|
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bangsa Inggris mempunyai kepribadian yang khas yang
berbeda dengan kepribadian bangsa-bangsa di Eropa daratan, meskipun letaknya
sangat berdekatan. Hal itu disebabkan karena perjalanan sejarahnya yang khusus.
Kebudayaan dan sistem pemerintahannya yang feodal tidak mengalami banyak
perubahan antara zaman abad pertengahan dan abad modern artinya tidak ada
perubahan yang mencolok seperti yang terjadi di negara-negara Eropa
Kontinental. Perubahan-perubahan di Inggris dapat dikatakan evolusioner,
sedangkan di Eropa Kontinental perubahannya berjalan secara revolusioner.
Pada waktu sekarang keadaan tersebut masih tampak pada
parlemen Inggris yang terdiri dari House
of Lord dan House of Common sesuai dengan susunan masyarakatnya yang
didasarkan pada golongan aristokrat dan rakyat jelata dalam abad pertengahan.
Sebaliknya di Eropa daratan susunan masyarakat dan negara yang feodalistik
mencapai puncaknya menjadi absolutisme pada abad pertengahan yang secara
drastis berubah menjadi negara konstitusional seperti yang terjadi pada
revolusi Perancis. Ini berarti adanya perombakan secara revolusioner dari
negara monarki absolute menjadi negara konstitusional.
Dengan kepribadiannya yang khusus terbentuklah hukum yang
karakteristik. Inggris dengan corak yang khas yang berbeda dengan hukum di
negara-negara yang termasuk negara-negara Eropa Kontinental atau keluarga hukum
Romawi Germania, meskipun hukum Inggris itu sendiri dari masa ke masa mengalami
perubahan, sehubungan dengan adanya perkembangan pemikiran dari orang-orang
Inggris sendiri. Hukum Inggris itu selain di Inggris sendiri juga berlaku di
semua negara yang secara politis mempunyai ikatan dengan Inggris. Terhadap
negara-negara tersebut hukum Inggris mempunyai pengaruh yang besar. Negara
Inggris ialah negara yang menggunakan sistem hukum yang bersumber dari Common law dan Statute law. Common law ialah hukum yang bersumber pada kebiasaan
atau adat istiadat atau hukum tidak tertulis, sedangkan Statute law adalah hukum
yang mengikat (berdasarkan UU). Negara-negara yang menggunakan sistem Common law seperti di Inggris ialah
Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei, dan Australia. Negara Indonesia juga
sebenarnya menggunakan sistem hukum yang hampir sama dengan sistem hukum
Inggris yang juga bersumber dari hukum tidak tertulis/kebiasaan (Common law).
2. Permasalahan
Dari paparan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
a.
Bagaimana sumber hukum pidana di Inggris ?
b.
Bagaimana prinsip umum hukum pidana di
Inggris ?
c.
Bagaimana klasifikasi tindak pidana di Inggris
?
3. Kegunaan Penulisan
Penulisan makalah ini sebagai tugas mandiri pada mata
kuliah Anglo Saxon (Comon Law Sistem)
dan semoga dalam penulisan makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, terutama
bagi penulis untuk menambah khazanah keilmuan di bidang hukum terutama dalam Comparatif Law System.
4. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan pada makalah ini adalah
metode pendekatan yuridis normatif yaitu berpedoman pada tinjauan kepustakaan.
Dengan penelitian normatif melalui study kepustakaan (library research) yaitu
bahan-bahan yang diperoleh melalui undang-undang, literature, buku-buku dan
lainnya yang berhubungan dengan teori-teori hukum.
PEMBAHASAN
1.
Sumber
Hukum Pidana Inggris
a.
Common Law
Di negara-negara Anglo Saxon tidak dikenal dengan suatu
kodifikasi atas kaidah-kaidah hukum pidana. Masing-masing tindak pidana diatur
dalam satu Undang-undang saja. Sumber hukum di Inggris contohnya, yaitu hukum
Inggris yang bersumber pada kebiasaan atau adat istiadat masyarakat yang
dikembangkan berdasarkan keputusan pengadilan. Jadi bersumber dari hukum tidak
tertulis dalam memecahkan masalah atau kasus-kasus tertentu yang dikembangkan
dan unifikasikan dalam keputusan-keputusan pengadilan sehingga merupakan suatu precedent. Oleh karena itu common law
ini sering juga disebut Case law atau
juga disebut Hukum Preseden.1
Common law yang dikembangkan dalam keputusan-keputusan
pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat, karena di Inggris berlaku asas
state decisis atau asas the binding force of precedents. Asas
ini mewajibkan hakim untuk mengikuti keputusan hakim yang ada sebelumnya. Pada
asasnya kekuatan mengikat ini berlaku bagi keputusan pengadilan yang lebih
tinggi, namun dapat juga berlaku untuk keputusan pengadilan yang setingkat,
asal tidak ada preseden yang saling bertentangan dan preseden itu tidak terjadi
secara per incuriam, artinya tidak
terjadi karena kekeliruan dalam hukum.2
Kekuatan mengikat dari hukum preseden ini terletak pada
bagian putusan yang disebut ratio
decidendi, yaitu semua bagian putusan atau pertimbangan hukum yang menjadi
dasar dari putusan dalam kasus konkret. Hal-hal lain yang berupa penyebutan
fakta-fakta yang tidak ada relevansinya secara langsung dengan perkaranya, yang
disebut obiter dicta tidak
mempunyai kekuatan mengikat dalam prakteknya sistem preseden itu tidak seketat
yang dibayangkan, sebab hakim dapat menghindari kekuatan mengikat dari ratio decidendi itu apabila ia dapat
menunjukkan bahwa perkara yang sedang dihadapi itu ada perbedaan dengan perkara
yang diputus terdahulu. Hakim atau advokat dapat menggunakan distinction (pembedaan) seperti itu
untuk melumpuhkan kekuatan mengikat dari preseden.3
b.
Statute law
Sumber hukum Inggris selanjutnya adalah Statuta law yaitu hukum yang berasal
dari perundang-undangan. Seperti halnya dengan common law, statute law
ini pun mempunyai binding authority
(kekuatan mengikat). Hukum Undang-undang (statute
law) di Inggris hanya memuat perumusan tindak pidana (kejahatan) tertentu,
antara lain : 4
1)
UU mengenai tindak pidana terhadap orang
(Offences against the Person Act) tahun 1861.
2)
UU Sumpah Palsu (Perjury Act) tahun 1911.
3)
UU tindak Pidana Seksual (Sexual Offecens
Act) 1956.
4)
UU mengenai pembunuhan (Homicide Act) 1957.
5) UU mengenai pembunuhan anak (Infanticide Act)
1922, yang telah diubah dengan UU tahun 1938.
6)
UU mengenai pembunuhan berencana/ UU mengenai
penghapusan pidana mati (Murder/Abolition of death Penalty Act) tahun 1965.
7)
UU mengenai abortus (Abortion Act) tahun
1967.
8)
UU mengenai pencurian (Theft Act) tahun 1968.
9) UU mengenai obat-obatan berbahaya (The
Dangerous Drugs Act) tahun 1965.
10) UU
mengenai pembajakan pesawat udara (Hijacking Act) 1971.
Semua Undang-undang di atas terlihat, bahwa perumusan
tindak pidana di Inggris tidak dikodifikasikan dalam satu kitab undang-undang
secara tunggal, tetapi tersebar dalam beberapa undang-undang tersendiri.
Di damping kedua sumber hukum tersebut (Common
law dan Statute law), ada pula beberapa nasah tulisan yang memuat pendapat
atau ajaran/doktrin dari para penulis terkenal. Tulisan atau pendapat para
penulis ini tidak mempunyai binding
authority (kekuatan mengikat), tetapi beberapa diantaranya mempunyai
kekuatan persuasif, artinya yang bersifat memberikan keyakinan/dorongan kuat.5
2. Prinsip-Prinsip Umum Hukum Pidana di
Inggris
a. Asas
Legalitas
Walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan
dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan.
Karena bersumber pada case law, pada
mulanya pengadilan di Inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun
dalam perkembangannya tahun 1972, House
of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan
delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi nampaknya ada pergeseran
dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam
pengertian formal. Artinya suatu perbuatan pada mulanya dapat ditetapkan
sebagai suatu delik oleh hakim berdasarkan common law (hukum kebiasaan yang
dikembangkan lewat putusan pengadilan), namun dalam perkembangannya hanya dapat
ditetapkan berdasarkan undang-undang (statute law).
b.
Asas Mens Rea
Berdasarkan asas ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi
untuk seseorang dapat dipidana, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus) dan ada sikap batin
jahat/tercela (mens rea). Actus reus
tidak hanya menunjuk pada suatu perbuatan (an
act) dalam arti yang biasa, tetapi mengandung arti yang lebih luas, yaitu
meliputi :6
1)
Perbuatan dari si terdakwa
2)
Hasil atau akibat dari perbuatannya itu.
3)
Keadaan-keadaan yang tercantum/ terkandung
dalam perumusan tindak pidana, misalnya dalam perumusan delik pencurian disebut
barang milik orang lain.
Actus
reus
tersebut terdiri dari semua unsur yang terdapat dalam perumusan delik/kejahatan
kecuali unsur yang berhubungan dengan keadaan jiwa atau sikap batin terdakwa.
Dalam hal-hal tertentu, keadaan jiwa/sikap batin korban merupakan unsur tindak
pidana. Contoh dalam kasus perkosaan, tidak adanya persetujuan dari korban
untuk melakukan hubungan seksual merupakan unsur dari actus reus dalam tindak pidana perkosaan.
Menurut L.B. Curzon, J.C. Smith dan
Brian Hogan, mens rea tetap ada
sekalipun seseorang berbuat secara jujur (dengan iktikad baik) ataupun dengan
kesadaran jiwa yang bersih serta meyakini bahwa perbuatannya sesuai dengan
moral dan benar menurut hukum. Sikap batin yang termasuk mens rea dapat berupa
: intention (kesengajaan), recklssness (sembrono/ceroboh) dan negligence
(kealpaan/kekurang hati-hatian)7
c.
Strict Liability
Walaupun pada prinsipnya berlaku asas Mens rea, namun di Inggris ada
delik-delik yang tidak mensyaratkan adanya mens
rea. Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat bagaimana sikap
batinnya. Di sini berlaku apa yang disebut dengan Strict Liability yang sering diartikan secara singkat
pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Menurut Common law system, strict liability berlaku terhadap tiga macam
delik, yaitu :8
1)
Public
nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan
raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan).
2)
Criminal
libel (fitnah, pencemaran nama).
3)
Contempt
of court (pelanggaran tata tertib pengadilan)
Sering dimasalahkan, apakah strict
liability itu sama dengan absolute
liability. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute
liability juga. Alasannya adalah bahwa dalam perkara strict liability
seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat
dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak sehingga mutlak
dapat dipidana. Pendapat kedua adalah, bahwa strict liability bukan absolute
liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut
undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana.9
d.
Vicarious Liability
Vicarious Liability
sering diartikan dengan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas
perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat sering diartikan
pertanggungjawaban pengganti. Dalam hal-hal bagaimanakah seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan orang lain ?
1)
Ketentuan umum yang berlaku menurut Common law ialah bahwa seseorang tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara Vicarious
untuk tindak pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya. Jadi, seorang majikan
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan
oleh pelayannya.
2)
Menurut Undang-undang (Statute law) Vicarious
Liability dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :10
a)
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah
mendelegaikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain itu. Jadi,
harus ada prinsip pendelegasian (the
delegation principle).
b)
Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya
apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan
majikan. Jadi, apabila si pekerja sebagai pembuat materi/fisik dan majikan
sebagai pembuat intelektual.
e.
Pertanggungjawaban Korporasi
Pertanggungjawaban pidana yang disebut Vicarious Liability dapat dihubungkan
dengan pertanggungjawaban dari korporasi. Korporasi berbuat dengan perantaraan
orang. Apabila orang ini melanggar suatu ketentuan undang-undang, maka menjadi
pertanyaan apakah korporasi yang dipertanggungjawabkan. Atas pelanggaran
terhadap suatu kewajiban hukum oleh occupier dari pabrik dan atau perbuatan
dari pelayan, korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini korporasi
hanya bertanggungjawab atas sejumlah kecil delik, pada dasarnya delik
undang-undang yang cukup dengan adanya strict liability.11
f.
Penyertaan (Participation in a crime)
Ada empat kategori participation, yaitu :12
1)
A
principal in the first degree (pelaku tingkat pertama;
pelaku utama atau pembuat materiil/ actual offender).
2)
A
principal in the second degree (pelaku tingkat kedua;
yaitu pembantu/ aider abettor).
3)
An
accessory before the fact (pembantu sebelum tindak pidana).
4)
An
accessory after the fact (pembantu setelah tindak pidana).
g.
Inchoate
offences (tindak pidana yang tidak lengkap atau baru taraf
permulaan)
Terjadi suatu tindak pidana sering melibatkan atau
didahului oleh berbagai aktivitas perbuatan yang sangat erat hubungannya dengan
tindak pidana pokok. Berbagai perbuatan yang mendahului terjadinya tindak
pidana pokok yang sebenarnya beru merupakan taraf permulaan, dapat dilihat
sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri (independent offence) dan oleh karena
itu dapat disebut sebagai preliminary
crimes (kejahatan pada taraf persiapan/permulaan/pendahuluan).13
Preliminary crimes inilah yang dalam
kepustakaan Inggris dikenal dengan istilah inchoate offences, yang meliputi:
1)
Incitement
(Penganjuran).
Penganjuran menurut hukum Inggris tetap dapat di tuntut
meskipun itu gagal dan hanya membujuk untuk melakukan tindak pidana ringan.
Dengan demikian, kejahatan yang dibujukkan tidak dapat dilakukan tetap dapat
dipidana. Adanya perbuatan tertentu yang nyata merupakan hal yang esensial
dalam pembujukan. Percobaan penganjuran tetap merupakan tindak pidana.
Sedangkan di Indonesia hal ini tidak
dirumuskan secara pasti walaupun secara teoritis di mungkinkan
2)
Conspiracy
(Permufakatan
jahat).
Menurut common law adalah kesepakatan dua orang/lebih
untuk melakukan perbuatan melawan hukum atau melakukan perbuatan sesuai hukum,
tetapi dengan sarana/cara yang melawan hukum.
3)
Attempt
(Percobaan).
Percobaan melakukan perbuatan melanggar hukum, menurut
common law adalah suatu pelanggaran hukum yang ringan, sekalipun percobaan itu
ditujukan terhadap kejahatan.
h.
Alasan penghapusan pidana (exemptions from liability)
Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, dapat
mengajukan alasan pembelaan atau alasan penghapusan pidana. Seperti : mistake (kesesatan), compulsion (paksaan), intoxication (keracunan/mabuk alkohol), automatism (gerak refleks), insanity (kegilaan/ketidakwarasan), infancy (anak di bawah umur), dan consent of the victim (persetujuan
korban).14
3. Tindak Pidana di Inggris
Ada beberapa tindak pidana tertentu di Inggris, antara
lain : Homicide, Murder dan Manslaughter serta Contempt of Court.
a.
Homicide ialah
pembunuhan manusia oleh manusia, yang dibedakan menjadi :
1)
Lawful
homicide (pembunuhan yang tidak melawan hukum) misalnya :
a)
Pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh
pengadilan yang berwenang.
b)
Kematian yang timbul dalam usaha
menegakkan/mendahulukan keadilan.
c)
Kematian yang timbul dari perbuatan seseorang
yang melakukan pembelaan diri atau harta bendanya.
d)
Kematian yang timbul karena kecelakaan
2)
Unlawful
homicide (pembunuhan yang melawan hukum), seperti murder, manslaughter.15
a)
Murder
Ialah pembunuhan melawan hukum dengan maksud jahat yang
dipikirkan sebelumnya atau disebut pembunuhan berencana. Adapun tindak pidana
murder ini berdasarkan Homicide Act
1957, yaitu semua orang yang melakukan murder dikenakan pidana mati. Dengan
keluarnya The Murder Act 1965, pidana
mati untuk murder itu telah dihapuskan dan diganti dengan pidana penjara seumur
hidup.
b)
Manslaughter
Ialah suatu pembunuhan melawan hukum yang dilakukan tidak
dengan maksud jahat yang dipikirkan sebelumnya atau bisa disebut pembunuhan
biasa (tidak berencana).
b.
Contempt
of Court
Contempt of Court
merupakan istilah umum untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan (tidak melakukan
perbuatan) yang apda hakikatnya ingin mencampuri atau menganggu proses
peradilan atau melarang anggota masyarakat memanfaatkan sistem peradilan dalam
menyelesaikan perselisihan mereka. Contempt
of Court dapat dibagi dua, yaitu :16
1)
Civil
contempt, yaitu ketidakpatuhan terhadap putusan atau perintah
pengadilan, jadi merupakan perlawanan terhadap pelaksanaan hukum. Misal:
menolak untuk mematuhi perintah pengadilan (dalam perkara perdata) untuk
menghentikan gangguan, untuk membayar kerugian dan sebagainya. Sanksi terhadap Civil contempt ini bersifat paksaan.
2)
Criminal
contempt, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertujuan menganggu atau
merintangi penyelenggaraan peradilan pidana. Jadi, merupakan bentuk perlawanan
terhadap penyelenggaraan peradilan. Sanksi terhadap criminal contempt ini bersifat pidana. Misalnya :
a)
Gangguan di muka atau di ruang pengadilan.
b)
Perbuatan-perbuatan untuk mempengaruhi proses
peradilan yang tidak memihak.
c)
Perbuatan-perbuatan yang memalukan atau
menimbulkan skandal bagi pengadilan.
d)
Menganggu pejabat pengadilan di luar sidang
pengadilan.
e)
Pelanggaran kewajiban oleh pejabat
pengadilan.
f)
Pembalasan terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilakukan selama proses pengadilan berjalan.
1.
Prosedur peradilan pidana di Inggris
Dalam sistem peradilan pidana pada sistem hukum Common Law, dikenal dua cara
untuk mengadili.17
a.
Magistrates Court
Pemeriksaan secara “Summary” dalam pengadilan Magistrates Court tanpa Jury. Pengadilan
Magistrates Court dalam perkara
pidana merupakan pengadilan yang paling penting, pengadilan ini disebut juga Police Court. Pengadilan ini jumlahnya
sekitar 1050 buah yang tersebar di seluruh negeri Inggris, dan terdiri dari
hakim-hakim awam (Lay Juctices) atau Justice of the Peace atau Lay Magistrates.
Para hakim yang terdapat pada pengadilan ini tidak
mempunyai pendidikan hukum. Jumlahnya sekitar 20.000 orang, dan mereka adalah
warga masyarakat setempat yang diusulkan kepada Lord Chancellor oleh panitia
setempat. Atas pertimbangan Lord Chancellor, maka Ratu (Crown) mengangkat
mereka untuk daerah tertentu. Para hakim awam ini bersidang sedikit-dikitnya
berdua dan sebanyak-banyaknya berlima, dan dalam mejanlankan tugasnya mereka
tidak dibayar. Walaupun tidak dibayar Lord Chancellor dapat memecat mereka
apabila diketahui berkelakuan buruk.
Magistrates Court mempunyai dua fungsi:
a.
Sebagai pengadilan tingkat pertama untuk
perkara-perkara pidana yang diperiksa secara “summary” tanpa Jury dan dapat banding.
b.
Sebagai pintu depan dari Crown Court atau sebagai hakim pemeriksa pendahuluan (examining magistrates). Acara ini
desebut “Committal proceedings”. Committal
proceeding ini dilaksanakan apabila magistrates
tidak menyelesaikan sendiri perkaranya, karena merasa tidak berwenang atau
salah satu pihak menghendaki “ trial on indictment”. Mereka (magistrates/hakim)
mendengar keterangan-keterangan dan mencatatnya. Prosedur ini dimaksudkan untuk
menyelidiki apakah ada “prima facie
case“” artinya apakah untuk perkara itu ada bukti-bukti cukup, sehingga
patut diteruskan ke Crown Court yang
akan bersidang dengan Jury. Jadi magistrates bekerja seperti saringan, kalau
ada prima facie case, maka mereka menyerahkan (commit) perkaranya kepada Crown
Court. Mereka bisa menentukan pula apakah terdakwa ditahan sementara atau
tidak, atau dilepaskan dengan “Bail”
(jaminan).
b. Crown Court
Pemeriksaan secara “on
indictment” oleh Hakim dan Jury dalam pengadilan Crown Court, yaitu sesudah penyerahan untuk diadili (committal for
trial) berdasarkan tuduhan tertulis yang disebut on idictment. Crown Court dibentuk berdasarkan Court Act 1971. Sebelumnya
perkara-perkara pidana yang berat diadili dimuka High Court Judges London di Central Criminal Court (Old Bily) dan
di luar London di pengadilan Assizes, dan oleh recorders di pengadilan Quarter Sesseions.
Crown Court itu
menggantikan pengadilan-pengadilan Assizes dan Quarter Session tersebut. Kewenangan
Crown Court sebagai pengadilan tingkat pertama ialah memeriksa perkara-perkara
“on indictment”, terdiri dari seorang hakim dan Jury. Sebagai pengadilan
banding ia memeriksa perkara banding dari Magistrates Court, dalam hal ini
Crown Court terdiri dari seorang hakim dan antra dua dan empat “Justice of the
peace”. Pengadilan ini hanya satu buah untuk seluruh Inggris dan Wales, tetapi
bersidang ditempat dan waktu yang berlainan.
Ia langsung dibawah kontrol dari Lord
Chancellor.
Hakim-hakimnya ialah : High Court Judges dan Crown
Court Judges (disebut Circuit Judges
dan Recorder ). Crown Court, High Court dan Court
of Appeal merupakan suprame Court of Judicature. Suprame ini bukan
pengadilan tertinggi di Inggris.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Sumber hukum pidana Inggris terbagi dua,
yaitu Common law dan Statute law. Common law ialah hukum Inggris yang bersumber pada kebiasaan atau
adat istiadat masyarakat yang dikembangkan berdasarkan keputusan pengadilan. Sedangkan
Statute law ialah hukum yang berasal
dari perundang-undangan.
b. Adapun prinsip-prinsip umum hukum pidana di
inggris yaitu asas legalitas, asas mens
rea, strict liability, vicarious liability, pertanggungjawaban korporasi,
penyertaan (participation in a crime),
inchoate offences (tindak pidana yang tidak lengkap atau baru taraf
permulaan), dan alasan penghapusan pidana (exemptions
from liability).
c. Sedangkan tindak pidana tertentu di Inggris,
antara lain : Homicide, Murder dan Manslaughter.
d. Dalam sistem peradilan pidana pada sistem hukum Common Law, dikenal dua cara
untuk mengadili yaitu Magistrates Court
dan Crown Court.
2.
Saran
a. Dengan mempelajari sistem hukum, dapat
membedakan tentang kelebihan dan kekurangan sistem hukum di Indonesia dengan
negara lain.
b. Agar menjadi masukan bagi kita semua untuk
menjadikan hukum di Indonesia menjadi lebih baik dan memenuhi tujuan dari hukum
itu sendiri.
|
Arief,
Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cet. 8, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada, 1998.
https://nandangsambas.wordpress.com/, diakses tanggal
18 Mei 2015
Ref.
1 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum
Pidana, Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 23.
2 Ibid, hal. 32
3 Ibid, hal. 32
4 Ibid
5 Ibid, hal. 34
6 Ibid
7 Ibid, hal. 35
8 Ibid, hal. 37
9 Ibid, hal. 40
10 Ibid, hal. 42
11 Ibid, hal. 45
12 Ibid, hal. 46
13 Ibid, hal. 50
14 Ibid, hal. 49
15 Ibid, hal. 75
16 Ibid, hal. 80
17 https://nandangsambas.wordpress.com/, diakses tanggal 18 Mei 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar