BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Pencucian
uang merapakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan dan atau melakukan
perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh
Criminal organization, maupun
individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan
lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan,
menyamarkan atau mengaburkan asal usul harta kekayaan yang berasal dari hasil
tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seperti uang atau harta
kekayaan yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan
yang illegal. Undang - Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
tahun 2003 telah memberikan batasan dan penanggulangan pencegahan atas tindak
pidana pencucian uang.
Karakter
tindak pidana pencucian uang sangat berbeda dengan jenis kejahatan biasa (conventional) hal ini terlihat dari
dampak negatif yang ditimbulkan jenis kejahatan ini baik terhadap masyarakat
maupun negara. Dikatakan sifatnya yang dapat merugikan negara karena pencucian
uang juga dapat mempengaruhi dan merusak stabilitas perekonomian nasional yang
pada gilirannya juga dapat merusak keuangan negara. Oleh karena itu sudah
sepatutnya terlepas dari adanya unsur tekanan dari negara-negara lain (negara
maju) bahwa perbuatan pencucian uang ditetapkan dengan undang-undang sebagai
tindak pidana (kriminalisasi). Mendasari Undang-undang Tindak Pidana Pencucian
Uang (UUTPPU) tersebut, money laundering
telah dikategorikan sebagai salah satu kejahatan, baik yang dilakukan oleh
perseorangan maupun korporasi. Pembentukan undang-undang tindak pidana
pencucian uang merupakan wujud nyata yang sekaligus merupakan tekat bangsa
Indonesia untuk mencegah dan memberantas pencucian uang. Pencucian uang
merupakan transnational crime
sehingga upaya kearah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
oleh aparat penegak hukum memerlukan kerjasama dunia internasional.
UUTPPU
telah memberikan landasan berpijak yang cukup kuat bagi aparat penegak hukum
khususnya Polri untuk menyidik pelaku tindak pidana pencucian uang (money laundering), melalui pendekatan
UUTPPU diharapkan tidak saja secara fisik para pelaku dapat dideteksi tapi juga
terhadap harta kekayaan yang didapat dari kejahatan asal (core crime) sehingga pelaku pencucian uang yang dilakukan oleh
para aktor yang biasanya mempunyai status sosial yang tinggi (white collar crime ) dapat dimintai
pertanggung jawaban, karena di dalam prinsip tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang menjadi
prioritas utama adalah pengembalian atau pengejaran uang atau harta kekayaan
yang diperoleh dari hasil kejahatan. Penekanan peran Polri pada makalah ini
memfokuskan pada peran polri sebagai penyidik dan proses penegakan hukum tindak
pidana pencucian uang serta penentuan subyek hukum dalam tindak pidana
pencucian uang. Peranan Kepolisian dalam proses penegakan hukum pidana (criminal justice system) dibidang
kejahatan pencucian uang dapat dilihat dari tindakan penyidikan atas laporan
PPATK terhadap suatu tindakan yang diidentifikasi sebagai suatu kejahatan pencucian
uang (money laundering). Hal ini
mengandung arti bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan secara
integral artinya bahwa segala usaha yang rasional dilakukan untuk menanggulangi
kejahatan money laundering harus
merupakan satu kesatuan yang terpadu dengan menggunakan sanksi pidana dan
peranan tersebut tergambar pada pola tindakan represif berupa penindakan, pemberantasan,
penumpasan dengan menerapkan pola kewenangan yang diberikan kepada Kepolisian
untuk melakukan penyidikan dalam proses penegakan hukum, oleh karenanya dalam TPPU
adanya kerjasama antara Lembaga Penyedia Jasa Keuangan (LPJK) atas indikasi
pencucian uang dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
serta Penyidik (Kepolisian) dan Penuntut Umum, hal ini lazim diartikan sebagai
tindakan hukum penanggulangan kejahatan money
laundering dengan menggunakan jalur penal yang bersifat represif, disamping
itu diperlukan upaya penanggulangan dengan menggunakan sarana non penal yang
bersifat Preventif berupa pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum
kejatahan pencucian uang terjadi dengan menekankan pada sektor Penyedia Jasa
Keuangan dan menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer).
2.
Permasalahan
Sehubungan dengan latar belakang tersebut di atas,
maka pokok permasalahan dalam makalah yang berjudul “Peran Polri Sebagai Penyidik Dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang ” adalah sebagai berikut :
a.
Bagaimana
proses penegakan hukum tindak pidana pencucian uang ?
b.
Bagaimana
pengaturan subyek hukum tindak pidana pencucian uang ?
c.
Bagaimana
peran Polri sebagai penyidik tindak pidana pencucian uang ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Proses Penegakan Hukum Tindak Pidana
Pencucian Uang
a. Proses pra ad judikasi
Setelah
mengetahui terjadinya tindak pidana, baik melalui laporan yang disampaikan oleh
PPATK, dari hasil penyidikan Tindak Pidana ataupun laporan dari masyarakat,
maka Polri selaku penyidik melakukan proses lebih lanjut. Untuk menjaga agar
supaya harta kekayaan yang telah tersimpan didalam Penyedia Jasa Keuangan (PJK)
tidak diambil atau dipindahkan, maka Penyidik dengan kewenangan yang diberikan
dalam pasal 32 UU Tindak Pidana Pencucian Uang memerintahkan kepada PJK untuk
melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan milik orang yang telah dilaporkan
oleh PPATK atau berstatus tersangka atau terdakwa.
Pemblokiran
ini dimaksudkan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan perbuatan
berlanjut (delictum continuatum/
voortgezettehandeling), sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 64 KUH
Pidana yang menyatakan bahwa ada perbuatan berlanjut apabila seseorang
melakukan perbuatan, perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau pelanggaran,
antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut.
Adapun
dasar yang memberikan kewenangan bagi Polri dalam melakukan penyidikan atas
tindak pidana pencucian uang telah digariskan di dalam Pasal 30 UUTPPU antara
lain: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini,
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam hukum acara pidana, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini” oleh karena di dalam undang-undang TPPU tidak
mengatur secara khusus tentang penyidik maka mengacu kepada hukum acara pidana
penyidik untuk TPPU adalah Polri.
b.
Proses
Judikasi
Proses penyidikan merupakan rangkaian dari proses penegakan
hukum pidana pencucian melalui criminal
justice system di Indonesia sebagai mana diatur dalam KUHAP, karena dalam
pasal 30 UU Tindak Pidana Pencucian Uang dikemukakan bahwa Penyidikan,
Penuntutan, dan pemeriksaan di Sidang pengadilan terhadap TPPU, dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang TPPU. Mengingat didalam Undang-undang TPPU tidak diatur secara
khusus tentang pejabat penyidik maka kita pedomani Hukum Acara Pidana yang ada
yakni UU No. 8 tahun 1981 dimana Polri sebagai penyidik.
Dengan
mendasari pada pengertian tersebut, maka dalam proses penyidikan ini Polri
khususnya penyidik akan mewujudkan suatu perbuatan yang dikatakan pencucian
uang sehingga memenuhi unsur-unsur pasal-pasal di dalam undang-undang tindak
pidana pencucian uang yang kemudian perbuatan tersebut dapat diadili. Proses
peradilan merupakan perwujudan dari proses penegakan hukum pidana dengan
menyatakan bahwa tersangka adalah benar dan patut diyakini sebagai pelaku
tindak pidana, oleh sebab itu diperlukan peningkatan prinsip akuntabilitas
lembaga peradilan. Dengan prinsip ini akan diketemukan proses penegakan hukum
yang bersifat resfonsif, untuk pencapaian hal ini di dalam tindak pidana
pencucian uang yang menekankan pada tindakan refresif kepolisian maka sangat
diperlukan beberapa hal:
1)
Diketahuinya
Tindak Pidana Pencucian Uang
2)
Penyidik
menerima laporan dari masyarakat.
3)
Modus
Operandi Pelaku Kejahatan Pencucian uang
Pelaku
kejahatan pencucian menggunakan financial system untuk mengaburkan harta hasil
kekayaan yang semula harta tersebut diperoleh dari hasil kejahatan. Financial
system pada umumnya sering dipahami dan dihubungkan dengan bank, lembaga
pemberi kredit atau perdagangan valuta asing, namun perlu diketahui bahwa
selain produk transnasional perbankan seperti tabungan/deposito, trnasfer serta
kredit/pembiayaan pada kenyataanya produk dan jasa yang ditawarkan oleh lembaga
keuangan juga menarik bagi para pencuci uang untuk menggunakannya sebagai
sarana pencucian uang, oleh karenanya pelaku kejahatan ini memiliki kemampuan
dan net work yang canggih dalam menjalankan aksi kejahatannya yakni
penyeludupan uang, melalui institusi keuangan dan melalui institusi non
keuangan.
Berikut
ini beberapa modus operandi tentang pencucian uang antara lain :
a) Penyalahgunaan bisnis yang sah
b) Penggunaan identitas palsu, dokumen palsu,
dan penggunaan perantara
c) Pengeksploitasian masalah-masalah yang
menyangkut yurisdiksi internasional
d) Penggunaan harta kekayaan tanpa nama
2. Subjek Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang
a. Orang Perseorangan
Tindakan
yang berkaitan dengan subyek hukum misalnya perseorangan dapat dibagi menjadi
dua, yakni tindakan aktif dan pasif. Kedua tindakan ini masing-masing diatur
oleh ketentuan yang terdapat di dalam UUTPPU, perihal tindakan aktif
sebagaimana dirumuskan pada Pasal 3 UUTPPU dan tindakan pasif diatur pada Pasal
6 UUTPPU yang menyatakan bahwa “ setiap orang yang menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan atau
penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000, 00 (lima belas
milyar rupiah) “.
KUH Pidana
menganut prinsip bahwa pertanggung jawaban hukum atas tindak pidana hanya dapat
dibebankan kepada orang perseorangan, hal ini sebagaimana dikemukakan dalam
asas “soceitas delenquere non potest”
(organisasi tidak merupakan subjek hukum). Namun di dalam perkembangan tindak
pidana tidak hanya dapat dibebankan bagi orang perseorangan melainkan korporasi
dapat juga diminta pertanggung jawaban atas tindakan yang berlawanan dengan
hukum.
b. Korporasi
Dengan
melihat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, yang menyatakan bahwa: “Apabila tindak pidana dilakukan
oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan
pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap
korporasi”. Ketentuan pasal ini mensyaratkan perbuatan pidana yang dilakukan
oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka
pertanggungjawaban pidananya dibebankan pada pengurus saja, atau kuasa pengurus
saja, atau pengurus dan kuasa pengurus, ataupun korporasi. Kata maupun di dalam
Pasal 4 ayat (1) UUTPPU ini dapat menimbulkan polemik dan berbagai penafsiran,
untuk itu ada dua penafsiran yang muncul yakni :
1)
Apakah
penjatuhan pidana tidak boleh sekaligus terhadap pengurus dan korporasi,
2)
Apakah
penjatuhan pidana boleh sekaligus terhadap pengurus dan korporasi.
Persoalan ini apabila dilihat di dalam penjelasan Pasal 4
ayat (10) UUTPPU tidak diterangkan, sehingga dapat dikontruksikan bahwa
perkataan maupun sama artinya dengan kata ataupun, terhadap pertanggungjawaban
korporasi ini tidak dapat dijatuhkan pidana sekaligus antara pengurus dan
korporasi.
Pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa : “Pertanggungjawaban
pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan
fungsional dalam struktur organisasi korporasi”. Pertanggungjawaban pidana
korporasi hanya dapat dibebankan kepada pengurus yang dalam Anggaran Dasar atau
ketentuan lain dalam korporasi mempunyai hubungan fungsional. Dapat dipastikan
bahwa setiap korporasi dalam hukum pidana mempunyai pengaturan di dalam
internal korporasi baik dalam bentuk anggaran dasar ataupun ketentuan lain.
Karena korporasi di dalam hukum pidana haruslah terorganisasi.
Pasal 17 A ayat (3) berbunyi : “Direksi, pejabat atau
pegawai penyedia jasa keuangan, pejabat atau pegawai PPATK serta
penyelidik/penyidik yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 100. 000. 000, 00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.
000. 000. 000, 00 (satu milyar rupiah)”. Ketentuan pasal ini secara implisit
kalimat “direksi, pejabat atau pegawai penyedia jasa Keuangan, pejabat atau
pegawai PPATK serta penyelidik / penyidik yang melakukan pelanggaran” dapat
dimaksudkan sebagai pelanggaran oleh korporasi. Karena Penyedia Jasa Keuangan
dan PPATK merupakan bentuk korporasi didalam hukum pidana.
Beban pertanggungjawaban pidana terhadap pelanggaran seperti
yang disebutkan di atas diberikan kepada pengurusnya (yaitu direksi, pejabat
atau pegawai). Dari sekian pasal mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi,
baik kepada pengurus saja, atau kuasa pengurus saja, atau pengurus dan kuasa
pengurus, ataupun korporasi; tidak menguraikan secara jelas mengenai penerapan
pertanggungjawabannya. Undang-undang ini tidak memberikan pemahaman dalam hal
perbuatan yang seperti apa penjatuhan pidana dapat dikenai terhadap pengurus
saja, kuasa pengurus saja dan seterusnya. Dengan demikian, kewenangan dalam
penjatuhan pidana seperti ini akan diserahkan sepenuhnya kepada jaksa penuntut
umum dalam tuntutannya dan hakim dalam putusannya.
Penuntutan dalam pemidanaan terhadap tindak pidana korporasi
dapat dikenakan terhadap pengurus saja, atau kuasa pengurus saja, atau pengurus
dan kuasa pengurus, ataupun korporasi. Pemberlakuan penuntutan dan pemidanaan
terhadap pengurus dan / atau kuasa pengurus sama seperti penuntutan dan
pemidanaan terhadap subjek tindak pidana ‘orang’. Undang-undang tindak pidana
pencucian uang memberikan penjatuhan pidana terhadap orang berupa pidana
penjara dan denda. Seperti dalam Pasal 17 A Ayat (3) di atas disebutkan
penuntutan dan pemidanaan berupa pidana penjara dan pidana denda yang
menggunakan ancaman minimal khusus. Kata penghubung ‘dan’ menandakan bahwa
terhadap pengurus dan / atau kuasa pengurus tidak boleh dikenai pidana penjara
saja atau pidana denda saja, melainkan harus kedua-duanya.
c. Sistem Pertanggungjawaban Subyek Tindak
Pidana Pencucian Uang
Dalam sistem pertanggungjawaban pidana korporasi terdapat
beberapa teori pertanggungjawaban yaitu sebagai berikut :
1)
Doktrin
Indentifikasi
2)
Doktrin
Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability)
3)
Doktrin
Pertanggungjawaban Ketat Menurut Undang-Undang (Strict Liability)
3. Peran Polri
Sebagai Penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang
a. Penyidikan
Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Diperoleh Dari Predicate Crime
Proses penyidikan oleh Polri dalam TPPU terhadap “hasil
harta kekayaan” yang diperoleh dari
tindak pidana awal (predicate crime)
untuk menjerat pelaku kejahatan pencucian uang harus didasarkan kepada dua
unsur yakni :
1)
Adanya
laporan dari penyidik tindak pidana awal.
Misalnya
jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi (TPK), atas adanya indikasi/patut diduga
mengalihkan dan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan korupsi.
2) Harta kekayaan
tersebut diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan yang
telah dilakukan dan dikriminalisasi dalam UUTPPU.
Penentuan kejahatan awal tindak pidana pencucian uang (predicate crimes on money laundering)
pada proses penegakan hukum pencucian uang di Indonesia mengalami kesulitan,
hal ini disebabkan penerapan sistem hukum pidana Indonesia masih menganut asas
bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai kejahatan harus melalui
mekanisme hukum yakni ditandai dengan adanya putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Artinya selama belum ada putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap maka suatu perbuatan yang dituduhkan kepada tersangka berupa tindak
pidana awal (core crime) tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan,
misalnya TPK yang dituduhkan jaksa dan diduga adanya indikasi pencucian uang
hasil harta kekayaan TPK yang dilimpahkan kepada penyidik Polri. Jika hasil
suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan maka unsur “hasil
tindak pidana” yang merupakan syarat terjadinya pencucian uang tidak terpenuhi.
Akibat hukum dari tidak dipenuhinya prasyarat terjadinya pencucian uang adalah
tidak terbuktinya terdapat indikasi pencucian uang.
Tidak dibuktikannya predicate
crime oleh jaksa terlebih dahulu tentunya polri dalam melakukan penyidikan
TPPU telah menyimpangi asas presumption
of innocence (praduga tak bersalah) dan asas non self incrimination. Tersangka /Terdakwa tindak pidana pencucian
uang seolah-olah telah dianggap bersalah melakukan predicate crime tanpa
dibuktikan terlebih dahulu kesalahannya yang ditandai dengan adanya putusan hakim
yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga berdasarkan asas ini maka pelaku
TPPU hanya dapat dijerat dengan penerapan asas perbuatan berlanjut (delictum
continuatum/voortgezettehandeling), yang menyatakan bahwa ada perbuatan
berlanjut apabila seseorang melakukan perbuatan, perbuatan tersebut merupakan
kejahatan atau pelanggaran, antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
Dalam permasalahan pembuktian bagi aparat penegak hukum
sebagai salah satu tindakan represif terhadap pelaku tindak pidana pencucian
uang (money laundering) apabila
diadakan studi komperatif atau banding dengan beberapa negara misalnya Amerika
Serikat terdapat perbedaan yang cukup signifikan dimana Amerika Serikat telah
berani menyatakan bahwa bukti pendukung atau petunjuk (circumtantial evidence) sudah cukup untuk membenarkan adanya
unsur-unsur tindak pidana pencucian uang (money
laundering), sedangkan dinegara Indonesia pembuktian selalu didasarkan pada
unsur subjektif atau mens rea dan
unsur obejektifnya atau actus reus.
Di dalam mens rea yang harus
dibuktikan yaitu mengenai atau patut diduga (knowladge) dan berkaitan erat
bermaksud (intends) dimana kedua unsur tersebut selalu berkaitan erat bahwa
seorang tersangka, tertuntut atau terdakwa mengetahui bahwa uang/ dana tersebut
berasal dari hasil kejahatan dan juga mengetahui tentang atau maksud melakukan
transaksi tersebut.
Sehingga dengan demikian terlihat dengan jelas bahwa sistem
pembuktian sangat memegang peranan penting dan sulit membuktikan terhadap
kejahatan utamanya (predicate offence)
dalam penegakan hukum karena memang tindak pidana pencucian uang adalah
merupakan kejahatan lanjutan (follow up
crime).
b.
Pembuktian
Tindak Pidana Pencucian Uang
Persoalan pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang pada
tingkat penyidikan mengalami kesulitan, hal ini dapat dilihat pada beberapa
proses penegakan hukum di wilayah. Dari sekian perkara yang disidik Polri terlihat
bahwa adanya indikasi tindak pidana pencucian uang, namun pada tahap pembuktian
di persidangan hakim mengkontruksikan bahwa tindak pidana yang disangkakan
kepada terdakwa tidak dapat dibuktikan sebagai tindak pidana pencucian uang,
sehingga hakim berpendapat di dalam pertimbangannya bahwa terdakwa telah
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 480 KUH Pidana.
Perangkat hukum tindak pidana pencucian uang pada dasarnya
dapat diperdayagunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengungkap dan menjerat
pelaku kejahatan asal (predicate crime)
melalui mekanisme proses penegakan hukum pidana, yakni menelusuri harta
kekayaan yang diperoleh oleh pelaku kejahatan. Dari penelusuran ini akan
ditemukan transaksi keuangan yang diduga terindikasi keuangan mencurigakan dan
sengaja ditempatkan oleh pelaku untuk menyembunyikan, menyamarkan asal usul
harta kekayaan. Oleh sebab itu diperlukan kemampuan personal dan keseriusan
aparat penegakan hukum dalam melakukan serangkaian tindakan penyidikan dan
penuntutan sehingga nantinya dapat diungkap sumber harta kekayaan yang
diperoleh pelaku kejahatan. Hal ini tergambar dalam perkara Eduard Cornelis
Wiliam Neloe yang dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas
dakwaan melakukan tindak pidana korupsi yang dituntut dengan tanpa mencantumkan
dakwaan adanya tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh tersangka,
sebagaimana telah dilaporkan oleh PPATK atas adanya rekening di bank Swiss yang
diduga milik Neloe, laporan PPATK tersebut disampaikan pada saat perkara
korupsi ditangani oleh kejaksaan.
c. Peran Polri
dalam Penyidikan Tindak Pidana Money Laundering
Dari laporan hasil penyidikan Jaksa hasil dari tindak pidana
dari kejahatan awal (predicate crime)
yang berupa uang atau harta kekayaan oleh pelaku baik orang maupun korporasi
biasanya selalu berusaha untuk melakukan penyamaran dan menempatkan harta hasil
kejahatan di dalam suatu financial system sehingga terkesan legal dengan
cara-cara, misalnya Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang telah disidik oleh Jaksa
Penuntut umum, dimana hasil tindak pidana korupsi berupa harta kekayaan sebagai
pidana pokok/utama (core crime) oleh
pelaku ditempatkan di dalam sistem keuangan dengan maksud harta kekayaan hasil
korupsi (proceduress crime) tidak
dapat dideteksi oleh aparat penegak hukum apabila tindak pidana korupsi yang dilakukan
dapat dibuktikan, sehingga dengan demikian aparat penegak hukum khususnya Polri
akan mengalami kesulitan untuk mengungkap tidak pidana pencucian uang (follow up crime) yang dilakukan oleh
para pelaku tidak pidana core crime.
Penentuan pidana pokok/utama (core crime) dalam pencucian uang biasanya lazim disebut unlawful activity atau predicate offense yaitu berupa
menentukan daftar kejahatan apa saja yang hasilnya dilakukan proses pencucian
uang. Selain itu didalam kejahatan pencucian uang juga terdapat dua kelompok
yang sama sekali tidak berkaitan langsung dengan core crime misalnya penyedia
jasa keuangan (PJK) baik lembaga perbankan maupun non perbankan. Kelompok kedua
ini yang disebut sebagai Aiders atau Abettors. Walaupun maksud pelaku kejahatan
untuk menyembunyikan hasil kejahatan agar tidak terdeteksi oleh aparat penegak
hukum, namun dalam proses penyidikan TPPU oleh Polri dari core crime yang diidentifikasi kejahatan pencucian uang, Polri
tidak mengalami kesulitan dalam penyidikan setelah adanya koordinasi dengan
pihak penyidik dalam tindak pidana core
crime on money laundering misalnya jaksa dan PPATK. Pihak penyidik tidak
akan menemukan kesulitan dalam menyidik Tindak Pidana Pencucian Uang karena
unsur-unsur deliknya tidak memerlukan pembuktian yang sulit.
Dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang, pihak penyidik
tidak bisa begitu saja memulai penyidikan kalau belum ada laporan dari PPATK.
Tanpa ada laporan dari PPATK atau BI, polisi tidak bisa. Misalnya ujug-ujug
menerobos rekening bank seseorang. Terhadap kasus-kasus korupsi ataupun
penyelundupan narkoba, penyidik mampu menjerat dengan dua tuduhan sekaligus.
Pertama, prime crimenya, korupsi atau
narkotika. Dan yang kedua, Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan syarat PPATK
ataupun BI menyerahkan laporan dokumen-dokumen terkait dengan kasus tersebut ke
pihak penyidik. Pemberian kewenangan audit trail (melacak keberadaan si pelaku
lewat penelusuran perjalanan transaksi uang) bagi penyidik Polri atas indikasi
TPPU dari penyidikan tindak pidana awal, maka hal yang terpenting adalah “sudah
terdapat bukti permulaan yang cukup”, sebagaimana tercantum pada Pasal 3
UUTPPU. Pasal ini apabila dikaitkan dengan Pasal 2 UUTPPU dapat dikontruksikan
bahwa “harta kekayaan” dan “diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari
kejahatan” yang merupakan unsur suatu hasil tindak pidana. Pada definisi
perbuatan pencucian uang direduksi dengan adanya kata “yang diketahuinya atau
patut diduganya”.
Jadi hasil tindak pidana yang merupakan unsur suatu money
laundering, diminimalisasi dengan menambah kata “yang diketahuinya atau patut
diduganya”. Penjelasan Pasal 3 UUTPPU secara jelas dapat ditafsirkan bahwa
hasil tindak pidana adalah minimal sudah menunjukkan adanya indikasi bukti
permulaan atas terjadinya tindak pidana. Dengan kata lain dari penjelasan pasal
tersebut jelas tersirat bahwa predicate
crimes sebagai core crime dari
Tindak Pidana Pencucian Uang tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu, cukup dengan
adanya bukti permulaan yang cukup. Hal inilah yang menjadi dasar pemberantasan
TPPU oleh penyidik Polri untuk melakukan penyelidikan atas indikasi pencucian
uang yang diperoleh dari core crimes
melalui audit trail.
Peningkatan peran Polri (legal
consisneus) dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang secara
signifikan telah dilakukan oleh Markas Besar Polri dengan beberapa upaya secara
internal guna peningkatan kualitas personil Reserse baik di pusat maupun di
daerah. Peran dan bentuk keseriusan polri untuk memerangi Tindak Pidana
Pencucian Uang dalam rangka melaksanakan tugasnya untuk memberikan perlindungan
bagi masyarakat yang ikut berperan serta menanggulangi pencucian uang ditandai
dengan terbitnya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan
Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selanjutnya dalam upaya pemberantasan tindak pidana
pencucian yang meliputi kejahatan transnasional dan melintasi batas wilayah
yuridiksi suatu negara diperlukan adanya kerjasama bantuan timbal balik dalam
masalah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) antar beberapa negara, kerjasama
ini dapat terwujud dengan koordinasi yang terbangun diantara kepolisian suatu
negara dengan negara lain melalui Interpol.
BAB
IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Proses
penegakan hukum tindak pidana pencucian uang untuk menjerat pelaku pencucian
uang diawali dengan mengunakan Instrumen hukum (kriminalisasi) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 dan perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003,
lahirnya UUTPPU adalah salah satu wujud keseriusan negara Indonesia dalam
memberantas terjadinya tindak pidana pencucian uang dan menghilangkan anggapan
masyarakat Internasional bahwa negara Indonesia termasuk kedalam Non
Cooperatives Countries Terriories (NCCTs), kewenangan Polri dalam melakukan
tindakan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yakni melalui kebijakan
hukum secara penal dengan meniti beratkan pada tindakan represif berupa
melakukan serangkaian penyelidikan dengan mengumpulkan alat bukti telah terjadinya
suatu tindak pidana, alat bukti tersebut diperoleh penyidik dari PPATK ataupun
diperoleh secara langsung melalui Informasi Financial Banking System, kemudian
setelah terindikasinya transaksi keuangan yang mencurigakan maka status
penyelidikan berubah menjadi penyidikan, setelah terlebih dahulu
menginformasikan kepada PPATK. Adapun jenis tindak pidana merupakan predicate
crime dalam TPPU, langkah pertama (pra justisia) yang harus dilakukan oleh
penyidik adalah membuktikan tindak pidana yang sedang disidik. Setelah dapat
dibuktikan maka langkah selanjutnya adalah melakukan penelusuran terhadap
pemanfaatan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana pencucian uang.
b.
Subyek
hukum sebagaimana dimaksud dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah
setiap orang baik perseorang maupun korporasi, perkembangan tindak pidana
selanjutnya menekankan bahwa korporasi dapat diminta pertanggung jawaban,
sehingga prinsip “soceitas delenquere non
potest” bisa disimpangi dengan pengaturan diluar KUH Pidana. Salah satu
alasan korporasi dapat dijadikan subyek hukum pidana pencucian uang adalah
proses pencucian uang dengan menggunakan jasa bank masih tetap merupakan
mekanisme penting menyembunyikan hasil kejahatan. Salah satu pola yang ditempuh
adalah penggunaan rekening dengan nama palsu atau dengan nama orang-orang atau
kepentingan-kepentingan yang melakukan kegiatan untuk pihak lain. Termasuk
penggunaan perusahaan-perusahaan gadungan (shell
or front companies) sebagai pemegang rekening. Dalam hal bank sebagai
korporasi jangan hanya ditinjau sebagai korban kejahatan, akan tetapi dapat
ditinjau sebagai pelaku kejahatan karena besar kemungkinan adanya kerjasama
antara pelaku pencucian uang dengan pihak bank secara korporasi, misalnya
penggunaan money changer. Munculnya korporasi-korporasi sebagai fasilitator
pencucian uang yang profesional. Korporasi tersebut memberi jasa-jasa untuk
membantu menyalurkan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari kejahatan. Untuk
menjerat pelaku kejahatan pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi
diperlukan instrumen hukum sebagaimana terdapat di dalam Pasal 4 ayat (2) dan
Pasal 17 A ayat (3). Ketentuan pasal ini secara implisit kalimat “direksi,
pejabat atau pegawai penyedia jasa Keuangan, pejabat atau pegawai PPATK serta
penyelidik / penyidik yang melakukan pelanggaran” dapat dimaksudkan sebagai
pelanggaran oleh korporasi. Karena Penyedia Jasa Keuangan dan PPATK merupakan
bentuk korporasi didalam hukum pidana. Beban pertanggungjawaban pidana terhadap
pelanggaran seperti yang disebutkan di atas diberikan kepada pengurusnya (yaitu
direksi, pejabat atau pegawai).
b.
Penyidikan
yang dilakukan oleh Polri dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang
tidak terlepas dari adanya bukti petunjuk yang mensyaratkan adanya indikasi
pencucian uang (circumtantial evidence), penentuan bukti petunjuk didasarkan
pada proses penyidikan tindak pidana awal (core crime) oleh aparat penegak
hukum yang diberi wewenang oleh undang-undang, misalnya kewenangan jaksa untuk
menyidik core crime dalam tindak pidana korupsi. Pada tatanan ini jangan
diasumsikan bahwa pembuktian core crime yang hendak dikejar sehingga pada saat
penyidikan baru ditemukan tindak pidana pencucian uang, kalau hal ini
diterapkan tentunya sangat sulit dalam memberantas tindak pidana pencucian uang
karena sistem hukum kita mengenal asas
presumption of innocence (praduga tak bersalah) dan asas non self incrimination.
2.
Saran
a. Diharapkan
instrumen undang-undang tindak pidana pencucian uang dapat dijadikan sarana
proses penegakan hukum untuk menanggulangi tindak pidana pencucian uang,
walaupun UUTPPU terdapat beberapa kelemahan secara substansial bila
dibandingkan dari beberapa perkembangan negara maju (comparable) yang
menjadikan TPPU sebagai tindak pidana serius, hal ini disebabkan TPPU merupakan
tindak pidana follow up crime dan dilakukan oleh kalangan white collar crime
baik individu maupun korporasi dengan menggunakan sarana bisnis yang sulit
untuk dideteksi. Oleh karenanya diperlukan keterpaduan sarana hukum pidana
(abstraksi norma dan asas hukum pidana) dan aparat penegak hukum yang terkait
dalam proses penegakan hukum pidana, bukan hanya menitik beratkan pada enforcemet PPATK dan Polri.
b. Pada tingkat
Polri diperlukan pembentukan Direktorat Reserse Tindak Pidana Pencucian
Uang.Perkembangan pelaku kejahatan pencucian uang pada dewasa ini banyak
dilakukan oleh korporasi bukan orang perseorangan lagi, oleh karenanya perlu
untuk diperhatikan oleh aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku kejahatan
korporasi dengan menerapkan prinsip pertanggungjawaban pidana. Fokus yang harus
diperhatikan adalah pelaku kejahatan bisa saja dilakukan oleh lembaga yang
terlibat dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang, misalnya PJK yang
sarat melakukan tindak pidana pencucian uang. Prinsip ini telah diakomudir
dalam norma/kaedah UUTPPU yakni di dalam Pasal Pasal 17 A ayat (3). Pada
kewenangan Polri sebagai penyidik sebagaimana diamanatkan UUTPPU diperlukan
pemahaman yang cukup signifikan oleh kesatuan reserse Polri terhadap TPPU
dengan peningkatan kualitas personil dan penggunaan sarana hukum materil
diarahkan kepada kontruksi penyidik terhadap penanganan kasus TPPU, misalnya
pemahaman tentang core crime yang disidik oleh penyidik khusus yakni melakukan
koordinasi yang terbangun antar lembaga penyidik tindak pidana awal yang
mengidentifikasikan uang harta kekayaan hasil kejahatan dicuci.
c. Diperlukan
hukum acara tersendiri yang dapat mengakomodir prinsip-prinsip pembuktian
pencucian uang sesuai dengan standart Internasional.(ekobudi cahganteng)
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah
Hukum Pidana II, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 1999).
Bismar Nasution, Rezim Anti-Money
Laundering Di Indonesia, (Bandung: BooksTerrance&Library, 2005).
Hakim, Jaksa dan Polisi Belum Tentu
Mengerti Money Laundering”, <www.//hukum online.com>, diakses tanggal 6
Mei 2012.
Tb. Irman, Hukum Pembuktian
Pencucian Uang (Money Laundering), (Bandung: MQS Publishing & Ayyccs Group,
2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar