BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Indonesia telah melakukan kriminalisasi
terhadap pencucian uang (Money
Laundering) sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) dan kemudian pada
Oktober 2003 diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Meskipun
telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan
ini masih jauh dari memuaskan. Ketika diamandemen pada tahun 2003, alasan
utamanya lebih pada kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk
diterapkan dimana ha1 ini juga atas desakan Financial Action Task Force
(FATF).' Kelemahan substansi nampaknya karena pembentukannya tidak didasari
atas suatu kebutuhan tetapi lebih karena adanya desakan Internasional. Desakan
Internasional pertama kali dilakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui
beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF
akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring
formal FATF. Namun demikian ternyata ha1 ini bukan berarti lndonesia
tidak "diawasi" karena pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan review
secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di
Indonesia termasuk peraturan perundangan yang mendukung penegakannya.
Apabila dipahami, semua tindak pidana
ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka
seharusnya penerapan UUTPPU juga banyak terhadap perkara kejahatan ekonomi.1 Kenyataannya, putusan pengadilan
terhadap kejahatan keuangan yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 (dua
puluh) putusan, padahal kejahatan ekonomi yang sampai pada pengadilan jumlahnya
sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap penyidikan jumlahnya jauh lebih
banyak), misalnya dari komposisi kejahatan perbankan, illegal logging, penyelundupan
dan lainl-lain. Semua kejahatan tersebut seharusnya diajukan ke pengadilan
dengan dua dakwaan sekaligus yaitu kejahatan asalnya dan muara uang hasil
kejahatan sebagai tindak pidana pencucian uang. Seharusnya dipahami bahwa kriminalisasi
pencucian uang merupakan suatu strategi untuk memberantas berbagai kejahatan
ekonomi. Bukan saja melalui upaya penerapan hukum terhadap kejahatan asal,
tetapi juga menghadang aliran hasil
kejahatan dengan ketentuan anti pencucian tersebut. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa penerapan ketentuan anti pencucian uang bertujuan tidak
saja menangkap pelakunya tetapi juga menelusuri hasil kejahatan dan kemudian
merampasnya. Melihat masih sedikitnya kasus pencucian uang yang sampai pada
putusan atau begitu banyaknya kasus kejahatan ekonomi yang tidak dikaitkan
dengan tuntutan pencucian uang, menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi faktor
penyebabnya ? Keadaan ini bukan tidak mungkin Indonesia dianggap tidak
bersungguh-sungguh dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan
akan berakibat pada penilaian yang tidak menguntungkan bagi Indonesia di mata
internasional, terutama oleh FATF. Untuk itu nampaknya harus dikaji
lebih mendalam tentang faktor apa saja
yang menjadi kendala sehingga penegakan hukum terhadap pencucian uang
begitu lemah. Pengkajian ini harus diawali dengan memahami kembali latar
belakang dan tujuan dilakukannya kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian
uang, baik secara global maupun untuk kepentingan nasional, kemudian
disinergikan dengan kualitas perundangan, kesiapan aparat penegak hukum dan
sikap masyarakat atas upaya pemberantasan pencucian uang. Apabila ditilik dari
konsep ini, maka sebenamya perbuatan pencucian uang sudah ada sejak lama.
2. Permasalahan
Bertolak dari
pemikiran sebagaimana terurai dalam latar
belakang tersebut di atas, yang menjadi
permasalahan dalam makalah yang berjudul “Kebijakan Kriminalisasi
Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (Money
Laundering)” adalah sebagai berikut :
a.
Bagaimana pengertian dan mekanisme
kegiatan pencucian uang ?
b.
Bagaimana kebijakan
kriminalisasi terhadap tindak pidana money laundering sekarang
ini ?
c.
Bagaimana kebijakan kriminalisasi
terhadap tindak pidana money laundering yang akan datang ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
dan mekanisme kegiatan pencucian uang
Istilah pencucian uang (money laundering) telah dikenal sejak
tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu tindak pidana ini dilakukan oleh
organisasi tindak pidana “mafia” melalui pembelian perusahaan-perusahaan
pencucian pakaian (laundry) yang
kemudian digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat “pencucian uang”
yang dihasilkan dari bisnis illegal seperti perjudian, pelacuran, dan
perdagangan minum keras.2
Dalam Black’s Law Dictionary, money
laundering diartikan sebagai beriktu : Term
used to describe investment or other transfer of money flowing from
racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate
channels so that its original source cannot be traced. 3
Dalam perkembangan berikutnya pengertian
money laundering dimuat dalam
berbagai literatur maupun peraturan yang diberlakukan oleh beberapa negara dan
organisasi internasional. Salah satu pengertian yang menjadi acuan di seluruh
dunia adalah pengertian yang dimuat dalam the
United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic
Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan UU No. 7 Tahun
1997. Secara lengkap pengertian money laundering tersebut adalah :
The convention or transfer of
property, knowing that such property is derived from any serious (indictable)
offence or offences, or from act of participation in such offence or offences,
for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of
assisting any person who is involved in the commission of such an offence or
offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or
disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights
with respect to, or ownership of property, knowing that such property is
derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation
in such an offence or offences.4
Secara umum, money laundering
merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari
suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, tindak pidana ekonomi,
korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan
aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di atas, maka money laundering atau pencucian uang
pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan atau
disembunyikan asal-usulnya sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset
tersebut berasal dati kegiatan yang ilegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari
kegiatan yang metawan hukum diubah menjadi asset keuangan yang seolah-olah
berasal dari sumberyang sah/legal.
Kegiatan pencucian uang melibatkan
aktivitas yang sangat kompleks. Pada dasarnya kegiatan tersebut terdiri dari
tiga langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan
bersama-sama yaitu placement, layering dan integration.5
Placement diartikan sebagai upaya untuk
menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan. Dalam hal ini
terdapat pergerakan fisik dari uang tunai baik melalui penyelundupan
uang tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai
yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang
sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya
deposito bank, cek atau melalui rel estate atau saham-saham atau juga
mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta
asing.
Layering diartikan sebagai memisahkan hasil
kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa
tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari
beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat
lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui
sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat
pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening
perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
Adapun integration yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai
suatu ‘legitimate explanation’ bagi
hasil kejahatan. Disini uang yang “dicuci” melalui placement maupun layering dialihkan
ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali
dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang
diIaundry. Pada tahap ini uang yang telah diIaundry dimasukan kembali ke dalam sirkulasi
dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.
2. Kebijakan
Kriminalisasi Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Saat ini
Kebijakan kriminalisasi
terhadap tindak pidana pencucian uang (money laundering) berdasarkan UU No.
15 tahun 2002 yang telah diubah dan
ditambah dengan UU No. 25 tahun 2003 mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Kualifikasi Delik
Dilihat dari kualifikasi delik UU No.
15 tahun 2002 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 25 tahun 2003 menyebutkan
adanya kejahatan yaitu pasal 12 yang berbunyi “Tindak
pidana dalam Bab II dan Bab III adalah kejahatan”. Tindak Pidana pada Bab II disebut
dengan Tindak Pidana Pencucian Uang dan pada Bab III disebut dengan Tindak Pidana lain yang berkaitan
dengan Tindak Pida Pencucian Uang (TPLBTPU). Namun demikian tidak ada ketentuan
yang menyebutkan secara eksplisit bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan diluar Bab II dan Bab III adalah pelanggaran.
Tindak pidana yang dikualifikasi
sebagai kejahatan terbagi menjadi dua yaitu tindak pidana pencucian uang
(TPU) dan tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana pencucian uang (TPLBTPPU) adalah sebagai
berikut :
(1) Tindak Pidana Pencucian Uang (TPU)
Terdapat
dalam Pasal 3, 6 dan 7 sebagai berikut :
Pasal 3
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja:
a.
Menempatkan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama
pihak lain;
b.
mentransfer
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain,
baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c.
membayarkan
atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun
atas nama pihak lain;
d.
menghibahkan
atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak
lain;
e.
menitipkan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f.
membawa
ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana; atau
g.
menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
dengan mata uang atau
surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Pasal 6
(1) Setiap
orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,
Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Pasal
7
Setiap Warga
Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah
Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau
keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana
yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
(2) Tindak
Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPLBTPU)
TPLBTPU, maksudnya adalan tindak pidana
yang pada hakekatnya adalah bukan TPU, tetapi berkaitan dengan TPU, yang diatur
dalam Pasal 8, 9 dan 10.
Pasal
8
Penyedia
Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan pidana denda
paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang tidak
melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang
dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan
pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal
10A
(1)
Pejabat
atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang
memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya
menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan
tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2)
Sumber
keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam
persidangan pengadilan.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut
umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan
pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun.
b. Subjek Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang
Pertanggungjawaban pidana
pelaku tindak pidana pencucian uang tidak
hanya terbatas pada orang, tetapi juga dapat dikenakan
terhadap korporasi. Memperhatikan UU tersebut seolah-olah terdapat pembagian
tegas antara subjek hukum orang dan subjek hukum korporasi. Subjek hukum orang
terdapat pada pasal 3, 6 (1), 9 dan 10. Sedangkan subjek hukum korporasi
terdapat dalam pasal 4, 6(2) dan 8, bahkan terdapat pasal yang mencantumkan
secara tegas bahwa subjek pelakunya adalah orang atau korporasi (pasal 7).
Pasal
4
(1)
Apabila
tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama
korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau
kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.
(2)
Pertanggungjawaban
pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan
fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
(3)
Korporasi
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana
pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi,
apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam
lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan
lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
(4)
Hakim
dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di sidang
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
(5)
Dalam
hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat
tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Pasal 8
(1)
Penyedia
Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan pidana denda
paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
3. Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian Uang yang akan datang.
Kebijakan kriminalisasi
pada masa yang akan datang perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.
Masalah Percobaan,
Pembantuan dan Permufakatan Jahat.
Karena
aturan pemidanaan mengenai percobaan, pembuatan
dan permufakatan jahat tidak disebutkan sebagai
ketentuan umum. Artinya, pasal 3 ayat 1 itu hanya berlaku untuk tindak
pidana dalam pasal 3 ayat 1 sehingga tidak jelas apakah
ini berlaku pasal lain atau tidak. Hal ini penting
karena ketentuan ini jelas berbeda dengan yang diatur dalam KUHP,
maka perlunya formulasi yang lebih jelas dalam ketentuan umum.
b.
Pidana Mininal Khusus
UU tindak pidana
pencucian uang mencantumkan ancaman pidana minimal khusus,
namun tidak memuat aturan/pedoman penerapan pidananya secara
khusus. Hal ini akan menimbulkan masalah, karena
dilihat dari system pemidanaan, jumlah ancaman
pidana (minimal maupun maksimal) hanya merupakan
salah satu sub-sistem yang tidak dapat
begitu saja diterapkan di dalam perumusan
delik. Agar dapat diterapkan, harus
disertai dengan sub-sistem mengenai aturan
pemindanaan/pedoman penerapannya terlebih dahulu.6 Oleh karena itu formulasi yang
akan datang harus disertai dengan pedoman
penerapan.
c.
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap
Korporasi
Penetapan subyek
hukum korporasi sebagai pelaku tindak pidana pencucian
masing mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut menurut
Barda antara lain perumusan pada pasal 4 ayat 1, seolah-olah
korporasi baru dapat dipidana apabila tindak
pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa
pengurus. Jadi kalau dilakukan oleh karyawan/ pegawai/
buruh/ orang lain bukan pengurus atau
bukan kuasa pengurus, maka korporasi tidak
dapat di pertanggungjawabkan.7
Disamping itu ancaman pidana denda untuk
korporasi yang maksimumnya diperberat sepertiga
tidak disertai dengan ketentuan khusus untuk
pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh korporasi.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a. Dasar
pemikiran kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian
uang (money laundering)
adalah untuk menghindari penyalahgunaan dan
pemanfaatan kemudahan akses dan percepatan
mobilitas dana melalui jasa keuangan untuk
kepentingan menghilangkan jejak sumber dana yang
diperoleh dari kejahatan. Hal ini penting karena :
1)
Tindak pidana money laundering
merugikan masyarakat.
2)
Peningkatan trend money laundering.
3)
Terjadi peningkatan /
perluasan aktivitas kejahatan transnasional yang
menjadi sumber perolehan harta kekayaan yang menjadi obyek money laundering melalui :
a)
Memanfaatkan kelemahan
perundang-undangan suatu negara.
b)
Memanfaatkan kemudahan
investasi dalam berbagai bentuk.
c)
Memanfaatkan lemahnya kontrol
pejabat publik yang berkaitan dengan moneter.
b. Kebijakan kriminalisasi terhadap tindak
pidana money laudering saat ini berdasarkan UU
No. 15 tahun 2002 yang telah diubah
dan ditambah dengan UU No.25 tahun 2003 mencakup hal-hal sebagai berikut :
1) Kualifikasi
Delik
Tindak pidana yang dikualifikasi
sebagai kejahatan terbagi menjadi dua yaitu tindak pidana pencucian uang
(TPU) dan tindak pidana lain yang
berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (TPLBTPU)
sebagai berikut :
a)
Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPU) terdapat dalam Pasal 3, 6 dan 7.
b)
Tindak Pidana Lain
yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPLBTPU)
diatur dalam Pasal 8, 9 dan 10.
2) Subjek
Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang
Pertanggungjawaban pidana
pelaku tindak pidana pencucian uang tidak
hanya terbatas pada orang, tetapi juga dapat dikenakan
terhadap korporasi.
c. Kebijakan
Kriminalisasi Tindak pidana Uang yang akan datang
Kebijakan kriminalisasi
pada masa yang akan datang perlu memperhatikan
hal-hal sebagai berikut :
1)
Masalah Percobaan,
Pembantuan dan Permufakatan Jahat.
Karena
aturan pemidanaan mengenai percobaan, pembuatan
dan permufakatan jahat tidak disebutkan sebagai
ketentuan umum sehingga tidak jelas apakah
ini berlaku pasal lain atau tidak, maka
perlu formulasi yang lebih jelas dalam ketentuan umum.
2) Pidana Mininal Khusus
UU tindak pidana
pencucian uang mencantumkan ancaman pidana minimal khusus,
namun tidak memuat aturan/pedoman penerapan pidananya secara
khusus. Hal ini akan menimbulkan masalah, karena
dilihat dari system pemidanaan, jumlah ancaman
pidana (minimal maupun
maksimal) hanya merupakan salah satu sub-sistem yang tidak dapat begitu saja diterapkan di dalam perumusan delik. Agar dapat diterapkan, harus disertai dengan sub-sistem mengenai aturan pemindanaan/pedoman penerapannya terlebih dahulu. Oleh karena itu formulasi yang akan datang harus disertai dengan pedoman penerapan.
maksimal) hanya merupakan salah satu sub-sistem yang tidak dapat begitu saja diterapkan di dalam perumusan delik. Agar dapat diterapkan, harus disertai dengan sub-sistem mengenai aturan pemindanaan/pedoman penerapannya terlebih dahulu. Oleh karena itu formulasi yang akan datang harus disertai dengan pedoman penerapan.
3) Pertanggungjawaban
Pidana Terhadap Korporasi
Penetapan subyek hukum korporasi
sebagai pelaku tindak pidana pencucian masing
mengandung beberapa kelemahan. Pasal 4 ayat
1, seolah-olah korporasi baru dapat dipidana
apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus
dan/atau kuasa pengurus. Jadi kalau dilakukan
oleh karyawan/ pegawai/ buruh/ orang
lain bukan pengurus atau bukan kuasa
pengurus, maka korporasi tidak dapat di
pertanggungjawabkan. Disamping itu
ancaman pidana denda untuk korporasi yang maksimumnya diperberat sepertiga tidak disertai dengan ketentuan khusus untuk pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh korporasi.
ancaman pidana denda untuk korporasi yang maksimumnya diperberat sepertiga tidak disertai dengan ketentuan khusus untuk pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh korporasi.
2.
Saran
a.
Kriminalisasi terhadap
money laundering seharusnya diikuti dengan
kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang memungkinkan
terjadinya money laudering misalnya
di bidang perbankan dan pasar modal. Hal
ini penting karena money laundering tidak
akan lepas dari kegiatan perbankan dan pasar
modal.
b.
Bertolak dari kebijakan kriminalisasi
yang terdapat dalam UU No. 15 tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang
telah diubah dan ditambah dengan UU
No. 25 tahun
2003 masih memerlukan penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut menyangkut sistem pemidanaan, yaitu masalah percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat, pidana minimal khusus, pertanggungjawaban terhadap korporasi. Pengaturan ini penting karena UU tindak pidana pencucian uang memiliki aturan pemidanaan yang menyimpang dari KUHP, sehingga perlu pengaturan yang lebih lengkap.(ekobudi cahganteng)
2003 masih memerlukan penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut menyangkut sistem pemidanaan, yaitu masalah percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat, pidana minimal khusus, pertanggungjawaban terhadap korporasi. Pengaturan ini penting karena UU tindak pidana pencucian uang memiliki aturan pemidanaan yang menyimpang dari KUHP, sehingga perlu pengaturan yang lebih lengkap.(ekobudi cahganteng)
Daftar Pustaka
- Yenti Garnasih, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/19207167181.pdf Adobe Reader, diakses tanggal 16 Mei 2012.
- M. Zen Abdullah, SH, MH, Kapita Selekta Hukum Pidana, Hasta Cipta Mandiri,Yogyakarta, 2009, hal 52.
- Yunus Husein, SH, LLM, Upaya Pemberantasan Pencucian Uang (Money Laundering), http://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/11_upaya-memberantas-pencucian-uang_x.pdf, di akses tanggal 16 Mei 2012.
- Yunus Husein, SH, LLM, Ibid, hal 2.
- M. Zen Abdullah, SH, MH, Ibid, hal 58.
- Barda Nawawi Arif, Kapita selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung , 2003 hal 175.
- Barda Nawawi Arif, ibid hal 23.