Jumat, 07 Desember 2012

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)



BAB I
PENDAHULUAN


1.             Latar Belakang

Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang (Money Laundering) sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) dan kemudian pada Oktober 2003 diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari memuaskan. Ketika diamandemen pada tahun 2003, alasan utamanya lebih pada kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana ha1 ini juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF).' Kelemahan substansi nampaknya karena pembentukannya tidak didasari atas suatu kebutuhan tetapi lebih karena adanya desakan Internasional. Desakan Internasional pertama kali dilakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring formal FATF. Namun demikian ternyata ha1 ini bukan berarti lndonesia tidak "diawasi" karena pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan review secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia termasuk peraturan perundangan yang mendukung penegakannya.
Apabila dipahami, semua tindak pidana ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan UUTPPU juga banyak terhadap perkara kejahatan ekonomi.1 Kenyataannya, putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 (dua puluh) putusan, padahal kejahatan ekonomi yang sampai pada pengadilan jumlahnya sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap penyidikan jumlahnya jauh lebih banyak), misalnya dari komposisi kejahatan perbankan, illegal logging, penyelundupan dan lainl-lain. Semua kejahatan tersebut seharusnya diajukan ke pengadilan dengan dua dakwaan sekaligus yaitu kejahatan asalnya dan muara uang hasil kejahatan sebagai tindak pidana pencucian uang. Seharusnya dipahami bahwa kriminalisasi pencucian uang merupakan suatu strategi untuk memberantas berbagai kejahatan ekonomi. Bukan saja melalui upaya penerapan hukum terhadap kejahatan asal, tetapi juga menghadang aliran hasil  kejahatan dengan ketentuan anti pencucian tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerapan ketentuan anti pencucian uang bertujuan tidak saja menangkap pelakunya tetapi juga menelusuri hasil kejahatan dan kemudian merampasnya. Melihat masih sedikitnya kasus pencucian uang yang sampai pada putusan atau begitu banyaknya kasus kejahatan ekonomi yang tidak dikaitkan dengan tuntutan pencucian uang, menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi faktor penyebabnya ? Keadaan ini bukan tidak mungkin Indonesia dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan akan berakibat pada penilaian yang tidak menguntungkan bagi Indonesia di mata internasional, terutama oleh FATF. Untuk itu nampaknya harus  dikaji    lebih   mendalam    tentang    faktor   apa  saja  yang   menjadi kendala sehingga penegakan hukum terhadap pencucian uang begitu lemah. Pengkajian ini harus diawali dengan memahami kembali latar belakang dan tujuan dilakukannya kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang, baik secara global maupun untuk kepentingan nasional, kemudian disinergikan dengan kualitas perundangan, kesiapan aparat penegak hukum dan sikap masyarakat atas upaya pemberantasan pencucian uang. Apabila ditilik dari konsep ini, maka sebenamya perbuatan pencucian uang sudah ada sejak lama.


2.      Permasalahan

Bertolak  dari  pemikiran  sebagaimana  terurai  dalam  latar belakang  tersebut  di  atas,  yang  menjadi  permasalahan  dalam makalah yang berjudul “Kebijakan Kriminalisasi Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)” adalah sebagai berikut :
a.            Bagaimana pengertian dan mekanisme kegiatan pencucian uang ?
b.            Bagaimana  kebijakan  kriminalisasi  terhadap  tindak  pidana money laundering sekarang ini ?
c.            Bagaimana  kebijakan kriminalisasi terhadap  tindak  pidana  money laundering yang akan datang ?


BAB II
PEMBAHASAN


1.             Pengertian dan mekanisme kegiatan pencucian uang

Istilah pencucian uang (money laundering) telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu tindak pidana ini dilakukan oleh organisasi tindak pidana “mafia” melalui pembelian perusahaan-perusahaan pencucian pakaian (laundry) yang kemudian digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat “pencucian uang” yang dihasilkan dari bisnis illegal seperti perjudian, pelacuran, dan perdagangan minum keras.2
Dalam Black’s Law Dictionary, money laundering diartikan sebagai beriktu : Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced. 3
Dalam perkembangan berikutnya pengertian money laundering dimuat dalam berbagai literatur maupun peraturan yang diberlakukan oleh beberapa negara dan organisasi internasional. Salah satu pengertian yang menjadi acuan di seluruh dunia adalah pengertian yang dimuat dalam the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1997. Secara lengkap pengertian money laundering tersebut adalah :

The convention or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious (indictable) offence or offences, or from act of participation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences.4

Secara umum, money laundering merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di atas, maka money laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan atau disembunyikan asal-usulnya sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dati kegiatan yang ilegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang metawan hukum diubah menjadi asset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumberyang sah/legal.
Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitas yang sangat kompleks. Pada dasarnya kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang masing-masing berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu placement, layering dan integration.5
Placement diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, cek atau melalui rel estate atau saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing.

Layering diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
Adapun integration yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ‘legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang “dicuci” melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang diIaundry. Pada tahap ini uang yang telah diIaundry dimasukan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.


2.      Kebijakan Kriminalisasi  Terhadap  Tindak  Pidana Pencucian Uang Saat ini

Kebijakan  kriminalisasi  terhadap  tindak  pidana  pencucian uang (money laundering)  berdasarkan  UU  No.  15    tahun  2002  yang  telah diubah dan ditambah dengan UU No. 25 tahun 2003 mencakup hal-hal sebagai berikut :

a.      Kualifikasi Delik

Dilihat dari kualifikasi delik UU No. 15 tahun 2002 yang  telah diubah dan ditambah dengan UU No. 25 tahun 2003 menyebutkan adanya kejahatan yaitu pasal 12 yang berbunyi “Tindak pidana dalam Bab II dan Bab III adalah kejahatan”. Tindak Pidana pada Bab II disebut dengan Tindak Pidana Pencucian Uang dan pada Bab III disebut  dengan Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pida Pencucian Uang (TPLBTPU). Namun demikian tidak ada ketentuan yang  menyebutkan secara eksplisit bahwa pelanggaran terhadap ketentuan diluar Bab II dan Bab III adalah pelanggaran.
Tindak pidana yang dikualifikasi sebagai kejahatan  terbagi menjadi dua yaitu tindak pidana pencucian uang (TPU) dan tindak  pidana  lain  yang  berkaitan  dengan  tindak  pidana pencucian uang (TPLBTPPU) adalah sebagai berikut :

(1)    Tindak  Pidana  Pencucian  Uang  (TPU) 
Terdapat  dalam Pasal 3, 6 dan 7 sebagai berikut :
Pasal 3
(1)         Setiap orang yang dengan sengaja:
a.            Menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b.            mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c.            membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d.            menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e.            menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f.               membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g.            menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana  dengan  mata   uang   atau   surat   berharga   lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Pasal 6
(1)    Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a.      penempatan;
b.      pentransferan;
c.      pembayaran;
d.      hibah;
e.      sumbangan;
f.       penitipan; atau
g.      penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Pasal 7
Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

(2)    Tindak  Pidana  Lain  yang  berkaitan  dengan  Tindak Pidana Pencucian Uang (TPLBTPU)

TPLBTPU, maksudnya adalan tindak pidana yang pada hakekatnya adalah bukan TPU, tetapi berkaitan dengan TPU, yang diatur dalam Pasal 8, 9 dan 10.

Pasal 8
Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 10A   
(1)         Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2)         Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan. 
 (3)   Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(4)    Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

b.      Subjek Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang

Pertanggungjawaban  pidana  pelaku  tindak  pidana pencucian  uang  tidak  hanya  terbatas  pada  orang,  tetapi juga dapat dikenakan terhadap korporasi. Memperhatikan UU tersebut seolah-olah terdapat pembagian tegas antara subjek hukum orang dan subjek hukum korporasi. Subjek hukum orang terdapat pada pasal 3, 6 (1), 9 dan 10. Sedangkan subjek hukum korporasi terdapat dalam pasal 4, 6(2) dan 8, bahkan terdapat pasal yang mencantumkan secara tegas bahwa subjek pelakunya adalah orang atau korporasi (pasal 7).

Pasal 4
(1)        Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.
(2)        Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
(3)        Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
(4)        Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(5)        Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

Pasal 8
(1)        Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

3.      Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian Uang yang akan datang.

Kebijakan  kriminalisasi  pada  masa  yang  akan  datang  perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a.            Masalah  Percobaan,  Pembantuan  dan  Permufakatan Jahat.
Karena  aturan  pemidanaan  mengenai  percobaan, pembuatan  dan  permufakatan  jahat  tidak  disebutkan sebagai  ketentuan  umum. Artinya, pasal 3 ayat 1 itu hanya berlaku untuk tindak pidana dalam pasal 3 ayat 1 sehingga  tidak  jelas  apakah  ini berlaku  pasal  lain  atau  tidak. Hal ini penting karena ketentuan ini jelas berbeda dengan yang diatur dalam KUHP,  maka  perlunya formulasi  yang lebih jelas dalam ketentuan umum.

b.            Pidana Mininal Khusus
UU tindak pidana pencucian uang mencantumkan ancaman pidana  minimal  khusus,  namun  tidak  memuat aturan/pedoman penerapan pidananya secara khusus. Hal ini  akan menimbulkan masalah,  karena  dilihat  dari  system pemidanaan,  jumlah  ancaman  pidana  (minimal  maupun maksimal)  hanya  merupakan  salah  satu  sub-sistem  yang  tidak  dapat  begitu  saja diterapkan  di  dalam  perumusan delik.  Agar  dapat  diterapkan,  harus  disertai  dengan  sub-sistem mengenai  aturan  pemindanaan/pedoman penerapannya  terlebih dahulu.6 Oleh  karena  itu  formulasi yang  akan  datang  harus  disertai  dengan  pedoman penerapan.

c.            Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi
Penetapan subyek hukum korporasi sebagai pelaku  tindak pidana  pencucian  masing  mengandung  beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut menurut Barda antara lain perumusan pada pasal 4 ayat 1,  seolah-olah  korporasi  baru dapat  dipidana  apabila  tindak  pidana  dilakukan  oleh pengurus  dan/atau  kuasa  pengurus.  Jadi  kalau  dilakukan oleh  karyawan/  pegawai/  buruh/  orang  lain    bukan pengurus  atau  bukan  kuasa  pengurus,  maka  korporasi tidak  dapat  di  pertanggungjawabkan.7  Disamping  itu ancaman  pidana  denda  untuk  korporasi  yang maksimumnya  diperberat  sepertiga  tidak  disertai  dengan ketentuan  khusus  untuk  pelaksanaan  pidana  denda  yang tidak dibayar oleh korporasi.


BAB III
PENUTUP

1.             Kesimpulan

a.      Dasar  pemikiran  kriminalisasi  terhadap  tindak  pidana pencucian uang (money laundering)  adalah  untuk  menghindari  penyalahgunaan  dan pemanfaatan  kemudahan  akses  dan  percepatan  mobilitas dana  melalui  jasa  keuangan  untuk  kepentingan menghilangkan  jejak  sumber  dana  yang  diperoleh  dari kejahatan. Hal ini penting karena :
1)           Tindak pidana money laundering merugikan masyarakat.
2)           Peningkatan trend money laundering.
3)           Terjadi  peningkatan  /  perluasan  aktivitas  kejahatan transnasional  yang  menjadi  sumber  perolehan  harta kekayaan yang menjadi obyek money laundering melalui :
a)           Memanfaatkan  kelemahan  perundang-undangan  suatu negara.
b)           Memanfaatkan  kemudahan  investasi  dalam  berbagai bentuk.
c)           Memanfaatkan  lemahnya  kontrol  pejabat  publik  yang berkaitan dengan moneter.

b.      Kebijakan  kriminalisasi  terhadap  tindak  pidana  money laudering  saat ini berdasarkan  UU  No.  15    tahun  2002  yang  telah diubah dan ditambah dengan UU No.25 tahun 2003 mencakup hal-hal sebagai berikut :
 1)      Kualifikasi Delik
Tindak pidana yang dikualifikasi sebagai kejahatan  terbagi menjadi dua yaitu tindak pidana pencucian uang (TPU) dan   tindak  pidana  lain  yang  berkaitan  dengan  tindak  pidana pencucian uang (TPLBTPU) sebagai berikut :
a)           Tindak  Pidana  Pencucian  Uang  (TPU)  terdapat  dalam Pasal 3, 6 dan 7.
b)           Tindak  Pidana  Lain  yang  berkaitan  dengan  Tindak Pidana Pencucian Uang (TPLBTPU) diatur dalam Pasal 8, 9 dan 10.
2)      Subjek Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang
Pertanggungjawaban  pidana  pelaku  tindak  pidana pencucian  uang  tidak  hanya  terbatas  pada  orang,  tetapi juga dapat dikenakan terhadap korporasi.

c.      Kebijakan Kriminalisasi Tindak pidana Uang yang akan datang

Kebijakan  kriminalisasi  pada  masa  yang  akan  datang  perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1)           Masalah  Percobaan,  Pembantuan  dan  Permufakatan Jahat.
Karena  aturan  pemidanaan  mengenai  percobaan, pembuatan  dan  permufakatan  jahat  tidak  disebutkan sebagai  ketentuan  umum  sehingga  tidak  jelas  apakah  ini berlaku  pasal  lain  atau  tidak,  maka  perlu  formulasi  yang lebih jelas dalam ketentuan umum.
2)      Pidana Mininal Khusus
UU tindak pidana pencucian uang mencantumkan ancaman pidana  minimal  khusus,  namun  tidak  memuat aturan/pedoman penerapan pidananya secara khusus. Hal ini  akan menimbulkan masalah,  karena  dilihat  dari  system pemidanaan,  jumlah  ancaman  pidana  (minimal  maupun
maksimal)  hanya  merupakan  salah  satu  sub-sistem  yang  tidak  dapat  begitu  saja diterapkan  di  dalam  perumusan delik.  Agar  dapat  diterapkan,  harus  disertai  dengan  sub-sistem mengenai  aturan  pemindanaan/pedoman penerapannya  terlebih  dahulu.  Oleh  karena  itu  formulasi yang  akan  datang  harus  disertai  dengan  pedoman penerapan.
3)      Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi
Penetapan subyek hukum korporasi sebagai pelaku  tindak pidana  pencucian  masing  mengandung  beberapa kelemahan.  Pasal  4  ayat  1,  seolah-olah  korporasi  baru dapat  dipidana  apabila  tindak  pidana  dilakukan  oleh pengurus  dan/atau  kuasa  pengurus.  Jadi  kalau  dilakukan oleh  karyawan/  pegawai/  buruh/  orang  lain    bukan pengurus  atau  bukan  kuasa  pengurus,  maka  korporasi tidak  dapat  di  pertanggungjawabkan.  Disamping  itu
ancaman  pidana  denda  untuk  korporasi  yang maksimumnya  diperberat  sepertiga  tidak  disertai  dengan ketentuan  khusus  untuk  pelaksanaan  pidana  denda  yang tidak dibayar oleh korporasi.

2.             Saran

a.            Kriminalisasi  terhadap  money  laundering  seharusnya  diikuti dengan  kriminalisasi  terhadap  perbuatan-perbuatan  yang memungkinkan terjadinya money laudering misalnya di bidang perbankan  dan  pasar  modal.  Hal  ini  penting  karena  money laundering  tidak  akan  lepas  dari  kegiatan  perbankan  dan pasar modal.

b.            Bertolak dari kebijakan kriminalisasi yang  terdapat dalam UU No.  15  tahun  2002  tentang  Tindak  Pidana  Pencucian  Uang yang  telah  diubah  dan  ditambah  dengan  UU  No.  25  tahun
2003  masih  memerlukan  penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut  menyangkut  sistem  pemidanaan,  yaitu  masalah percobaan,  pembantuan  dan  permufakatan  jahat,  pidana minimal  khusus,  pertanggungjawaban  terhadap  korporasi. Pengaturan  ini  penting  karena  UU  tindak  pidana  pencucian uang  memiliki  aturan  pemidanaan  yang  menyimpang  dari KUHP, sehingga perlu pengaturan yang lebih lengkap.(ekobudi cahganteng)

Daftar Pustaka

  1.  Yenti Garnasih, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/19207167181.pdf Adobe Reader, diakses tanggal 16 Mei 2012. 
  2. M. Zen Abdullah, SH, MH, Kapita Selekta Hukum Pidana, Hasta Cipta Mandiri,Yogyakarta, 2009, hal 52.
  3. Yunus Husein, SH, LLM, Upaya Pemberantasan Pencucian Uang (Money Laundering), http://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/11_upaya-memberantas-pencucian-uang_x.pdf, di akses tanggal 16 Mei 2012.
  4. Yunus Husein, SH, LLM, Ibid, hal 2. 
  5. M. Zen Abdullah, SH, MH, Ibid, hal 58.  
  6. Barda Nawawi Arif, Kapita selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung , 2003 hal 175.
  7.   Barda Nawawi Arif,  ibid hal 23.