Senin, 22 Juni 2015

SISTEM HUKUM PIDANA DI INGGRIS


 
                                                                             BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Bangsa Inggris mempunyai kepribadian yang khas yang berbeda dengan kepribadian bangsa-bangsa di Eropa daratan, meskipun letaknya sangat berdekatan. Hal itu disebabkan karena perjalanan sejarahnya yang khusus. Kebudayaan dan sistem pemerintahannya yang feodal tidak mengalami banyak perubahan antara zaman abad pertengahan dan abad modern artinya tidak ada perubahan yang mencolok seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Kontinental. Perubahan-perubahan di Inggris dapat dikatakan evolusioner, sedangkan di Eropa Kontinental perubahannya berjalan secara revolusioner.
Pada waktu sekarang keadaan tersebut masih tampak pada parlemen Inggris yang terdiri dari House of Lord dan House of Common sesuai dengan susunan masyarakatnya yang didasarkan pada golongan aristokrat dan rakyat jelata dalam abad pertengahan. Sebaliknya di Eropa daratan susunan masyarakat dan negara yang feodalistik mencapai puncaknya menjadi absolutisme pada abad pertengahan yang secara drastis berubah menjadi negara konstitusional seperti yang terjadi pada revolusi Perancis. Ini berarti adanya perombakan secara revolusioner dari negara monarki absolute menjadi negara konstitusional.
Dengan kepribadiannya yang khusus terbentuklah hukum yang karakteristik. Inggris dengan corak yang khas yang berbeda dengan hukum di negara-negara yang termasuk negara-negara Eropa Kontinental atau keluarga hukum Romawi Germania, meskipun hukum Inggris itu sendiri dari masa ke masa mengalami perubahan, sehubungan dengan adanya perkembangan pemikiran dari orang-orang Inggris sendiri. Hukum Inggris itu selain di Inggris sendiri juga berlaku di semua negara yang secara politis mempunyai ikatan dengan Inggris. Terhadap negara-negara tersebut hukum Inggris mempunyai pengaruh yang besar. Negara Inggris ialah negara yang menggunakan sistem hukum yang bersumber dari Common law dan Statute law. Common law ialah hukum yang bersumber pada kebiasaan atau adat istiadat atau hukum tidak tertulis, sedangkan Statute law adalah  hukum yang mengikat (berdasarkan UU). Negara-negara yang menggunakan sistem Common law seperti di Inggris ialah Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei, dan Australia. Negara Indonesia juga sebenarnya menggunakan sistem hukum yang hampir sama dengan sistem hukum Inggris yang juga bersumber dari hukum tidak tertulis/kebiasaan (Common law).

2.      Permasalahan
Dari paparan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
a.         Bagaimana sumber hukum pidana di Inggris ?
b.         Bagaimana prinsip umum hukum pidana di Inggris ?
c.         Bagaimana klasifikasi tindak pidana di Inggris ?

3.      Kegunaan Penulisan
Penulisan makalah ini sebagai tugas mandiri pada mata kuliah Anglo Saxon (Comon Law Sistem) dan semoga dalam penulisan makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, terutama bagi penulis untuk menambah khazanah keilmuan di bidang hukum terutama dalam Comparatif Law System.

4.      Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan pada makalah ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu berpedoman pada tinjauan kepustakaan. Dengan penelitian normatif melalui study kepustakaan (library research) yaitu bahan-bahan yang diperoleh melalui undang-undang, literature, buku-buku dan lainnya yang berhubungan dengan teori-teori hukum.


 
                                                             BAB II
PEMBAHASAN


1.         Sumber Hukum Pidana Inggris
a.         Common Law
Di negara-negara Anglo Saxon tidak dikenal dengan suatu kodifikasi atas kaidah-kaidah hukum pidana. Masing-masing tindak pidana diatur dalam satu Undang-undang saja. Sumber hukum di Inggris contohnya, yaitu hukum Inggris yang bersumber pada kebiasaan atau adat istiadat masyarakat yang dikembangkan berdasarkan keputusan pengadilan. Jadi bersumber dari hukum tidak tertulis dalam memecahkan masalah atau kasus-kasus tertentu yang dikembangkan dan unifikasikan dalam keputusan-keputusan pengadilan sehingga merupakan suatu precedent. Oleh karena itu common law ini sering juga disebut Case law atau juga disebut Hukum Preseden.1
Common law yang dikembangkan dalam keputusan-keputusan pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat, karena di Inggris berlaku asas state decisis atau asas the binding force of precedents. Asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti keputusan hakim yang ada sebelumnya. Pada asasnya kekuatan mengikat ini berlaku bagi keputusan pengadilan yang lebih tinggi, namun dapat juga berlaku untuk keputusan pengadilan yang setingkat, asal tidak ada preseden yang saling bertentangan dan preseden itu tidak terjadi secara per incuriam, artinya tidak terjadi karena kekeliruan dalam hukum.2
Kekuatan mengikat dari hukum preseden ini terletak pada bagian putusan yang disebut ratio decidendi, yaitu semua bagian putusan atau pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari putusan dalam kasus konkret. Hal-hal lain yang berupa penyebutan fakta-fakta yang tidak ada relevansinya secara langsung dengan perkaranya, yang disebut obiter dicta tidak mempunyai kekuatan mengikat dalam prakteknya sistem preseden itu tidak seketat yang dibayangkan, sebab hakim dapat menghindari kekuatan mengikat dari ratio decidendi itu apabila ia dapat menunjukkan bahwa perkara yang sedang dihadapi itu ada perbedaan dengan perkara yang diputus terdahulu. Hakim atau advokat dapat menggunakan distinction (pembedaan) seperti itu untuk melumpuhkan kekuatan mengikat dari preseden.3
b.         Statute law
Sumber hukum Inggris selanjutnya adalah Statuta law yaitu hukum yang berasal dari perundang-undangan. Seperti halnya dengan common law, statute law ini pun mempunyai binding authority (kekuatan mengikat). Hukum Undang-undang (statute law) di Inggris hanya memuat perumusan tindak pidana (kejahatan) tertentu, antara lain : 4
1)        UU mengenai tindak pidana terhadap orang (Offences against the Person Act) tahun 1861.
2)        UU Sumpah Palsu (Perjury Act) tahun 1911.
3)        UU tindak Pidana Seksual (Sexual Offecens Act) 1956.
4)        UU mengenai pembunuhan (Homicide Act) 1957.
5)      UU mengenai pembunuhan anak (Infanticide Act) 1922, yang telah diubah dengan UU tahun 1938.
6)        UU mengenai pembunuhan berencana/ UU mengenai penghapusan pidana mati (Murder/Abolition of death Penalty Act) tahun 1965.
7)        UU mengenai abortus (Abortion Act) tahun 1967.
8)        UU mengenai pencurian (Theft Act) tahun 1968.
9)   UU mengenai obat-obatan berbahaya (The Dangerous Drugs Act) tahun 1965.
10)     UU mengenai pembajakan pesawat udara (Hijacking Act) 1971.
Semua Undang-undang di atas terlihat, bahwa perumusan tindak pidana di Inggris tidak dikodifikasikan dalam satu kitab undang-undang secara tunggal, tetapi tersebar dalam beberapa undang-undang tersendiri.
Di damping kedua sumber hukum  tersebut (Common law dan Statute law), ada pula beberapa nasah tulisan yang memuat pendapat atau ajaran/doktrin dari para penulis terkenal. Tulisan atau pendapat para penulis ini tidak mempunyai binding authority (kekuatan mengikat), tetapi beberapa diantaranya mempunyai kekuatan persuasif, artinya yang bersifat memberikan keyakinan/dorongan kuat.5

2.     Prinsip-Prinsip Umum Hukum Pidana di Inggris
a.      Asas Legalitas
Walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di Inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya tahun 1972, House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi nampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian formal. Artinya suatu perbuatan pada mulanya dapat ditetapkan sebagai suatu delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute law).
b.     Asas Mens Rea
Berdasarkan asas ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk seseorang dapat dipidana, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea). Actus reus tidak hanya menunjuk pada suatu perbuatan (an act) dalam arti yang biasa, tetapi mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi :6
1)        Perbuatan dari si terdakwa
2)        Hasil atau akibat dari perbuatannya itu.
3)        Keadaan-keadaan yang tercantum/ terkandung dalam perumusan tindak pidana, misalnya dalam perumusan delik pencurian disebut barang milik orang lain.
Actus reus tersebut terdiri dari semua unsur yang terdapat dalam perumusan delik/kejahatan kecuali unsur yang berhubungan dengan keadaan jiwa atau sikap batin terdakwa. Dalam hal-hal tertentu, keadaan jiwa/sikap batin korban merupakan unsur tindak pidana. Contoh dalam kasus perkosaan, tidak adanya persetujuan dari korban untuk melakukan hubungan seksual merupakan unsur dari actus reus dalam tindak pidana perkosaan.
Menurut L.B. Curzon, J.C. Smith dan Brian Hogan, mens rea tetap ada sekalipun seseorang berbuat secara jujur (dengan iktikad baik) ataupun dengan kesadaran jiwa yang bersih serta meyakini bahwa perbuatannya sesuai dengan moral dan benar menurut hukum. Sikap batin yang termasuk mens rea dapat berupa : intention (kesengajaan), recklssness (sembrono/ceroboh) dan negligence (kealpaan/kekurang hati-hatian)7
c.         Strict Liability
Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens rea, namun di Inggris ada delik-delik yang tidak mensyaratkan adanya mens rea. Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut dengan Strict Liability yang sering diartikan secara singkat pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Menurut Common law system, strict liability berlaku terhadap tiga macam delik, yaitu :8
1)        Public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).
2)        Criminal libel (fitnah, pencemaran nama).
3)        Contempt of court (pelanggaran tata tertib pengadilan)
Sering dimasalahkan, apakah strict liability itu sama dengan absolute liability. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability juga. Alasannya adalah bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak sehingga mutlak dapat dipidana. Pendapat kedua adalah, bahwa strict liability bukan absolute liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana.9
d.         Vicarious Liability
Vicarious Liability sering diartikan dengan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat sering diartikan pertanggungjawaban pengganti. Dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain ?
1)        Ketentuan umum yang berlaku menurut Common law ialah bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Vicarious untuk tindak pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya. Jadi, seorang majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh pelayannya.
2)        Menurut Undang-undang (Statute law)  Vicarious Liability dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :10
a)        Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegaikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain itu. Jadi, harus ada prinsip pendelegasian (the delegation principle).
b)        Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan. Jadi, apabila si pekerja sebagai pembuat materi/fisik dan majikan sebagai pembuat intelektual.
 e.         Pertanggungjawaban Korporasi
Pertanggungjawaban pidana yang disebut Vicarious Liability dapat dihubungkan dengan pertanggungjawaban dari korporasi. Korporasi berbuat dengan perantaraan orang. Apabila orang ini melanggar suatu ketentuan undang-undang, maka menjadi pertanyaan apakah korporasi yang dipertanggungjawabkan. Atas pelanggaran terhadap suatu kewajiban hukum oleh occupier dari pabrik dan atau perbuatan dari pelayan, korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini korporasi hanya bertanggungjawab atas sejumlah kecil delik, pada dasarnya delik undang-undang yang cukup dengan adanya strict liability.11
f.          Penyertaan (Participation in a crime)
Ada empat kategori participation, yaitu :12
1)        A principal in the first degree (pelaku tingkat pertama; pelaku utama atau pembuat materiil/ actual offender).
2)        A principal in the second degree (pelaku tingkat kedua; yaitu pembantu/ aider abettor).
3)        An accessory before the fact (pembantu sebelum tindak pidana).
4)        An accessory after the fact (pembantu setelah tindak pidana).
g.         Inchoate offences (tindak pidana yang tidak lengkap atau baru taraf permulaan)
Terjadi suatu tindak pidana sering melibatkan atau didahului oleh berbagai aktivitas perbuatan yang sangat erat hubungannya dengan tindak pidana pokok. Berbagai perbuatan yang mendahului terjadinya tindak pidana pokok yang sebenarnya beru merupakan taraf permulaan, dapat dilihat sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri (independent offence) dan oleh karena itu dapat disebut sebagai preliminary crimes (kejahatan pada taraf persiapan/permulaan/pendahuluan).13 Preliminary crimes inilah yang dalam kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah inchoate offences, yang meliputi:
1)        Incitement (Penganjuran).
Penganjuran menurut hukum Inggris tetap dapat di tuntut meskipun itu gagal dan hanya membujuk untuk melakukan tindak pidana ringan. Dengan demikian, kejahatan yang dibujukkan tidak dapat dilakukan tetap dapat dipidana. Adanya perbuatan tertentu yang nyata merupakan hal yang esensial dalam pembujukan. Percobaan penganjuran tetap merupakan tindak pidana. Sedangkan di Indonesia  hal ini tidak dirumuskan secara pasti walaupun secara teoritis di mungkinkan
2)        Conspiracy (Permufakatan jahat).
Menurut common law adalah kesepakatan dua orang/lebih untuk melakukan perbuatan melawan hukum atau melakukan perbuatan sesuai hukum, tetapi dengan sarana/cara yang melawan hukum.
3)        Attempt (Percobaan).
Percobaan melakukan perbuatan melanggar hukum, menurut common law adalah suatu pelanggaran hukum yang ringan, sekalipun percobaan itu ditujukan terhadap kejahatan.
h.        Alasan penghapusan pidana (exemptions from liability)
Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, dapat mengajukan alasan pembelaan atau alasan penghapusan pidana. Seperti : mistake (kesesatan), compulsion (paksaan), intoxication (keracunan/mabuk alkohol), automatism (gerak refleks), insanity (kegilaan/ketidakwarasan), infancy (anak di bawah umur), dan consent of the victim (persetujuan korban).14

3.      Tindak Pidana di Inggris
Ada beberapa tindak pidana tertentu di Inggris, antara lain : Homicide, Murder dan Manslaughter serta Contempt of Court.
a.         Homicide ialah pembunuhan manusia oleh manusia, yang dibedakan menjadi :
1)        Lawful homicide (pembunuhan yang tidak melawan hukum) misalnya :
a)        Pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang.
b)        Kematian yang timbul dalam usaha menegakkan/mendahulukan keadilan.
c)         Kematian yang timbul dari perbuatan seseorang yang melakukan pembelaan diri atau harta bendanya.
d)        Kematian yang timbul karena kecelakaan
2)        Unlawful homicide (pembunuhan yang melawan hukum), seperti murder, manslaughter.15
a)         Murder
Ialah pembunuhan melawan hukum dengan maksud jahat yang dipikirkan sebelumnya atau disebut pembunuhan berencana. Adapun tindak pidana murder ini berdasarkan Homicide Act 1957, yaitu semua orang yang melakukan murder dikenakan pidana mati. Dengan keluarnya The Murder Act 1965, pidana mati untuk murder itu telah dihapuskan dan diganti dengan pidana penjara seumur hidup.
b)         Manslaughter
Ialah suatu pembunuhan melawan hukum yang dilakukan tidak dengan maksud jahat yang dipikirkan sebelumnya atau bisa disebut pembunuhan biasa (tidak berencana).
b.         Contempt of Court
Contempt of Court merupakan istilah umum untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan (tidak melakukan perbuatan) yang apda hakikatnya ingin mencampuri atau menganggu proses peradilan atau melarang anggota masyarakat memanfaatkan sistem peradilan dalam menyelesaikan perselisihan mereka. Contempt of Court dapat dibagi dua, yaitu :16
1)        Civil contempt, yaitu ketidakpatuhan terhadap putusan atau perintah pengadilan, jadi merupakan perlawanan terhadap pelaksanaan hukum. Misal: menolak untuk mematuhi perintah pengadilan (dalam perkara perdata) untuk menghentikan gangguan, untuk membayar kerugian dan sebagainya. Sanksi terhadap Civil contempt ini bersifat paksaan.
2)        Criminal contempt, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertujuan menganggu atau merintangi penyelenggaraan peradilan pidana. Jadi, merupakan bentuk perlawanan terhadap penyelenggaraan peradilan. Sanksi terhadap criminal contempt ini bersifat pidana. Misalnya :
a)            Gangguan di muka atau di ruang pengadilan.
b)            Perbuatan-perbuatan untuk mempengaruhi proses peradilan yang tidak memihak.
c)            Perbuatan-perbuatan yang memalukan atau menimbulkan skandal bagi pengadilan.
d)            Menganggu pejabat pengadilan di luar sidang pengadilan.
e)            Pelanggaran kewajiban oleh pejabat pengadilan.
f)             Pembalasan terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan selama proses pengadilan berjalan.

1.         Prosedur  peradilan pidana di Inggris
Dalam sistem peradilan pidana pada  sistem hukum Common Law, dikenal dua cara untuk mengadili.17
a.         Magistrates Court
Pemeriksaan secara “Summary” dalam pengadilan Magistrates Court tanpa Jury. Pengadilan Magistrates Court dalam perkara pidana merupakan pengadilan yang paling penting, pengadilan ini disebut juga Police Court. Pengadilan ini jumlahnya sekitar 1050 buah yang tersebar di seluruh negeri Inggris, dan terdiri dari hakim-hakim awam (Lay Juctices) atau Justice of the Peace atau Lay Magistrates.
Para hakim yang terdapat pada pengadilan ini tidak mempunyai pendidikan hukum. Jumlahnya sekitar 20.000 orang, dan mereka adalah warga masyarakat setempat yang diusulkan kepada Lord Chancellor oleh panitia setempat. Atas pertimbangan Lord Chancellor, maka Ratu (Crown) mengangkat mereka untuk daerah tertentu. Para hakim awam ini bersidang sedikit-dikitnya berdua dan sebanyak-banyaknya berlima, dan dalam mejanlankan tugasnya mereka tidak dibayar. Walaupun tidak dibayar Lord Chancellor dapat memecat mereka apabila diketahui berkelakuan buruk.
 Magistrates Court mempunyai dua fungsi:
a.        Sebagai pengadilan tingkat pertama untuk perkara-perkara pidana yang diperiksa secara “summary”  tanpa Jury dan dapat banding.
b.        Sebagai pintu depan dari Crown Court atau sebagai hakim pemeriksa pendahuluan (examining magistrates). Acara ini desebut “Committal proceedings”. Committal proceeding ini dilaksanakan apabila magistrates tidak menyelesaikan sendiri perkaranya, karena merasa tidak berwenang atau salah satu pihak menghendaki “ trial on indictment”. Mereka (magistrates/hakim) mendengar keterangan-keterangan dan mencatatnya. Prosedur ini dimaksudkan untuk menyelidiki apakah ada “prima facie case“” artinya apakah untuk perkara itu ada bukti-bukti cukup, sehingga patut diteruskan ke Crown Court yang akan bersidang dengan Jury. Jadi magistrates bekerja seperti saringan, kalau ada prima facie case, maka mereka menyerahkan (commit) perkaranya kepada Crown Court. Mereka bisa menentukan pula apakah terdakwa ditahan sementara atau tidak, atau dilepaskan dengan “Bail” (jaminan).
b.      Crown Court
Pemeriksaan secara “on indictment” oleh Hakim dan Jury dalam pengadilan Crown Court, yaitu sesudah penyerahan untuk diadili (committal for trial) berdasarkan tuduhan tertulis yang disebut on idictment. Crown Court dibentuk berdasarkan Court Act 1971. Sebelumnya perkara-perkara pidana yang berat diadili dimuka High Court Judges London di Central Criminal Court (Old Bily) dan di luar London di pengadilan Assizes, dan oleh recorders di pengadilan Quarter Sesseions.
Crown Court itu menggantikan pengadilan-pengadilan Assizes dan Quarter Session tersebut. Kewenangan Crown Court sebagai pengadilan tingkat pertama ialah memeriksa perkara-perkara “on indictment”, terdiri dari seorang hakim dan Jury. Sebagai pengadilan banding ia memeriksa perkara banding dari Magistrates Court, dalam hal ini Crown Court terdiri dari seorang hakim dan antra dua dan empat “Justice of the peace”. Pengadilan ini hanya satu buah untuk seluruh Inggris dan Wales, tetapi bersidang ditempat dan waktu yang berlainan.  Ia langsung dibawah kontrol dari Lord Chancellor.
Hakim-hakimnya ialah : High Court Judges dan Crown Court Judges (disebut Circuit Judges dan Recorder ). Crown Court, High Court dan Court of Appeal merupakan suprame Court of Judicature. Suprame ini bukan pengadilan tertinggi di Inggris.
 
                                                                     BAB III
PENUTUP

1.         Kesimpulan
a.         Sumber hukum pidana Inggris terbagi dua, yaitu Common law dan Statute law. Common law ialah hukum Inggris yang bersumber pada kebiasaan atau adat istiadat masyarakat yang dikembangkan berdasarkan keputusan pengadilan. Sedangkan Statute law ialah hukum yang berasal dari perundang-undangan.
b.   Adapun prinsip-prinsip umum hukum pidana di inggris yaitu asas legalitas, asas mens rea, strict liability, vicarious liability, pertanggungjawaban korporasi, penyertaan (participation in a crime), inchoate offences (tindak pidana yang tidak lengkap atau baru taraf permulaan), dan alasan penghapusan pidana (exemptions from liability).
c.     Sedangkan tindak pidana tertentu di Inggris, antara lain : Homicide, Murder dan Manslaughter.
d.     Dalam sistem peradilan pidana pada  sistem hukum Common Law, dikenal dua cara untuk mengadili yaitu Magistrates Court dan Crown Court.
2.         Saran
a.  Dengan mempelajari sistem hukum, dapat membedakan tentang kelebihan dan kekurangan sistem hukum di Indonesia dengan negara lain.
b.     Agar menjadi masukan bagi kita semua untuk menjadikan hukum di Indonesia menjadi lebih baik dan memenuhi tujuan dari hukum itu sendiri.



 
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cet. 8, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
https://nandangsambas.wordpress.com/, diakses tanggal 18 Mei 2015

  
Ref.

1    Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 23.
2    Ibid, hal. 32
3    Ibid, hal. 32
4    Ibid
5    Ibid, hal. 34
6    Ibid
7    Ibid, hal. 35
8    Ibid, hal. 37
9    Ibid, hal. 40
10  Ibid, hal. 42
11  Ibid, hal. 45
12  Ibid, hal. 46
13  Ibid, hal. 50
14  Ibid, hal. 49
15  Ibid, hal. 75
16  Ibid, hal. 80
17   https://nandangsambas.wordpress.com/, diakses tanggal 18 Mei 2015.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar