritas yang tidak hanya baik tetapi juga expert (ahli)
dalam bidang hukum khususnya dalam penangan perkara.
Ketiga,
Hambatan yang berkaitan dengan fasilitas dan sarana penegakan hukum. Sebagaimana
diketahui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan
yang sebagian besar wilayahnya berbentuk perairan, dimana Indonesia, dimana
total luas wilayah indonesia adalah 7.9 juta km² yang terdiri dari 1.8 juta km²
wilayah daratan dan 3.2 juta km² wilayah laut teritorial serta 2.9 juta km²
laut perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dengan demikian total wilayah
perairan Indonesia adalah 77% dari seluruh luas Indonesia, atau tiga kali luas
wilayah daratan Indonesia. Bahwa jumlah kapal yang dimiliki TNI Angkatan Laut,
Polri dan kapal pengawas perikanan untuk melaksanakan pengawasan di laut tidak
sebanding dengan luas wilayah perairan yang harus diawasi yang membentang dari
sabang sampai marauke. Keadaan ini menjadi semakin berat bagi aparat di laut,
sebab sarana patroli yang kondisinya terbatas, dimana sistem pendorongan,
bangunan kapal, peralatan navigasi dan komunikasi yang kurang memadai karena
faktor usia serta profesionalisme pengawaknya. Kondisi ini sangat tidak
menguntungkan mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sedemikian pesat telah berdampak pula pada peningkatan kuantitas dan kualitas
ancaman, sementara alokasi anggaran pemeliharaan kapal masih sangat minim.
Hambatan
lainnya, yang berkaitan dengan prosedur penangan tindak pidana diwilayah
perairan laut Indonesia. Bahwa undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana Indonesia yang dikenal dengan KUHAP, menganut sistem spesialisasi,
differensiasi dan Kompartemensasi, yaitu membedakan dan menerapkan pembagian
kewenangan kepada masing-masing institusi dengan cara memisahkan secara tegas
tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan
serta pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan yang terintegrasi, menuju
kepada sistem peradilan pidana terpadu. Oleh karena itu keberhasilan proses
peradilan, ditentukan oleh bekerjanya sistem peardilan pidana, dimana tidak
berfungsinya salah satu subsistem akan mengganggu bekerjanya subsistem
paradilan pidana yang lain, yang pada akhirnya menghambat bekerjanya proses
peradilan pidana. Dalam pemberantasan illegal fishing, terkait dengan wewenang
masing-masing institusi yang secara yuridis formal diberi kewenangan untuk
melakukan penyidikan, terlihat belum adanya sinergi antar institusi, meskipun
telah dibentuk forum atau badan koordinasi seperti badan koordinasi keamanan
laut. Keadaan yang demikian ini terlihat dalam pelaksanaan operasi keamanan di
laut yang lebih sering dilaksanakan sendiri-sendiri oleh masing-masing
instansi, dimana hal ini sangat mempengaruhi pola operasi dan penggelaran
kekuatan, oleh karena itu sangat mungkin terjadi di satu wilayah atau kawasan
terdapat penumpukan kapal patroli sementara di wilayah atau kawasan lainya
tidak ada unsur patroli.
Keadaan
yang demikian ini menimbulkan permasalahan-permasalahan didalam praktek, yang
disebabkan selain adanya perbedaan persepsi, tetapi juga akibat adanya
egosentrisme dimana baik kepolisian, TNI Angkatan Laut, maupun Penyidik Pegawai
negeri sipil perikanan merasa memiliki kewenangan sehingga upaya pemberantasan
tindak pidana diwilayah perairan laut menjadi kurang efektif. Selain itu, kondisi
ini juga rawan menimbulkan konflik kepentingan antar instansi penegak hukum dan
tidak jarang pada tingkat pelaksana di
lapangan sering berebut kapal tangkapan. Bahkan ada kapal perikanan yang sudah
ditangkap dan diperiksa oleh penyidik TNI Angkatan Laut setelah dilepas karena
tidak cukup bukti, kemudian ditangkap lagi oleh penyidik Kepolisian. Kondisi
seperti ini merupakan bukti nyata telah terjadinya proses pelaksanaan ganda
(double law enforcemen process), artinya bahwa tindak pidana yang telah dilakukan
proses penyidikan oleh salah satu instansi harus dilakukan proses penyidikan
kembali oleh instansi lainya yang juga berwenang menyidik tindak pidana
diwilayah perairan laut.
3.6. Upaya
yang dilakukan
Disadari
bahwa persoalan illegal fishing
ini merupakan persoalan multi-actors
dalam konteks melibatkan banyak pihak (masyarakat nelayan, pemerintah dan
pelaku perikanan); multi-level
karena melibatkan juga aktor global (asing) khususnya yang terkait dengan
konflik fishing ground,
kerjasama multi-lateral di level sub-regional maupun regional; dan multi-mode khususnya yang terkait
dengan regulasi peraturan, law
enforcement, hingga penyediaan fasilitas dan prasarana
pengawasan. Dengan mempertimbangkan efek ganda yang ditimbulkan dari
persoalan illegal fishing
seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pemerintah harus melaksanakan dua
strategi secara simultan, yaitu strategi ke dalam (internal strategy) dan strategi keluar (external strategy).19
Strategi
ke dalam terdiri dari tiga strategi. Pertama,
pembenahan sistem hukum dan peradilan perikanan. Lemahnya produk hukum serta
rendah mental penegak hukum dilaut merupakan masalah utama dalam penanganan illegal fishing di Indonesia. Akan
tetapi dengan disahkannya Undang-Undang RI No. 45 tahun 2009
tentang perikanan, maka diharapkan penegakan
hukum di laut dapat dilakukan. Dalam UU perikanan ini sanksi yang diberikan
terhadap pelaku illegal fishing
cukup berat. Contohnya adalah dalam UU tersebut diwajibkan bagi setiap kapal
penangkap ikan harus memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI). Bagi kapal
berbendera Indonesia yang melanggar ketentuan itu, pengelola dan pemilik kapal
bisa diancam pidana enam tahun dan denda Rp 2 miliar. Kalau pelanggaran
dilakukan kapal berbendera asing, pengelola serta pemilik kapal terancam
penjara enam tahun dan denda Rp 20 miliar. Selain itu, UU tersebut juga
menegaskan bahwa pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa
kehadiran terdakwa. Hakim juga harus sudah menjatuhkan putusan paling lama 30
hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan berkas perkara dari penuntut
umum. Jangka waktu yang sama berlaku pula bagi hakim pengadilan tinggi serta
Mahkamah Agung dalam memutuskan permohonan banding dan kasasi. Dengan kata lain
penanganan pengadilan perikanan dapat dilakukan secara cepat dan efisien
mengingat karakteristik komoditas perikanan yang cepat busuk. Dengan pengadilan
ad-hoc ini diharapkan nilai ikan yang
dapat diselamatkan dapat meningkat sekaligus membantu mengurangi kerusakan
kapal asing yang dijadikan bahan sitaan, yang bisa disumbangkan kepada nelayan
nasional. Adanya UU perikanan ini harus didukung oleh para aparat penegak hukum
di laut, dengan armada yang tangguh serta mental dan semangat untuk menegakan
hukum merupakan kunci utama implementasi UU perikanan guna mengatasi
permasalahan illegal fishing.
Kedua, Peningkatan aparatur penegak hukum dengan cara pengembangan
dan penguatan kamampuan pengawasan (penegakan hukum) dilaut, dapat dilakukan
melalui beberapa hal yaitu (a)
pemberlakuan sistem MCS (Monitoring,
Control and Surveillance)
di mana salah satunya adalah dengan menggunakan VMS (Vessel Monitoring Systems) seperti yang direkomendasikan pula
oleh FAO. Secara sederhana sistem ini terdiri dari sistem basis data yang
berbasis pada sistem informasi geografis (SIG), sehingga operator VMS dapat
memantau seluruh posisi kapal di wilayah perairan tertentu. Dengan demikian
keberadaan kapal penangkap ikan asing dapat segera diidentifikasi untuk dapat
diambil tindakan selanjutnya. (b)
Memberdayakan dan meningkatkan kapasitas kelembagaan dan organisasi pengawasan
yang berada di masyarakat (community-based
monitoring). Dengan upaya peningkatan kesadaran akan pentingnya
sumberdaya perikanan dan kelautan bagi kehidupan mereka dan kelestarian
ekosistem, diharapkan nelayan lokal dapat mengawasi daerah penangkapannya dari
upaya-upaya destruktif maupun illegal
fishing. Sistem pengawasan berbasis masyarakat ini pun
dilakukan di negara-negara maju. Jepang misalnya, telah lama menerapkan sistem
ini khususnya yang terkait dengan implementasi “gyogyou ken” (fishing right) bagi komunitas
perikanan tertentu. Dengan ujung tombak “gyogyou kumiai” (fisheries cooperative), komunitas perikanan lokal mengawasi
daerah penangkapannya dari illegal
fishing. (c) Pemenuhan
kebutuhan sarana dan prasarana pengawasan secara bertahap sesuai dengan
prioritas dan kebutuhan. (d)
Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan instansi lintas sektor yang
terkait dalam bidang pengawasan.
Ketiga, penyempurnaan sistem
dan mekanisme perizinan perikanan tangkap. Jumlah kapal penangkapan ikan yang diizinkan beroperasi di suatu daerah
penangkapan ikan tidak melebihi jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (80%
MSY) agar usaha perikanan tangkap dapat berlangsung secara menguntungkan dan
lestari. Selain itu secara bertahap tidak ada lagi izin penangkapan bagi Kapal
ikan asing di perairan ZEEI. Dan yang paling penting adalah prosedur pengurusan
perizinan secara transparan dan cepat. Khusus untuk mengatasi masalah kapal
Ikan asing yang melakukan IUU Fishing, strategi yang dapat dilakukan adalah
moratorium bagi kapal penangkap ikan asing. Pemberian ijin terhadap kapal asing
untuk beroperasi di wilayah perairan Indonesia bukanlah strategi “legalisasi”
kapal asing ilegal, namun justru merupakan salah satu exit strategy dari persoalan illegal fishing. Karena pemberian
ijin tersebut bukan tanpa syarat. Salah satunya adalah bahwa kapal asing
tersebut diharuskan untuk mendaratkan ikannya di wilayah perairan Indonesia dan
negara pemilik kapal asing tersebut harus bersedia turut berkontribusi dalam
pengembangan fasilitas perikanan di pusat-pusat pendaratan ikan di wilayah
Indonesia.
Keempat, Peningkatan sarana prasarana yaitu penguatan
(moderenisasi) armada perikanan tangkap nasional. Salah satu penyebab maraknya
praktek illegal fishing
di ZEEI adalah sedikitnya armada kapal ikan Indonesia yang beroperasi di daerah
ZEEI dikarenakan kemampuan armada kapalnya yang rendah (kemampuan jangkauan
pendek dan waktu berlayar singkat). Hal ini menyebabkan para nelayan asing
dengan leluasa menangkap ikan di wilaya ZEEI. Dengan kata lain, kita harus
menjadikan nelayan kita sebagai tuan rumah di lautnya sendiri.
Sedangkan
strategi keluar (external strategy)
terkait dengan pentingnya kerjasama regional maupun international khususnya
yang terkait dengan negara tetangga. Dengan meningkatkan peran ini ada 2
manfaat sekaligus yang diperoleh. Pertama, Indonesia dapat meminta negara lain untuk
memberlakukan sangsi bagi kapal yang menangkap ikan secara ilegal di perairan
Indonesia seperti yang diuraikan di atas. Dengan menerapkan kebijakan
anti IUU fishing secara
regional, upaya pencurian ikan oleh kapal asing dapat ditekan serendah
mungkin. Hal ini misalnya telah dilakukan dalam bentuk Joint Commission Sub Committee of Fisheries
Cooperation antara Indonesia dengan Thailand dan Filipina guna
membahas isu-isu perikanan dan delimitasi batas ZEE antar negara.
Kerjasama ini juga dapat diterapkan dalam konteks untuk menekan biaya
operasional MCS sehingga joint operation untuk VMS misalnya dapat dilakukan.
Kedua, dengan
bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi perikanan internasional, maka secara
tidak langsung Indonesia telah menghentikan praktek “non-member fishing” yang dilakukan sehingga produk perikanan
Indonesia relatif dapat ‘diterima’ oleh pasar internasional. Pada masa lalu,
keengganan pemerintah Indonesia bergabung ke dalam organisasi perikanan
regional/internasional lebih disebabkan oleh adanya kewajiban membayar member fee. Namun di saat
kecenderungan global akan pentingnya memberantas praktek IUU fishing ini terus
meningkat, upaya pencegahan melalui organisasi internasional ini tetap perlu
dilakukan secara gradual.
REFERENSI
1 https://lingkunganitats.wordpress.com/2014/12/25/kasus-pencurian-ikan-di-wilayah-indonesia/#more-1407,
diakses tanggal 18 Mei 2015.
2.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150518201340-92-54026/ekspor-perikanan-naik-signifikan/,
diakses tanggal 18 Mei 2015.
3.
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/11/11/128705/memberantas-ganasnya-pencurian-ikan-di-perairan-indonesia/
diakses tanggal 18 Mei 2015.
4.
Adami
Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2002 hal 151.
5.
Ibid.
6.
http://www.djpt.kkp.go.id/index.php/profil/c/15/Apa-yang-dimaksud-IUU-fishing/?
category_id= 12 diakses tanggal 20 Mei 2015.
7.
Ibid.
8.
Ibid
9
http://mukhtar-api.blogspot.com/2012/07/illegal fishing.html, diakses
tanggal 20 Mei 2015.
10
Ibid.
11
Supriadi, Hukum Perikanan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
hal. 462.
12 Djoko
Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2000, hal. 19.
13 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum
Pidana Tentang Sistem Peradilan Terpadu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hal. 62.
14
http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian jenis-jenis dan tujuan.html
diakses tanggal 20 Mei 2015. .
15 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum
Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 83.
16
http://ikanmania25.blogspot.com/2011/11/illegal-fishing.html, diakses tanggal
20 Mei.
17 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 8.