Kamis, 05 Februari 2009

PEMERIKSAAN VIA TELECONFERENCE

BAGAIMANA PEMERIKSAAN VIA TELECONFERENCE DAN BAP 
DARI LUAR NEGERI / ASING DAPAT DIAKUI 
KEABSAHAN HUKUM DI INDONESIA.


1. Akademisi dan Hakim Beda Pendapat Soal Keabsahan Teleconference 

   Beberapa akademisi dan hakim berbeda pendapat mengenai keabsahan keterangan saksi yang    menggunakan teleconference. Akademisi berpendapat keterangan saksi melalui teleconference    tidak sah sedang hakim berpendapat sebaliknya. 
 
   Hal ini mengemuka dalam dialog hukum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang bertema            "Keabsahan Keterangtan Saksi Menggunakan Teleconference" di Jakarta (16/07) .  
 
   Prof. Achmad Ali, akademisi yang juga anggota Komnas HAM, berpendapat bahwa selama            teleconference belum diatur dalam hukum positif Indonesia, maka teleconference tidak dapat      digunakan sebagai alat bukti. Karena itu, keterangan saksi dengan menggunakan                            teleconference tidak sah. 
  
   Menurut Ali, KUHAP menentukan ada tiga kewajiban dari seorang saksi. Pertama, kewajiban      untuk menghadap sendiri di muka persidangan. Kedua, kewajiban untuk disumpah dan ketiga      kewajiban untuk memberikan keterangan tentang apa yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri        dan ia alami sendiri. 
 
   Dengan penggunaan teleconference terhadap mereka yang dianggap saksi dalam kasus                  Baasyir, ada dua kewajiban saksi yang tidak terpenuhi. Yaitu, kewajiban untuk menghadap          sendiri di persidangan dan kewajiban untuk disumpah. 
 
   Dalam kasus Baasyir, saksi adalah warga negara Singapura dan kesaksian diberikan di wilayah     Singapura yang jelas di luar yurisdiksi pengadilan Indonesia. Karena itu, menurut Ali, sumpah     para saksi itu tidak bernilai sumpah karena tidak mempunyai akibat hukum. 
 
Padahal sesuai pasal 174 ayat 1 dan 2 KUHAP, pada hakikatnya, fungsi sumpah bagi seorang saksi adalah agar saksi itu dapat dituntut berdasarkan delik pidana bila memberikan keterangan palsu sesuai pasal 242 KUHP. 
 
Menurut Ali, sumpah yang diberikan oleh seorang warganegara asing, di negara asing tidak mungkin dapat dituntut berdasarkan pasal 242 KUHP. "Karena, pasal 242 KUHP itu adalah hukum posistif Indonesia yang hanya berlaku di dalam yurisdiksi RI," ujar Ali. 
 
Karenanya, meskipun saksi-saksi itu mengucapkan sumpah di Singapura, tetapi menurut hukum Indonsia, sumpahnya itu tidak mempunyai akibat hukum sehingga harus dianggap bukan perbuatan hukum. 
 



2. Sah sebagai alat bukti
 
Pendapat Ali ini bertentangan dengan pendapat hakim agung Muchsan dan hakim pengadilan Tinggi Jawa Barat Arsyad Sanusi. Kedua hakim ini berpendapat teleconference sah sebagai alat bukti saksi. 
 
Menurut Muchsan, teleconference adalah sebuah terobosan yang dapat dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukum(rechtsvinding). Menurutnya, jika suatu hal belum diatur, maka itu tidak berarti hal itu menjadi dilarang. Apalagi, teleconference dilakukan demi kemanfaatan dan demi kepentingan umum. 
 
Muchsan membandingkan dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi yang bisa dibacakan dan dianggap sah jika saksi tidak hadir di persidangan. "Dibandingkan teleconference, validitasnya tinggi mana," cetus hakim agung yang baru dilantik ini. Apalagi, saksi dalam BAP yang dibacakan itu disumpah oleh polisi. "Apakah sah jika polisi menyumpah saksi," ujarnya lagi. 
 
Senada dengan Mucsan, Arsyad menyatakan bahwa keterangan saksi melalui teleconference adalah keterangan saksi yang nilainya sama dengan saksi yang disumpah. Arsyad mencontohkan berbagai persidangan di Amerika Serikat yang menggunakan teleconference. 
 
3. Penemuan hukum
 
Namun, Ali berpendapat bahwa teleconference tidak dapat dianggap sebagai penemuan hukum (rechsvinding). Penemuan hukum dapat dilakukan melalui interpretasi sosiologis. Tapi, interpretasi sosiologis adalah menafsirkan kata dalam UU yang diubah tujuannya sesuai tujuan kemasyarakatan. Sementara teleconference sama sekali belum disebut dalam peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga tidak dapat diinterpretasikan. 
 
"Penggunaan teleconference dalam kasus Baasyir menurut saya adalah penganalogian dari keterangan saksi dan sayangnya analogi dilarang untuk digunakan dalam perkara pidana," tukas Ali.
 
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanudin, prof. Andi Hamzah dan Wakil Ketua DPP Ikadin, Gayus Lumbuun mempunyai pendapat senada dengan Ali. Menurut Andi, teleconference bukanlah merupakan alat bukti saksi. Teleconference hanya dapat dijadikan alat untuk menguatkan keyakinan hakim. 
 
Itu pun dengan beberapa syarat, seperti teleconference harus dilakukan di kantor perwakilan Indonesia di luar negeri. Selain itu, mereka yang memberikan kesaksian di luar negeri melalui teleconference harus didampingi JPU dan pengacara terdakwa. Dalam kasus Baasyir misalnya, teleconference harus dilakukan di kantor perwakilan Indonesia di Singapura dan dihadiri JPU serta pengacara Baasyir.
 
Walau demikian, seluruh pembicara sepakat bahwa di masa datang teleconference harus diatur dalam peraturan perundang-undangan. Entah dalam revisi KUHAP, dalam UU tersendiri mengenai pengunaan teknologi modern yang lex specialis terhadap KUHAP, atau dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar